Kamis, 25 Oktober 2012

Korelasi Kurban dan Rangkaian Haji dalam Peringatan Hari Sumpah Pemuda



Memasuki bulan Oktober ini ada dua momentum bersejarah besar dalam sejarah peradaban manusia. Pertama momentum idul adha atau hari raya kurban maupun momentum haji, kedua momentum peringatan Hari Pahlawan yang jatuh pada tanggal 28 Oktober. Setiap memasuki bulan Dzulhijjah umat islam di seluruh penjuru dunia memperingati suatu momen yang tak terlupakan di sejarah peradaban manusia. Bertepatan bulan Dzulhijjah ini suatu momen mimpi yang luar biasa berat ditujukan kepada salah seorang Nabi dan Rasul bernama Nabi Ibrahim As, dimana saat itu beliau mendapatkan mimpi untuk diperintahkan mengurbankan anaknya baginda Ismail As oleh Allah. Jika melihat logika seorang manusia yang mempunyai nafsu maka hal itu sangat mustahil mengorbankan satu - satunya putranya yang tersayang demi perintah, tapi itulah Nabi Ibrahim pada akhirnya bersedia mengorbankan anaknya. Begitu juga kekuatan mental dan ketulusan Baginda Ismail muda menyerahkan dirinya kepada sang ayah demi perintah dari Tuhan. Meski pada akhirnya ketika detik - detik akhir akan disembelih Allah menggantinya dengan seekor domba, momen inilah yang kemudia diperingati oleh umat islam sedunia dengan idul adha atau hari raya besar.
Begitu besarnya momen ini hingga Allah menurunkan ayat - ayat dalam Surat Ash Shaffaat ayat 100 - 111. Dalam QS Ash Shaffaat ayat 102 Allah berfirman, “Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama - sama  Ibrahim, Ibrahim berkata: “Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka fikirkanlah apa pendapatmu!” Ia (Ismail) menjawab: “Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu, insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk kepada orang - orang yang sabar”. Pelajaran kurban ala Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail merupakan poin ketika Nabi Ibrahim mau mengurbankan sesuatu yang penting yang Beliau miliki. Ada korelasi yang erat antara idul adha dengan peringatan hari sumpah pemuda yang jatuh tepat dua hari usai perayaan idul qurban, kesamaannya tentu pada sesuatu yang disenanginya rela dikurbankan untuk kepentingan agama dan kepentingan orang lain.
Makna berkurban tak hanya sebatas menyembelih hewan kurban pada perayaan idul adha saja, namun berkurban mengandung makna luas di era globalisasi sekarang. Sumpah pemuda ada karena kerelaan hati para pemuda kala itu yang berjuang memperoleh kemerdekaan melawan penjajah dari sebelumnya sendiri - sendiri berdasarkan daerah lalu sepakat menjadi satu mengesampingkan ego akan daerah mereka masing - masing sehingga lahirlah sumpah pemuda yang merupakan pelopor perjuangan Indonesia menuju kemerdekaan. Tanpa ada pengorbanan dan kerelaan hati menjadi satu kesatuan yaitu negara Indonesia, bukan tak mungkin proklamasi kemerdekaan itu tak terwujud. Peringatan kedua momen yang berdekatan ini sudah seharusnya kita merenunginya. Ada beberapa nilai yang harus kita tanamkan di hati ketika kaitannya peristiwa berkurban ala Nabi Ibrahim as dan Nabi Ismail as, serta peringatan hari sumpah pemuda.
Pertama, berkurban untuk tidak mementingkan dirinya sendiri, keluarganya, golongannya, maupun partainya. Memang ketika kita berteori di atas kertas, hal tersebut kedengarannya merupakan suatu hal yang mudah. Namun sebagai makhluk yang mempunyai nafsu dan ego yang besar manusia pada prakteknya sangat sulit untuk merealisasikannya. Lihatlah realita di lapangan, banyak orang yang lebih mengedepankan kepentingan dirinya, keluarganya, golongannya, tanpa memikirkan bagaimana kepentingan orang lain, bagaimana nasib orang lain. Terlebih lagi saat ini kita memasuki masa liberalisme, kapitalisme, dimana ukurannya setiap orang bebas melakukan dan mencari sesuatu baik dari segi ekonomi, politik. Namun dibalik itu semua tidak kita sadari perjuangan mereka hanya karena ada embel - embel dirinya bukan untuk orang lain. Berkaca pada kisah Ibrahim as dan Ismail as, Beliau berdua mengajarkan bagaimana berkurban yang ikhlas tanpa memikirkan bagaimana nasib saya bagaimana nasib keluarga saya, namun ketika Allah memerintah semua itu siap beliau laksanakan. Begitu pula mengaca pada sejarah perjuangan kaum muda di tahun 1928-an kala itu, dimana mereka dari asal muasalnya tidak mengenal apa itu Indonesia, seperti apa itu Indonesia, menyepakati ikrar satu kesatuan dalam naungan Indonesia, dan berjuang atas nama Indonesia, tidak lagi berdasarkan daerah asal masing - masing. Ini dikarenakan beliau - beliau sudah terpatri bahwa mengorbankan ego demi kepentingan yang lebih besar yaitu negara dan bangsa merupakan keharusan, maka dari itu semangat nasionalisme ada setelah semangat kedaerahan hadir.
Kedua, berkurban akan kesenangan yang dimilikinya. Nabi Ismail as merupakan putra satu - satunya Nabi Ibrahim, yang telah diidam - idamkan sangat lama oleh Nabi Ibrahim dan istrinya Siti Hajar, namun perintah untuk menyembelih sesuatu yang sangat disayang merupakan hal terberat. Namun pada aplikasinya Nabi Ibrahim as berhasil menjalankan itu semuanya, kasih sayang, kesenangan pada sesuatu tidak akan menghalangi berkurban melaksanakan perintah Tuhannya. Begitupun perjuangan para pemuda dahulu melawan penjajah di bumi nusantara ini, jika mereka tidak meninggalkan kesenangannya sangat mustahil Indonesia bisa merdeka, karena perjuangan melawan harus ditebus dengan nyawa, harta, bahkan sesuatu yang disenanginya, bahkan mereka juga mengorbankan keluarganya sekalipun, namun karena bulatnya tekad mendengungkan satu kata INDONESIA MERDEKA para pahlawan itu rela berhari - hari meninggalkan rumah untuk berperang berpindah - pindah tempat, para orang tua kala itu rela melepas anaknya untuk maju ke medan perang berjuang habis - habisan melawan penjajah. Selain itu kerelaan hati pemuda yang berjuang melawan penjajah juga dapat diapresiasi lebih. Seperti halnya Nabi Ismail As, ketika beliau mendengar ayahnya Ibrahim As memintanya izin untuk menyembelihnya karena perintah dari Allah Tuhan yang menciptakan Ibrahim, Ismail, semua yang ada di jagat raya ini, Ismail As rela menebus nyawanya masa - masa mudanya untuk melaksanakan perintah itu. Kesenangan manusia memang tak terbatas dan bahkan manusia selalu berhasrat untuk menambahnya, namun ketika manusia bisa mengurbankan kesenangannya demi hal - hal yang penting maka itulah yang dapat diacungi jempol.
Ketiga, wukuf di Arafah dalam rangkaian ibadah haji merupakan wujud kebersamaan tak ada perbedaan di antara manusia. Konflik horizontal dapat menjadikan malapetaka bagi stabilitas negara sendiri. Maka dari itu menyingkirkan ego masing - masing juga merupakan pengorbanan karena pada intinya kita sama - sama satu tanah air yaitu Indonesia, satu bangsa yaitu bangsa Indonesia, dan satu bendera yaitu bendera merah putih. Berkurban demi persatuan dan kesatuan yang dimaksudkan disini yaitu menyingkirkan primordialisme ketika berbicara mengenai nation atau negara sebagaimana telah dicontohkan pendahulu kita 84 tahun yang lalu. Meskipun demikian tak seharusnya kita melepaskan secara kearifan lokal pada masing - masing daerah yang ada di Indonesia, karena dari kearifan lokal itu dapat kita tarik benang merah menjadi satu kesatuan yaitu kearifan nasional yang menjadi cerminan tindakan dan pikir bangsa Indonesia. Kisah pengorbanan Nabi Ibrahim as dan Nabi Ismail as merupakan cerminan persatuan dan kesatuan dua insan mulia di bumi ini, sangat tidak mungkin perintah kurban itu akan terjadi jika keduanya tidak bersatu untuk visi misi yang sama yaitu menjalankan perintah Tuhan. Maka ketika Bung Karno berujar berilah aku 100 orang tua maka akan ku cabut gunung semeru dari akarnya, tapi beri aku satu pemuda maka akan ku goncangkan dunia. Selamat Hari Idul Adha dan Selamat Hari Sumpah Pemuda.

