Selasa, 01 Januari 2013

Menguji Keseriusan Keterwakilan Perempuan di Politik



Gerakan perempuan dan dinamika perpolitikan saat ini tak bisa dilepaskan begitu saja. Politik merupakan salah satu alat menyejahterakan masyarakat, sedangkan melihat realitas di lapangan jumlah populasi perempuan lebih banyak daripada laki - laki. Hal ini belum diimbangi dengan kesempatan perempuan memasuki dunia politik, Tak Cuma di politik, perempuan acap kali hanya dijadikan “nomor dua” di berbagai bidang lain. Hal ini yang memunculkan kerentatan sosial lebih tinggi dibandingkan dengan kaum laki - laki.
Usaha untuk melakukan itu bukan tidak ada, gerakan - gerakan perempuan untuk memberikan porsi yang lebih adil untuk perempuan masih terus dilakukan. Namun proses ini tak bisa dibayangkan mudah, menerobos norma agama, adat, dan sosial yang sudah turun temurun dimana perempuan adalah makhluk “nomor dua”. Belum lagi kesadaran para perempuan sendiri yang belum menyadari makna dari gerakan perempuan itu sendiri.
Di era reformasi ini, dimana kebebasan melaksanakan hak sudah mulai diusung salah satunya melalui gerakan perempuan tersebut. Para perempuan sudah mulai perlahan muncul, meskipun jumlahnya tak banyak dan terus masih mendapat cap “nomor dua”. Situasi ini kian runyam ketika keterwakilan perempuan di legislatif belum sesuai dengan yang diharapkan. Hal ini dibuktikan bahwa masih setengah hatinya para elite politik di eksekutif dan legislatif untuk menyusun suatu draf undang - undang tentang hak perpolitikan perempuan. Dari teori affermatif action dimana perempuan mewakili 30% suaranya di legislatif hal itu masih berjalan setengah hati. Dinamika perpolitikan kian runyam dikarenakan banyak parpol yang belum siap untuk kaderisasi perempuan, sehingga penempatan perempuan sebagai legislatif tampak asal - asalan dan terkesan “memaksa”. Perlu adanya perbaikan kualitas secara bertahap pada kader - kader perempuan dimana nantinya itu akan mewakili suara perempuan ketika duduk di legislatif.
Namun dibalik itu semua di eksekusinya undang - undang tentang keterwakilan perempuan sudah menjadi sesuatu yang dikatakan maju satu langkah untuk menyeterakan kesamaan hak perempuan dalam memperoleh kehidupan yang layak melalui kebijakan - kebijakan di tingkat elite politik. Dari kehadiran wakil - wakil perempuan di jajaran legislatif dan eksekutif inilah diharapkan dapat meningkatkan derajat dan menyuarakan keseteraan gender di tengah isu demokrasi saat ini.

Sebab Akibat Munculnya Gerakan Perempuan

Gender sebagai alat analisis umumnya dipakai oleh penganut aliran ilmu sosial konflik yang justru memusatkan perhatian kepada ketidakadilan struktural dan sistem yang disebabkan oleh gender. Gender, sebagaimana dituturkan oleh Oakley, gender and society berarti perbedaan yang bukan biologis dan bukan kodrat Tuhan. Perbedaan biologis yakni perbedaan jenis kelamin adalah kodrat Tuhan dan oleh karenanya secara permanen berbeda. Sedangkan gender adalah perbedaan antara laki - laki dan perempuan yang dikonstruksikan secara sosial, yakni perbedaan yang bukan kodrat atau bukan ketentuan Tuhan melainkan diciptakan oleh manusia melalui proses sosial dan kultural yang panjang. Caplan mengurai bahwa perbedaan perilaku antara laki - laki dan perempuan tidaklah sekedar biologi, namun melalui proses sosial dan kultural. Oleh karena itu gender berubah dari waktu ke waktu, dari tempat ke tempat bahkan dari kelas ke kelas, sedangkan jenis kelamin biologis akan tetap tidak berubah.
Perbedaan gender pada proses berikutnya melahirkan peran gender dan dianggap tidak menimbulkan masalah. maka tak pernah digugat. Jadi kalau secara biologis kaum perempuan dengan organ reproduksinya bisa hamil, melahirkan dan menyusui dan kemudian mempunyai peran gender sebagai perawat, pengasuh dan pendidik anak, sesungguhnya tidak ada masalah dan tidak perlu digugat. Dari studi yang menggunakan analisis gender ini ternyata banyak ditemukan perbagai manifestasi ketidakadilan gender.
Pertama, terjadi marginalisasi (pemiskinan ekonomi) terhadap kaum perempuan. Meskipun tidak setiap marginalisasi perempuan disebabkan oleh ketidakdilan gender, namum yang dipersoalkan dalam analisis gender adalah marginalisasi yang disebabkan oleh perbedaan gender. Misalkan banyak perempuan desa tersingkirkan dan menjadi miskin akibat program pertanian revolusi hijau yang hanya memfokuskan diri pada petani laki - laki. Di luar dunia perempuan seperti “guru taman kanak - kanak” atau “sekretaris” yang dinilai lebih rendah dibandingkan pekerjaan laki - laki dn seringkali berpengaruh terhadap perbedaan gaji antara kedua jenis pekerjaan tersebut.
Kedua, terjadinya subordinasi pada salah satu jenis kelamin, umumnya kepada kaum perempuan. Dalam rumah tangga, masyarakat maupun negara, banyak kebijakan dibuat tanpa ‘menganggap penting’ kaum perempuan. Misalnya anggapan perempuan hanya boleh mengurusi uruan dapur, mengapa harus sekolah tinggi - tinggi, adalah bentuk subordinasi yang dimaksudkan. Bentuk dari mekanisme proses subordinasi tersebut dari waktu ke waktu dari tempat ke tempat berbeda. Misalnya karena anggapan bahwa perempuan memiliki pembawaan emosional sehingga dianggap tidak tepat tampil sebagai pemimpin partai atau menjadi manager. Proses tersebut merupakan subordinasi dan diskriminasi berdasarkan gender.
Ketiga, pelabelan negatif (streotipe) terhadap jenis kelamin tertentu, dan akibat dari streotipe itu terjadi diskriminasi serta berbagai ketidakadilan lainnya. Dalam masyarakat, banyak sekali streotipe yang dilekatkan kepada kaum perempuan yang berakibat membatasi, menyulitkan, memiskinkan dan merugikan kaum perempuan. Karena adanya keyakinan masyarakat bahwa kaum laki - laki adalah pencari nafkah misalnya, maka setiap pekerjaan yang dilakukan oleh perempuan dinilai hanya sebagao “tambahan” dan oleh karenanya boleh saja dibayar lebih rendah.
Keempat, kekerasan terhadap jenis kelamin tertentu, umumnya perempuan, karena perbedaan gender. Kekerasan ini mencakup kekerasan fisik seperti pemerkosaan dan pemukulan, sampai kekerasan dalam bentuk yang lebih halus lagi seperti pelecehan seksual dan penciptaan ketergantungan. Banyak sekali kekerasan terhadap perempuan yang terjadi karena adanya streotipe gender. Bahwa karena perbedaan gender dan sosialisasi gender yang amat lama, sehingga mengakibatkan kaum perempuan secara fisik lemah dan laki- laki umumnya lebih kuat maka hal itu tidak menimbulkan masalah sepanjang anggapan lemahnya perempuan tersebut mendorong laki - laki boleh dan bisa seenaknya memukul dan memperkosa perempuan. Banyak unsur kecantikan, namun karena kekuasaan dan streotipe gender yang dilekatkan pada kaum perempuan.
Kelima, karena peran gender perempuan adalah mengelola rumah tangga. Maka banyak perempuan menanggung beban kerja domestik lebih banyak dan lebih lama. Dengan kata lain, peran gender perempuan mengelola, menjaga, dan memelihara kerapian tersebut, telah mengakibatkan tumbuhnya tradisi dan keyakinan masyarakat bahwa mereka harus bertanggungjawab atas terlaksananya keseluruhan pekerjaan domestik. Sosialisasi peran gender tersebut menimbulkan rasa bersalah dalam diri perempuan jika tidak menjalankan tugas - tugas domestik tersebut. Sedangkan bagi kaum laki - laki, tidak ada merasa bukan tanggungjawabnya, bahkan dibanyak tradisi secara adat laki - laki dilarang terlibat dalam pekerjaan domestik. Beban kerja tersebut menjadi dua kali lipat bagi kaum perempuan yang juga bekerja di luar rumah.
Semua manifestasi ketidakadilan gender tersebut saling terkait dan secara dialektika saling mempengaruhi. Manifestasi itu tersosialisasi kepada kaum laki - laki dan perempuan secara mantap, yang lambat laun akhirnya baik laki - laki maupun perempuan menjadi terbiasa dan akhirnya dipercaya bahwa peran gender itu seolah - olah merupakan kodrat. Hal demikianlah yang melatarbelakangi gerakan perempuan yang ada di beberapa belahan dunia, termasuk di Indonesia.