Minggu, 21 Oktober 2012

Partai - Partai Berbasis Agama


Dari waktu ke waktu partai berbasis agama senantiasa muncul. Mengapa demikian, setidaknya ada empat alasan utama. Pertama, secara teologis ada klaim bahwa agama adalah entitas integral dan holistic yang mengatur segala  dimensi sehingga agama dan politik bukan sesuatu yang terpisah (sekuler). Kedua, secara historis ada pendapat bahwa kaum agamawan memiliki andil yang tidak sedikit dalam membentuk, mempertahankan keberadaan dan kedaulatan Indonesia. Karena memiliki andil maka menjadi wajar apabila mereka tetap berkiprah dalam mengisi kemerdekaan. Ketiga,label agama dipandang memiliki nilai jual di hadapan pemilih dan telah memiliki pangsa pasar pemilih yang tetap. Terakhir, partai - partai sekuler dipandang tidak mampu menjadi articulator yang baik kepentingan - kepentingan kaum agamawan.

Tabel. 2.2. Partai Berbasis Agama dari Pemilu ke Pemilu





Berbasis Islam
Pemilu 1955
Masyumi, PNU, PSII, Perti, PPTI, AKUI
6

Pemilu 1971
PNU, Parmusi, PSII, Perti
4 partai
Pemilu 1971 - 1997
PPP
1 Partai
Pemilu 1999
PPP, PBB, PK, PNU, PP, PPI, Masyumi, PSII, PKU, KAMI, PUI, PAY, PIB, SUNI, PSII 1905, PMB, PID, PUMI
19 Partai
2004
PPP, PKS, PBR, PBB, PPNUI
5 Partai
Pemilu 2009
PPP, PKS, PMB, PBB, PBR, PKNU, PPNUI, PSI
8 Partai





Berbasis Agama Non- Islam
Pemilu 1955
Parkindo, Partai Katolik
2 Partai

Pemilu 1971
Parkindo, Partai Katolik
2 Partai

Pemilu 1971
-
-
Pemilu 1999
PDKB, Krisna, PKD
3 Partai
Pemilu 2004
PDS
1 Partai
Pemilu 2009
PDS, PKDI
2 Partai


Dalam sejarah kepartaian, perolehan suara partai - partai berbasis agama, yaitu gabungan antara partai berbasis islam dan Nasrani, mencapai puncaknya dalam pemilu 1955 mencapai sekitar 48%. Dalam era reformasi, sampai pada saat ini, akumulasi perolehan suara partai berbasis agama menurun drastis. Pada pemilu 1999, akumulasi perolehan suara partai politik islam hanya mencapai 17,71%, partai kaum nasrani hanya 1%. Sedangkan pemilu 2004 akumulasi partai islam hanya mencapai 21,14% dan akumulasi suara partai nasrani hanya 2,3%. Seandainya PAN (7%) dan PKB (10%) kita klasifikasikan sebagai partai agama, akumulasi perolehan suara partai agama tetap terbatas, tidak mencapai 40%. Dengan kata lain, sebagian besar partai agama hanya menjadi partai decimal, yaitu partai yang perolehan suaranya nol koma sekian.
Mengapa partai - partai agama mengalami kekalahan? Pertama, kekeliruan dalam membaca realitas sosiologis umat. Segmen pasar pemilih yang dibidik partai agama, mereka mayoritas adalah beragama secara nominal (abangan). Jadi ada islam abangan, ada Kristen abangan, dan seterusnya, dimana jumlah mereka adalah mayoritas. Mereka itu tidak begitu tertarik dengan partai dengan label agama. Kedua, terjadi pergeseran orientasi umar beragama sebagai hasil dari transformasi sosial ekonomi. Pergeseran orientasi ini dapat dibaca dari jargon “islam yes. partai islam no, Kristen yes, partai Kristen no” dan sebagainya. Ketiga, adanya akomodasi politik dari kekuatan politik diluar partai agama terhadap aspirasi kaum agamawan. Pemerintah dan partai - partai sekuler dipandang telah mengakomodasikan aspirasi dari kelompok agamawan. Keempat, oleh para politisi dari partai agama, agama sekedar dipolitisasi dan dijadikan komoditas politik tanpa niat yang tulus untuk memperjuangkan politik agama. Kelima, absennya tokoh yang cukup berbobot yang memiliki pengaruh yang luas di masyarakat. Para pemimpin umat memiliki pengaruh besar di masyarakat lebih suka membangun partai tersendiri yang sifatnya inklusif,  seperti Amien Rais dengan PAN dan Gus Dur dengan PKB. Terakhir, partai agama lebih menampakkan ekslusivitas atau dipandang memiliki kecenderungan ekslusif yang itu dianggap sebagai ancaman dari segmen pemilih lain.
Pada kancah politik Indonesia, panggung politik lebih banyak didominasi kehadiran partai politik berbasis islam dibandingkan yang lainnya. Perolehan suara partai berbasis agama non - islam tidak cukup signifikan dibandingkan partai - partai islam. Dua partai yang merepresentasikan partai berbasis agama non-islam adalah Parkindo dan Partai Katolik.
Parkindo merepresentasikan kepentingan politik umat Kristen. Parkindo berdiri pada 18 November 1945, yang pada awalnya bernama Partai Kristen Nasional (PKN) dan berubah nama menjadi Parkindo pada kongres I di Solo. Pada April 1947 Partai Kristen Indonesia (Parki) melebur ke dalam Parkindo sehingga Parkindo kemudian menjadi satu - satunya representasi politik umat Kristen. Pada pemilu 1955, perolehan suaranya pada posisi ke - 6 dengan suara 2,66 persen, dan pada pemilu 1971 perolehan suaranya mencapai 1,34 persen.
Sementara itu Partai Katolik Republik Indonesia (PRKI) merupakan representasi politik umat Katolik, berdiri 8 Desember 1945. Partai katolik berasal dari sebuah evolusi panjang keterlibatan kaum katolik dalam pergaulan politik di Indonesia. PKRI merupakan kelanjutan atau nama baru dari Persatuan Partai Katolik Indonesia (PPKI), dimana PPKI sendiri adalah metamorfosa dari Perhimpunan Politik Katolik Djawa (PPKD) yang berdiri tahun 1923 dan federasi perkumpulan politik katolik yang disebut Indische Katholike Partij (IKP). Pada pemilu 1955 PKRI berada pada posisi ke -7 dengan perolehan suara 2 persen, dan pada 1971 adalah 1 persen, sebuah jumlah yang tidak signifikan.
Berhubung kekuatan politik agama non-islam tidak cukup signifikan berikut ini pembahasan difokuskan pada partai - partai islam yang perolehan suaranya signifikan dalam mempengaruhi konstelasi politik Indonesia.

REFERENSI

Pamungkas, Sigit, 2011. Partai Politik : Teori dan Praktik di Indonesia. Yogyakarta : Institute for Democracy and Welfarism

Partai - Partai Programatik


Partai programatik merupakan partai yang tidak mendasarkan diri pada ideologi tertentu secara rigid. Partai jenis ini lebih berorientasi pada program, yang menurut mereka dianggap baik, apapun ideologinya. Partai ini berusaha keluar dari kerumitan ideologi partai yang dalam beberapa hal kontraproduktif. Solusi atas masalah menjadi titik tekan partai jenis ini tanpa harus mempersoalkan jenis ideologinya.
Di Indonesia, partai programatik pertama kali tumbuh didorong oleh orde baru, yaitu Golkar. Partai ini dipakai orde baru untuk melancarkan program pemerintah. Fasilitasi terhadap hadirnya jenis partai itu bahkan difasilitasi secara berlebihan sehingga tidak memberi ruang sama sekali bagi perkembangan partai - partai lain. Pada masa reformasi partai jenis ini tumbuh berkembang dengan baik. Prospek elektoralnya sangat menjanjikan karena ia berada pada spectrum tengah antara nasionalis dan islam. Beberapa contoh dari tipe partai ini yaitu
1. Golkar 
Sejarah Partai Golkar bermula pada tahun 1964 dengan berdirinya Sekber Golkar di masa akhir pemerintahan Presiden Soekarno. Sekber Golkar didirikan oleh golongan militer, khususnya perwira Angkatan Darat ( seperti Letkol Suhardiman dari SOKSI) menghimpun berpuluh-puluh organisasi pemuda, wanita, sarjana, buruh, tani, dan nelayan dalam Sekretariat Bersama Golongan Karya (Sekber Golkar).
Sekber Golkar didirikan pada tanggal 20 Oktober 1964. Sekber Golkar ini lahir karena rongrongan dari PKI beserta ormasnya dalam kehidupan politik baik di dalam maupun di luar Front Nasional yang makin meningkat. Sekber Golkar ini merupakan wadah dari golongan fungsional/golongan karya murni yang tidak berada dibawah pengaruh politik tertentu. Terpilih sebagai Ketua Pertama Sekber Golkar adalah Brigadir Jenderal (Brigjen) Djuhartono sebelum digantikan Mayor Jenderal (Mayjen) Suprapto Sukowati lewat Musyawarah Kerja Nasional (Mukernas) I, Desember 1965.
Jumlah anggota Sekber Golkar ini bertambah dengan pesat, karena golongan fungsional lain yang menjadi anggota Sekber Golkar dalam Front Nasional menyadari bahwa perjuangan dari organisasi fungsional Sekber Golkar adalah untuk menegakkan Pancasila dan UUD 1945. Semula anggotanya berjumlah 61 organisasi yang kemudian berkembang hingga mencapai 291 organisasi.
Organisasi-organisasi yang terhimpun ke dalam Sekber GOLKAR ini kemudian dikelompokkan berdasarkan kekaryaannya ke dalam 7 (tujuh) Kelompok Induk Organisasi (KINO), yaitu:
1.                              Koperasi Serbaguna Gotong Royong (KOSGORO)
2.                              Sentral Organisasi Karyawan Swadiri Indonesia (SOKSI)
3.                              Musyawarah Kekeluargaan Gotong Royong (MKGR)
4.                              Organisasi Profesi Ormas Pertahanan Keamanan (HANKAM)
5.                               Gerakan Karya Rakyat Indonesia (GAKARI)
6.                              Gerakan Pembangunan Untuk menghadapi Pemilu 1971,