Memahami Arti Gerakan Perempuan

Pada umumnya orang berprasangka bahwa feminism adalah gerakan pemberontakan terhadap kaum laki - laki, upaya melawan pranata sosial yang ada, misalnya institusi rumah tangga. Gerakan perempuan dapat dilihat sebagai spektrum menyeluruh dari perbuatan individu atau kolektif secara sadar dan tidak sadar, kegiatan, kelompok atau organisasi yang berperhatian terhadap berkurangnya berbagai aspek subordinasi gender yang dipandang sebagai berjalinan dengan penindasan lainnya, seperti misalnya yang didasarkan atas kelas, ras, etnik, umur dan seks.
Menurut Melluci, gerakan perempuan bisa berupa jaringan kerja yang tak nampak dari kelompok kecil yang timbul ditengah kehidupan sehari-hari, di dalam ”laboratoriumnya” yang tak menampak itu, gerakan akan mempertanyakan atau menentang aturan hidup sehari-hari. Gerakan perempuan seperti gerakan feminisme memandang perempuan sampai saat ini selalu dalam posisi tertindas, subordinat secara sistem dan terpenjara secara ideologis.
Ayu Ratih dalam bukunya mengemukakan definisi gerakan perempuan sebagai usaha untuk  menerobos batasan yang memisahkan persoalan ketertindasan perempuan dan ketertindasan manusia secara keseluruhan. Ini berarti gerakan perempuan harus menyusun strategi tentang bagaimana memberi warna perempuan pada setiap gerakan pembebasan yang bertujuan untuk menghapuskan segala bentuk diskriminasi dan ketidaksetaraan dalam tata hubungan antar manusia yang beradab.
Basis teori dari gerakan pembebasan perempuan sesungguhnya adalah feminisme. Gerakan feminisme melihat terjadi penindasan terhadap kaum perempuan. Penindasan bersifat tidak adil. Dan pembebasan, mewujudkan pembatasan atas penindasan. 
Kelahiran gerakan pembebasan perempuan merefleksikan perubahan struktural dalam kehidupan sebagian besar perempuan. Gerakan feminis berhasil membangun karakter sosial atas situasi kaum perempuan dan mendapatkan pengakuan gender perempuan. Gerakan pembebasan perempuan merupakan gerakan yang heterogen dengan berbagai teori dan pandangan politik yang berbeda.
Kalau gerakan perempuan yang terjadi pada akhir abad ke-18 sampai awal abad ke-20 banyak memusatkan perhatiannya pada upaya memperoleh ruang publik yang lebih luas dengan keterlibatan perempuan di dalam wilayah politik dan ekonomi, maka belakangan ini tuntutan yang memuncak dan meluas adalah penghilangan batasan wilayah publik dan pribadi dalam masalah perempuan. Gerakan perempuan yang terjadi saat ini lebih kritis memandang asal-usul munculnya penindasan terhadap mereka.