GOLKAR menyatakan diri bukan parpol karena terminologi ini mengandung pengertian dan pengutamaan politik dengan mengesampingkan pembangunan dan karya. September 1973, GOLKAR menyelenggarakan Musyawarah Nasional (Munas) I di Surabaya. Mayjen Amir Murtono terpilih sebagai Ketua Umum. Konsolidasi GOLKAR pun mulai berjalan seiring dibentuknya wadah-wadah profesi, seperti Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI), Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI) dan Federasi Buruh Seluruh Indonesia (FBSI).
Setelah Peristiwa G30S maka Sekber Golkar, dengan dukungan sepenuhnya dari Soeharto sebagai pimpinan militer, melancarkan aksi-aksinya untuk melumpuhkan mula-mula kekuatan PKI, kemudian juga kekuatan Bung Karno. Pada dasarnya Golkar dan TNI-AD merupakan tulang punggung rezim militer Orde Baru.
Semua politik Orde Baru diciptakan dan kemudian dilaksanakan oleh pimpinan militer dan Golkar. Selama puluhan tahun Orde Baru berkuasa, jabatan-jabatan dalam struktur eksekutif, legislatif dan yudikatif, hampir semuanya diduduki oleh kader-kader Golkar. Keluarga besar Golongan Karya sebagai jaringan konstituen, dibina sejak awal Orde Baru melalui suatu pengaturan informal yaitu jalur A untuk lingkungan militer, jalur B untuk lingkungan birokrasi dan jalur G untuk lingkungan sipil di luar birokrasi.
Pemuka ketiga jalur terebut melakukan fungsi pengendalian terhadap Golkar lewat Dewan Pembina yang mempunyai peran strategis. Jadi Pimpinan Pemilu Dalam pemilu Golkar yang berlambang beringin ini selalu tampil sebagai pememang. Kemenangan Golkar selalu diukir dalam pemilu di tahun 1977, 1982, 1987, 1992, dan 1997. Arus reformasi bergulir.
Tuntutan mundur Presiden Soeharto menggema di mana-mana. Soeharto akhirnya berhasil dilengserkan oleh gerakan mahasiswa. Hal ini kemudian berimbas pada Golkar. Karena Soeharto adalah penasehat partai, maka Golkar juga dituntut untuk dibubarkan. Saat itu Golkar dicerca di mana-mana.
Akbar Tandjung yang terpilih sebagai ketua umum di era ini kemudian mati-matian mempertahankan partai. Di bawah kepemimpinan Akbar, Golkar berubah wujud menjadi Partai Golkar. Saat itu Golkar juga mengusung citra sebagai Golkar baru. Upaya Akbar tak sia-sia, dia berhasil mempertahankan Golkar dari serangan eksternal dan krisis citra, inilah yang membuat Akbar menjadi ketua umum Golkar yang cukup legendaris.

2. Partai Demokrat

PD mengusung gagasan nasionalisme - religious, sebuah jalan tengah antar blok nasionalisme dan blok agama, humanism, dan pluralisme, serta demokrasi. Ketika pertama kali mengikuti pemilu 2004, PD tidak mendapatkan suara yang besar tetapi juga mampu berprestasi besar. Pemilu DPR mendapat dukungan 7 persen, urutan kelima sebanding dengan partai - partai yang terlebih dahulu berdiri seperti PPP dan PAN. Bermodal suara itu PD kemudian mengusung calon presiden dan memenangkannya. Pasangan Susilo Bambang Yudhoyono - Yusuf Kalla dalam putaran pertama memperoleh suara 34% dan kedua 61% meraih suara terbanyak mengalahkan kompetitornya.
Prestasi PD terus berkibar pada pemilu berikutnya tahun 2009. Perolehan suara PD meningkat 300 persen dan menjadi pemenang pemilu dengan 21 persen mengalahkan Golkar dan PDIP. Lebih lanjut, dalam pemilu presiden dan wakil presiden, SBY selaku Dewan Pembina PD berpasangan dengan seorang teknokrat dari UGM Budiono, menang dalam sekali putaran dengan perolehan suara 61%. Kekuatan partai ini sepenuhnya bertumpu pada individi SBY dan keberhasilan pemerintahannya.

3. Hanura

Hanura berdiri pada 21 Desember 2006 dengan prakarsa utama Wiranto. Wiranto sendiri adalah berlatarbelakang militer dan menjadi bagian dari Golkar. Sebelum Hanura terbentuk pada pemilu 2004 Wiranto berpasangan dengan Shalahuddin Wahid menjadi kandidat presiden dan wakil presiden dari Golkar. Pasangan ini menempati posisi ketiga dengan memperoleh suara 22,15% dari lima pasangan yang berkompetisi. Pasca pemilu 2004, pada Munas Golkar 2004 di Bali, Wiranto gagal bersaing menjadi Ketua Umum Golkar. Setelah itu, Wiranto kemudian memilih untuk tidak berkarier lagi di Golkar dan kemudian mendirikan Hanura.
Pada pemilu pertama keikutsertaannya dalam pemilu, yaitu Pemilu 2009, Hanura memperoleh suara 3,77 persen suara, suatu jumlah yang bagi partai baru relatif signifikan yang memungkinkannya melampaui PT 2 persen. Meskipun perolehan suaranya kecil, pada pemilu presiden dan wakil presiden 2009 partai ini digandeng Golkar untuk mengajukan paket kandidat. Dengan berposisi sebagai kandidat wakil presiden, Wiranto akhirnya berpasangan dengan Jusuf Kalla dari Golkar maju dalam laga pemilu presiden dan wakil presiden. Dengan demikian, jika pada pemilu 2004 Wiranto diusung Golkar maju sebagai calon presiden, pada pemilu 2009 Wiranto kembali maju tetapi dengan posisi calon wakil presiden diusung bersama - sama oleh Golkar dan Hanura. Hasil pilpres 2009, pasangan ini hanya memperoleh suara 12,41% suara dan menempati peringkat terbawah. Di parlemen, dengan 18 kursi Hanura bersama PDIP dan Gerindra kemudian mengambil sikap oposisi terhadap pemerintah.

4. Gerindra

Gerindra dideklarasikan pada Februari 2008. Prabowo Subianto menjadi aktor utama dibalik pendirian Gerindra. Prabowo berlatarbelakang militer dan sebelumnya anggota Dewan Pembina di Golkar era 2004 - 2008. Pada pemilu 2004 Prabowo ikut dalam konvensi pemilihan kandidat presiden di Golkar tetapi kalah. Pada munas Golkar di Bali tahun 2004, Prabowo mencalonkan diri menjadi ketua umum Golkar dan kembali gagal.
Partai ini mengusung gagasan nasionalisme dan kerakyatan. Pada kampanye pemilu 2009, partai ini menekankan pentingnya kemandirian bangsa, dan keberpihakan kepada hajat hidup rakyat kecil seperti buruh, petani, dan nelayan. Posisi yang diambil menolak asumsi - asumsi pandangan neoliberalisme.
Pada pemilu 2009 Gerindra memperoleh suara 4,46 persen, dan berhak menempatkan kadernya di Senayan dengan kuota 26 kursi. Meskipun perolehan suaranya kecil, Gerindra berhasil mengusung Prabowo sebagai calon wakil presiden berpasangan dengan Megawati, kandidat dari PDIP. Pasangan Megawati - Prabowo berada pada peringkat kedua dengan perolehan suara 26,79%. Pasca pemilu 2009, Gerindra menjadi salah satu kekuatan oposisi dalam pemerintahan SBY - Budiono.

REFERENSI

Pamungkas, Sigit, 2011. Partai Politik : Teori dan Praktik di Indonesia. Yogyakarta : Institute for Democracy and Welfarism