Gerakan Perempuan dan Dinamika Politik

Berawal dari adanya diskriminasi gender dimana peran perempuan dipandang sebelah mata terutama dalam hal kepemimpinan. Maka kaum marxis menyumbangkan gagasan yang sangat besar kepada gerakan perempuan. Dimana kaum marxis memberikan sumbangan paham personal is political yang memberi peluang politik bagi kaum perempuan.
Feminisme marxis beranggapan penindasan perempuan adalah bagian dari penindasan kelas dalam hubungan produksi, sehingga persoalan perempuan selalu diletakkan dalam kerangka kritik atas kapitalisme. Fredick Engels menganggap bahwa terpuruknya status perempuan bukan karena perubahan teknologi, melainkan karena perubahan organisasi kekayaan.
Bagi Perempuan, Konsep ‘Demokrasi‘ dapat dikatakan sesuatu hal yang menjadi idaman yang juga merupakan mimpi buruk. Sejak Demokrasi yang diwariskan dari tradisi Yunani, dimana Perempuan dan budak tidak dilibatkan dalam demokrasi. Bahkan tidak ada dilibatkan sebagai pemilih dalam pemilu.
Di Indonesia, Keterwakilan perempuan dalam politik  membawa dua persoalan yaitu: pertama, masalah keterwakilan Perempuan yang sangat rendah di ruang publik dan kedua, masalah belum adanya platform partai yang secara konkrit membela kepentingan perempuan. Hal ini menjadi momen bagi aktivis wanita Indonesia untuk memperjuangkan hak publik perempuan terutama di politik.
Penetapan terhadap kuota 30 persen bagi perempuan Indonesia dalam politik merupakan satu bentuk akses politik. Menurut Galnoor (Nimmo, 2005) akses politik diartikan kepada seberapa besar kesempatan yang didapat dan dimiliki oleh seseorang terhadap politik.  Lebih lanjut Galnoor mengatakan bahwa  yang dimaksud akses  adalah kesempatan seseorang untuk mengirimkan pesan politik dari bawah ke atas, dari “pinggiran “ ke pusat, dan dari individu– individu kepada para pemimpin. 
Secara de jure pengakuan akan pentingnya perempuan dalam pembangunan telah tersurat secara jelas dalam GBHN 1993,2000. Namun pada kenyataannya perempuan berkecenderungan dijadikan objek dalam program pembangunan. Perempuan belum dapat berperan secara maksimal baik sebagai pelaku maupun sebagai penikmat pembangunan. Hal ini disebabkan pemahaman perempuan hanya sebatas peran domestik (private) sehingga kurang diperhatikan dalam pengambilan kebijakan. Di samping itu juga diperjelas dengan berkembangnya budaya patriarkhi yang menempatkan peran laki-laki sebagai makhluk yang berkuasa dengan berangkat pada pelabelan terhadap dirinya. Kondisi ini secara tidak langsung akan mempengaruhi kesenjangan perempuan sebagai warga bangsa  untuk ikut akses dalam politik dan program pembangunan.
Untuk memenuhi pasal 65 ayat (1) UU no.12 tahun 2003 tersebut ada pasal 65 ayat ( 2 ) yang berbunyi: Setiap Partai Peserta Pemilu dapat mengajukan calon sebanyak-banyaknya 120 persen (seratus dua puluh persen) jumlah kursi yang ditetapkan pada setiap Daerah Pemilihan. Dalam pasal 65 ayat (2) ini terkandung makna bahwa partai boleh melakukan spekulatif terhadap harapan untuk mendapatkan kursi di parlemen tersebut. Untuk pemenuhan kuota 30 persen, setiap partai juga diharapkan mempunyai perhitungan spekulatif untuk pemenuhan kursi kuota 30 persen keterwakilan perempuan tersebut.
Dalam pasal 65 ayat (2) ini lebih membuka peluang kepada perempuan untuk berpartisipasi dalam politik. Menurut sensus yang dilaksanakan Badan Pusat Statistik(BPS 2002) jumlah perempuan di Indonesia adalah 101.625.816 jiwa atau 51% dari seluruh Populasi atau lebih banyak dari total jumlah penduduk di ketiga Negara Malaysia, Singapura dan Filipina. Namun Jumlah yang besar tersebut tidak tampak dalam jumlah keterwakilan perempuan di lembaga lembaga pembuat keputusan/pengambilan keputusan politik di Indonesia.