Tipe Partai Nasional


Dalam panggung politik Indonesia keberadaan partai nasionalis senantiasa dilekatkan dengan sosok Soekarno, meskipun tidak harus demikian. Soekarno telah ditempatkan sebagai peletak dasar gagasan nasionalisme Indonesia. Oleh karena itu, hampir semua partai yang berdiri pada masa reformasi senantiasa membuat tanda istilah yang ada kaitannya dengan apa yang pernah diletakkan Soekarno. Di luar Soekarno, ideologi militer seringkali berada berdekatan dengan ideologi nasionalis.
Gagasan Soekarno tampaknya menjadi magnet bagi politisi dan rakyat untuk berhimpun di dalamnya. Sepanjang massa kepartaian Indonesia keberadaan partai nasionalis terus menghiasi kancah politik nasional, sama halnya dengan partai politik keagamaan, terutama islam. Keberadaan partai nasionalis ini seringkali dipertentangkan dengan partai - partai islam.. Bila partai - partai islam berkecenderungan meletakkan dasar - dasar agama dalam argument bernegara, sebaliknya partai nasionalis justru dalam batas - batas tertentu, berusaha mensekulerkan negara. Di antara kedua kekuatan ini seringkali berseberangan sikap politik.
 PDI Perjuangan
PDIP merupakan keberlanjutan atau transformasi dari PDI di era orde baru. PDI sendiri adalah partai yang lahir dari fusi yang dipaksakan oleh negara pada tahun 1973. Terdapat lima partai sebagai pembentuk PDI, yaitu PNI, Murba, IPKI, Parkindo, dan Partai Katolik, tiga partai yang disebut pertama adalah partai dengan kecenderungan nasionalis- sekuler - progresif - populis, sementara itu dua partai terakhir adalah partai dengan orientasi keagamaan atau spiritual, yaitu Kristen dan Katolik. Kelima partai tersebut sering disebut sebagai kelompok material spiritual, yaitu partai - partai politik dengan orienrasi pembangunan materiil tanpa mengabaikan aspek spiritual.
Dengan demikian, PDI kala itu hingga saat ini berganti menjadi PDIP sesungguhnya adalah sebuah partai dengan ramuan ideologi yang rumit. Di antara unsur - unsur yang melakukan fusi sendiri terdapat sikap saling curiga. PNI meragukan loyalitas Parkindo dan Partai Katolik kepada bangsa ini karena dianggap agen imprealisme dan kapitalisme, sementara itu Parkindo dan Partai Katolik sendiri mencurigai PNI memiliki keterkaitan dengan PNI Asu yang Orla dan sekedar menekankan marhaenisme sehingga tidak pancasilais, sedangkan Murba dicurigai melanjutkan ajaran Trotsky. Dengan demikian tidak aneh apabila saat itu Parkindo dan Partai Katolik sempat menggagas fusi bersama menjadi Partai Kristen Demokrat, meskipun akhirnya tidak terealisasikan.
PDIP lahir dari pertarungan untuk sintas (survive) dan perlawanan terhadap pemaksaan kehendak negara terhadap kehidupan partai pada masa menjelang keruntuhan orde baru. Orde baru dengan berbagai cara berusaha menghalang - halangi tampilnya keturunan Soekarno dalam hal ini Megawati, untuk tampil memimpin PDI karena dianggap membahayakan penguasa. Konflik berkepanjangan sejak tahun 1993 - 1999 mengakibatkan PDI akhirnya pecah ,satu pihak dibawah kepemimpinan Megawati yang didukung akar rumput dan pihak lain dibawah kepemimpinan Suryadi yang didukung orde baru.
Legitimasi PDI ini diuji dalam pemilu 1997. Pada pemiliu tersebut, PDI kubu Soerjadi menjadi peserta pemilu bersama PPP dan Golkar. Sementara itu, PDI dibawah Megawati mengambil sikap boikot pemilu. PDI kubu Megawati memilih golput atau melakukan aliansi strategis dengan PPP yang dikenal dengan aliansi Mega - Bintang. Perolehan suara PDI turun drastic dari 14,89 persen pada tahun 1992 menjadi 3,06 pada pemilu 1997. Tajamnya perolehan suara PDI menjadi bukti legitimasi kepemimpinan PDI dibawah Megawati.
Setelah orde baru tumbang, dualism kepemimpinan PDI terus berlangsung sampai pada Megawati mendeklarasikan perubahan nama PDI yang dipimpinnya menjadi PDI Perjuangan, 14 Februari 1999. Hasil pemilu 1999 kemudian menjadi bukti untuk kedua kalinya kepemimpinan PDI yang sesungguhnya. Legitimasi rakyat terhadap kepemimpinan PDI ternyata diberikan kepada PDI dibawah Megawati yang telah berganti nama menjadi PDI Perjuangan. Di tengah pluralitas partai politik, PDIP tidak hanya mengalahkan PDI bentukan orde baru tetapi juga mampu keluar sebagai pemenang pemilu. Hasilnya pemilunya sangat prestisiu, yaitu 33,7%. Diduga pencapaian yang diraih oleh PDIP dalam pemilu itu tidak akan dapat diulang dalam sejarah pemilu - pemilu berikutnya, bahkan oleh partai - partai lain. Sedangkan PDI bentukan orde baru,yang saat itu dibawah Budi Harjono, menjadi partai decimal, yaitu perolehan suara tidak sampai 1 persen. Dengan demikian, resistensi pendukung PDI dibawah kepemimpinan Megawati telah melahirkan PDI Perjuangan.
PDIP merepresentasikan ideologi nasionalis kerakyatan. Pada saat bersamaan, partai ini adalah merepresentasikan atau ekspresi politik dari pembilahan sosial sekuler dan abangan. PDIP ketika masih bersama PDI zaman orde baru sering berseberangan secara politik dengan partai - partai berorientasi agama contohnya islam. Ketika amandemen konstitusi dilakukan, PDIP menolak kehendak sebagian partai islam untuk mengubah pasal yang berhubungan dengan agama.

REFERENSI

Pamungkas, Sigit, 2011. Partai Politik : Teori dan Praktik di Indonesia. Yogyakarta : Institute for Democracy and Welfarism



Pembilahan Sosial dan Formasi Politik


Terdapat banyak penjelasan yang berupaya memahami eksistensi kepartaian di Indonesia. Masing - masing punya argumentasi dan daya penjelas tersendiri. Satu hal yang harus dicatat dari berbagai penjelasan itu adalah masing - masing penjelasan yang ada berangkat dari bacaan terhadap kepartaian dimana penjelasan tentang itu dibuat. Konsekuensinya, boleh jadi penjelasan itu tidak mampu memberi eksplansi yang baik untuk perkembangan kepartaian di masa berikutnya setelah penjelasan itu dibuat.
Sukarno menjadi orang yang pertama kali berusaha memahami pembilahan sosial Indonesia dihubungkan dengan kepartaian Sukarno (1927) menyebutkan tiga aliran politik penting di Indonesia, yaitu nasionalisme, islam, dan marxisme. Di bawah demokrasi terpimpin klasifikasi itu dikonsolidasikan dalam satu level, nasakom singkatan dari nasionalis, agama, dan komunis.
Namun, Feith mengkritik pembagian Sukarno tersebut sebagai pembagian yang tidak melihat kontras - kontras yang ada di dalam setiap kategori. Masing - masing kategori terlalu heterogen sifatnya. Dicontohkannya, antara pemikiran komunis dan sosialis jelas terdapat kontras - kontras yang mencolok. Disamping itu, aliran - aliran penting lainnya tidak dimasukkan.
Selanjutnya Herbeth Feith menggambarkan karakteristik pemikiran politik partai Indonesia periode 1945 - 1955 menjadi 5 yaitu : nasionalisme, radikal, tradisionalisme jawa, islam, sosialisme, demokratis, dan komunis. 
Pembagian tersebut menggambarkan aliran - aliran dalam kaitannya dengan ketegangan antara warisan - warisan tradisional khusus serta kaitannya dengan dunia modern, terutama dunia barat, dan ide - idenya. Warisan - warisan tradisional Indonesia hindu - budha terpisah jelas dengan islam. Sementara itu pengaruh - pengaruh ideologis yang diambil dari dunia barat tidak menunjukkan perbedaan tajam. Pengaruh yang paling kuat adalah marxisme, baik dalam bentuk leninisme maupun demokrasi sosialnya, sedangkan pengaruh demokrasi liberal jauh lebih lemah.
PKI merupakan partai yang memiliki kesan kuat memutuskan ikatan kuat dengan masa lampau, dan menambatkan dirinya dengan konsep - konsep pemikiran, langsung, maupun tidak langsung, dari barat sekalipun mereka menggunakan himbauan - himbauan abangan tradisional dan sebagainya. Ide - ide sosialisme demokrat berpengaruh dalam tubuh PSI. Meskipun demikian tidak sedikit pemimpin - pemimpin PNI dan Masyumi yang juga terpengaruh oleh gagasan sosialisme demokrat. Sementara itu NU dan Masyumi menjadi representasi politik dari alam pemikiran islam. Kedua partai tersebut berbeda dalam ekspresi keislamannya. NU adalah partai islam yang akomodatif dan relatif terpengaruh oleh pemikiran tradisionalisme jawa. Sementara itu Masyumi adalah partai islam yang memilih kecenderungan reformis dan fundamentalis.
Pemilihan berikutnya adalah terkait dengan tradisionalisme jawa. Organisasi yang paling dekat mencerminkan pembilhan sosial ini adalah PIR (Partai Indonesia Raya). Sebagai sebuah pemikiran tapak - tapak pengaruh tradisionalisme jawa kuat merasuk ke dalam PNI, NU, golongan ABRI dan pamongpraja.
Terkait dengan nasionalisme radikal, dalam struktur kepartaian terutama sekali direpresentasikan oleh PNI. Bagian itu merupakan perpaduan rumit antara tradisionalisme jawa, komunisme, dan sosialisme demokrat.
Sementara itu Dhakidae membagi partai ke dalam dua jalur utama : jalur kelas dan aliran. Disebutkannya bahwa partai yang mengambil jalur kelas membedakan dirinya dan yang lain berdasarakan masyarakat itu atas kelas pemilik modal dan kaum buruh dengan segala kompleksitasnya. Partai yang mengambil jalur aliran membedakan dirinya dengan yang lain berdasarkan pandangannya tehadap dunia dan persoalannya, dan bagaimana caa memecahkannya.
Pada jalur kelas dipilah menjadi dua kelompok partai, yaitu pembangunanisme (devolopmentalisme) dan sosialisme radikal. Menurut Dhakidae, beberapa partai buruh dan partai berideologi marhaenisme masuk dalam kelompok sosialisme radikal. Sementara itu, Golkar adalah representasi dari kelompok pembangunisme yang berpihak kepada pemodal, internasional, dan domestik.
Sementara itu, pada jalur aliran, partai - partai dipilah menjadi kelompok agama dan kelompok kebangsaan. Kelompok agama terbagi ke dalam aliran islam dan Kristen. Partai agama mudah muncul salah satunya karena faktor agama mempermudah menyatukan pendukung sebuah agama. PDIP menjadi kelompok partai berdasarkan kebangsaan.
Diluar popularitas jalur tersebut, terdapat kelompok tengah sebagai titik temu popularitas jalur kelas dan aliran. PAN, PKB berada dalam posisi ini. Menurut Dhakidae, kluster tengah ini boleh jadi sebuah “the golden middle, the radical middle”, atau “the intelegent middle”. Posisi tengah ini merupakan ramuan dari agama, kebangsaan, pembangunaisme dan sosialisme. Mereka tidak anti modal tetapi modal harus diolah sedemikian rupa untuk kepentingan sosial. Mereka juga tidak menganut statisme sehingga peran agama mendapat modifikasi yang berarti.
Sementara itu penjalasan paling kontemporer disampaikan oleh Ambardi. Ambardi melihat bahwa pembilahan sosial di Indonesia sampai dengan saat ini terbagi atara pembilahan keagamaan, regional, dan kelas. Dalam perjalannya, dari masa ke masa semua pembilahan sosial tersebut tidak bertransformasi menjadi partai, tetapi yang pasti adalah pembilahan sosial itu berusaha diaktivasi menjadi kekuasaan partai.

Tabel 2.1.
Pembilahan sosial dan ragam kepartaian dari masa ke masa


Periode
Kolonial
Era Soekarno
Orde Baru
Reformasi
Pembentukan cleavage
Keagamaan dan regional
-
kelas
-
Usaha memobilisasi pembilahan dalam struktur kepartaian
Mobilasi semua pembilahan
Mobilisasi pembilahan keagamaan dan regional
Mobilisasi pembilahan
Semua pembilahan sosial berusaha dimobilisasi


Menurut Ambardi, pembilahan regional terbentuk sebagai akibat konsentrasi produksi dan pembanguna yang terfokus di Jawa dan berlangsung semenjak zaman colonial. Hal itu berakibat pada ketimpangan ekonomi antara Jawa dan luar Jawa dan kemudian berakhir pada munculnya pembilahan Jawa - luar Jawa atau pusat - daerah. Pembilahan sosial ini tidak jarang melibatkan faktor etnis, seperti yang terjadi di Aceh. Sementara itu pembilahan keagamaan versus sekuler terbentuk pada awal abad 20 ketika semangat nasionalisme Indonesia menyeruak Budi Utomo menjadi simbol dari sebuah cita - cita sekuler. Sementara itu, SDI merepresentasikan cita - cita agama. Ketegangan di antara dua bahkan sampai pada masa reformasi, terutama menyangkut ideologi negara. Ketegangan di antara dua pembilahan tersebut, pusat - daerah dan keagamaan - sekuler, tidak serentak dimobilisasi. Pada tahun 1950 -an, pembilahan pusat - daerah (Jawa - luar Jawa) relatif ditekan sebelum pemilu 1955, namun menjadi menonjol setelah pemilu 1955. Di sisi lain, pembilahan keagamaan - sekuler, tepatnya islam vs sekuler sepenuhnya dimobilisasi oleh partai - partai islam dan nasionalis.
Pada era kolonial dan era demokrasi parlementer pembilahan berbasis kelas belum terbentuk. Meskipun PKI telah terbentuk tahun 1924, dan sejak itu memdapat para pengikut, partai ini tidak pernah memiliki basis kuat di antara buruh industri.  Industriliasasi yang terjadi pada masa colonial, pasca kemerdekaan sampai pada masa sebelum orde baru belum melahirkan pembilahan sosial berbasis kelas yang penuh.
Pembilahan sosial berbasis kelas baru mulai terbentuk secara baik pada masa orde baru, terutama sejak tahun 1970-an. Pembilahan sosial ini berbentuk sebagai akibat dari titik berat kebijakan orde baru yang berorientasi pada pertumbuhan ekonomi. Melalui strategi ISI (import subsition industrialization) berbagai jenis industri, terutama manufaktur, berkembang, dan modal masuk ke Indonesia. Ujungnya adalah pembilahan kelas, pengusaha - buruh terbentuk.