Mengapa perempuan perlu partisipasi dan ikut menjadi pembuat keputusan politik adalah karena; perempuan memiliki kebutuhan–kebutuhan khusus yang hanya dapat dipahami paling baik oleh perempuan sendiri. Kebutuhan–kebutuhan ini meliputi: a) Isu-isu kesehatan reproduksi, seperti cara KB yang aman. b) Isu-isu kesejahteraan keluarga, seperti harga sembilan bahan pokok yang terjangkau, masalah kesehatan dan pendidikan anak. c) Isu-isu kepedulian terhadap anak, kelompok usia lanjut dan tuna daksa, d) Isu-isu kekearasan seksual.
Keikutsertaan perempuan sebagai pembuat keputusan politik dapat mencegah diskriminasi terhadap perempuan yang selama ini terjadi dalam masyarakat, seperti : a) Diskriminasi di tempat kerja yang menganggap pekerja laki-laki lebih tinggi nilainya daripada perempuan. Misalnya penetapan upah yang berbeda antara laki-laki dan perempuan untuk beban kerja yang sama. Diskriminasi dihadapan hukum yang merugikan posisi perempuan misalnya : kasus perceraian. b) Hanya dalam jumlah yang signifikan, perempuan dapat menghasilkan perubahan berarti, seperti: 1) Perubahan cara pandang dalam menyelesaikan masalah-masalah politik dengan mengutamakan perdamaian dan cara–cara ahli kekerasan. 2) perubahan kebijakan dan peraturan undang-undang yang ikut memasukkan kebutuhan–kebutuhan khusus perempuan sebagai bagian dari agenda nasional.
Langkah yang harus dilakukan untuk meningkatkan jumlah perempuan sebagai pembuat keputusan politik adalah memahami pentingnya keterwakilan perempuan dalam lembaga politik dan mendukung upaya meningkatkan jumlah perempuan yang duduk dalam lembaga–lembaga politik hingga  mencapai jumlah yang signifikan agar dapat mempengaruhi proses pembuatan keputusan keputusan politik. Mendukung penerapan pemilu dengan sistem campuran sebab sistem ini membuka kesempatan yang lebih besar bagi perempuan untuk mencalonkan diri.
Ada 3 sistem pemilu yang dapat dilakukan yaitu: a) Sistem Distrik;-Dalam sistem ini pemilih memilih sendiri nama calon anggota legislatif (caleg) di unit pemilihannya. Sistem ini memungkinkan pemilih mengenal baik caleg pilihannya sehingga caleg bertanggungjawab langsung kepada pemilih. Hal yang didapat dalam sistem ini: caleg perempuan akan lebih sulit terpilih karena ia harus bersaing dengan caleg lain yang umumnya lebih unggul dalam hal dana, dukungan masyarakat, media massa, keluarga serta norma budaya yang telah sekian lama mengistimewakan peran laki-laki dalam bidang politik. Dengan alasan itu, partai politik jarang mencalonkan caleg perempuan secara terbuka karena dianggap tidak dapat memenangkan persaingan suara dengan partai lain. b) Proporsional;- Dalam sistem ini pemilih memilih partai politik. Partai politik menentukan daftar nama caleg di setiap unit pemilihan. Sistem ini juga memungkinkan terpilihnya caleg dari luar daerah pemilihan karena penentuan daftar nama dilakukan sepenuhnya oleh parpol. Hal yang didapat dalam sistem ini: sistem ini membuka kesempatan lebih luas bagi perempuan karena caleg tidak perlu menghadapi pemilih secara langsung. Dengan demikian caleg juga tidak harus bersaing secara tajam dengan caleg lain, yang seringkali membutuhkan pengalaman berpolitik yang belum banyak dimiliki perempuan karena sosialisasi yang dialaminya sejak kecil. c) Sistem campuran;-Dalam sistem ini pemilih memilih sebagian caleg dengan cara distrik dan sebagian lagi dengan cara proporsional. Sistem ini membuka kesempatan yang luas bagi caleg perempuan sekaligus mengharuskan caleg untuk bertanggungjawab langsung kepada pemilihnya.





Penutup : Arah Gerakan Perempuan

Sebagai penutup tulisan ini, maka kami mencoba menyimpulkan beberapa hal dan memberikan sedikit solusi bagi gerakan perempuan di dinamika politik.Dari Undnag - Undang tentang pemilu nomor 10 tahun 2008 dalam hal penyertaan kuota 30% bagi perempuan di kepengurusan tingkat pusat ini memang masih belum sesuai dengan jumlah perempuan. Seharusnya jika memang berniat untuk memberikan affermatif action tak hanya di tingkat pusat tetapi juga hingga ke tingkat daerah dan cabang sekalipun. Memang kendala dari ini yaitu minimnya sumber daya manusia yang berkualitas yang memang dapat diandalkan oleh masing - masing parpol hingga tingkat daerah.
Namun jika kaderisasi di internal, melalui rekrutmen politik yang bagus, sosialisasi atau pendidikan politik yang berjenjang dan berkualitas sebagaimana merupakan bagian dari fungsi parpol itu sendiri. Akan tetapi hal yang lebih penting bagaimana caranya gerakan perempuan dapat berdampak secara kualitas bagi perempuan di Indonesia sendiri. Jika menilik partisipasi perempuan dalam pengambilan keputusan di tingkat lokal seperti desa masih terbilang minim, bahkan program - program yang secara khusus didesain untuk mengakomodasi kepentingan perempuan masih tampak begitu bias.
Pemerintah sebagai pelaksana kebijakan tampaknya harus berpikir berulang kali mengenai kebijakan, karena tak memadainya sumber daya manusia di daerah dapat berakibat kebutuhan dari masyarakat itu sendiri yang tidak tertangkap. Inilah yang memunculkan program mercu suar yang tidak disertai studi kelayakan sehingga mubazir karena sebenarnya tidak dibutuhkan baik untuk jangka pendek maupun jangka panjang bagi kaum perempuan sendiri.









DAFTAR PUSTAKA

Buku

Aristiani, Agnes. 2011. Korupsi Yang Memiskinkan,. Jakarta : PT Kompas Media Nusantara
Ayu Ratih,2004. Mata Rantai Yang Hilang Dalam Pemberadaban Manusia. Yogyakarta : Pustaka Pelajar
Fakih, Mansour. 1987. Analisis Gender dan Transformasi Sosial. Yogyakarta : Pustaka Pelajar,

Jurnal Ilmiah

Sari, Afrina.. Perempuan dan Politik di Kota Bekasi. Jakarta, 2009
Subono, Nur Iman.. ilmu Politik, Bias Gender, dan Penelitian Feminis. Jakarta, 2006