REFERENSI 

Pamungkas, Sigit, 2011. Partai Politik : Teori dan Praktik di Indonesia. Yogyakarta : Institute for Democracy and Welfarism

Cak Nun Bicara Demokrasi


Dari sekian pemikirannya yang dituangkan dalam buku, ada beberapa pemikiran beliau mengenai politik salah satu pada buku berjudul Demokrasi La Raiba Fih. Dimana disana beliau mengutarakan bahwa demokrasi merupakan suatu harga mati dan kebenaran sejati.
Demokrasi itu prinsip yang mutlak, pedoman perikehidupan yang bersifat absolute, tidak boleh ditolak, tidak boleh dipertanyakan, bahkan sedikit pun tidak boleh diragukan. Al Qur’an sebagai kitab suci umat islam, boleh dikatakan bahwa dirinya La Raiba Fih, tak ada keraguan padanya. Tetapi menurut undang - undang di negeriku orang boleh meragukan Al Qur’an, tidak melanggar hukum jika meninggalkannya, bahkan terdapat kecenderungan psikologis empiric untuk menganjurkan secara impisit sebaiknya orang menolak dan membencinya.
Tetapi tidak boleh bersikap demikian kepada demokrasi. Demokrasi - lah la raiba fih yang sejati.  Di dalam praktik konstitusi negeriku demokrasi lebih tinggi dari Tuhan. Tuhan berposisi dalam lingkup hak pribadi setiap orang, sedangkan demokrasi terletak pada kewajiban bersama, dan itu berarti juga kewajiban pribadi. Orang tidak ditangkap karena mengkhianati Tuhan, tetapi berhadapan dengan aparat hukum kalau menolak demokrasi.
Minimal diabaikan. Kalau engkau diam - diam tidak memilih demokrasi, engkau dianggap tak ada. Tetapi, kalau sampai engkau mengajak orang di depan umum untuk menolak demokrasi, engkau melanggar hukum.
Parpol itu kebenaran tunggal.Parpol itu satu - satunya yang berhak menyiapkan jalan kehidupan, jalan memilih wakil rakyat dan pemimpin negara. Kalau engkau tidak mau berjalan di jalanan yang disediakan parpol, suara abstainmu tidak dihitung. Kekecewaanmu tidak masuk ke dalam lembaran konstitusi negara.
Engkau tidak bisa berperan apa - apa selain di jalan demokrasi dan parpol. Peranmu harus mendukung dan wajib memilih satu di antara parpol - parpol itu. Aturan negara sendiri hanya memakai bahasa “hak pilih”, itu sebuah retorika budaya dan taktik politik. Sedangkan yang bertugas memakai kata “wajib memilih” alias “haram golput” adalah kaum ulama. Sebab idiom “wajib” itu berada di dalam otoritas kaum ulama, yakni wakil Allah di bumi, yang bertugas menata kehidupan umat manusia berdasarkan matriks “wajib, sunnah, mubah, makruh, dan haram”.
Begitulah sekelumit pandangan Cak Nun mengenai demokrasi saat ini. Atas nama demokrasi moralitas, agama, dan etika disampingkan, demokrasi seakan menjadi satu - satunya cara menuntaskan semua permasalahan hidup di negara ini. Dan melalui parpol nantinya arah kehidupan negara itu akan tahu jalannya kemana. Jika kita tidak mengikuti untuk menentukan arah jalan tersebut, maka harus siap - siap menanggung kekecewaan.
Atas nama demokrasi, semuanya dinomor duakan. Hal ini yang mengakibatkan keseimbangan yang bagus dalam penyelenggaraan negara. Dimana masyarakat tidak mengkombinasikan demokrasi dengan budaya yang sudah terbentuk sejak lama di Indonesia sendiri. Dan lagi - lagi masyarakat yang menjadi aktor di dalamnya menjadi korban pula dari demokrasi yang diagungkan ini. Jadi menurut Cak Nun, tak salah ketika demokrasi dikatakan sebagai senjata mutlak “La Raiba Fih” dalam segala hal di Indonesia ini.
Bahkan karena demokrasi pun ulama mengatakan golput itu haram, hal inilah yang terjadi pada Fatwa Ulama III MUI di Padang Panjang, Sumatera Barat. Hal yang lucu Tuhan sendiri, tidak pernah mengatakan bahwa tidak memilih itu sebuah keharaman, mungkin fatwa dari ulama ini didasari atas ketakutan akan nasib bangsa. Karena pada intinya demokrasi itu dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat.
Dan kalau rakyat mau melihat negara ini mengalami perubahan ke arah positif maka “wajib” hukumnya untuk memilih. Suatu hal yang lucu ketika melihat prinsip demokrasi yang mengedepankan kebebasan.
Itulah sekelumit pemikiran Emha Ainun Nadjid mengenai negara, demokrasi dimana sebagai seorang budayawan dan cendekiawan. Beliau mengedepankan bahasa - bahasa yang sederhana supaya masyarakat awam bisa paham.

REFERENSI 

Ainun Nadjib, Emha, 2009. Demokrasi La Raiba Fih. Jakarta : Kompas Media Nusantara