Minggu, 18 Agustus 2013

Pelajaran Rekaysa Politik Pada Tingkat SMA Untuk Meningkatkan Partisipasi Politik


Tahun 2014 merupakan salah satu tahun yang bersejarah dari dinamika perpolitikan negara ini. Bagaimana tidak di tahun tersebut Indonesia mempunyai hajatan demokrasi yang besar yaitu pemilu legislatif dan pemilu presiden. Pemilihan umum legislatif rakyat dituntut untuk memilih wakil - wakilnya dari tingkat DPRD Kabupaten/Kotamadya, DPRD Provinsi, DPR RI,dan DPD (Dewan Perwakilan Daerah) yang akan dilaksanakan pada tanggal 9 April 2014. Sedangkan Pemilihan umum Presiden ini rakyat dituntut memilih Presiden Indonesia untuk masa jabatan 2015-2019.
Jika mengacu pada perkembangan perpolitikan setahun menjelang pemilu 2014 dilaksanakan, terlebih ketika tahun 2013 sudah memasuki bulan Juli. Dinamika perpolitikan Indonesia semakin dinamis, setiap saat ada perubahan cepat yang terjadi di sistemnya. Terlebih lagi di tahun 2013 ini banyak daerah di Indonesia menggelar hajatan pemilu. Meskipun dengan level yang berbeda, dimulai dari Pilkades di tingkat pedesaan, Pemilukada Bupati atau Walikota, hingga pilgub pilihan Gubernur. Semua proses itu tentu mengharuskan masyarakat untuk terus belajar mengenali setiap sosok calon yang akan muncul di pertarungan politik.
Ironisnya partisipasi masyarakat justru semakin menurun dari pemilu sebelumnya. Berdasarkan data yang bersumber dari Lingkaran Survey Indonesia, partisipasi politik pada pemilu 1999 mencapai 90%, pemilu 2004 mencapai 80%, dan menurun menjadi 70% pada pemilu 2009 lalu. Memang ini terjadi dikarenakan ada sebab yang mendukung, pertama karena kepercayaan masyarakat sendiri kepada partai - partai politik yang ada sudah hilang. Kedua, karena beberapa oknum dari pejabat yang dipilih dari proses politik banyak yang terkena kasus korupsi, bahkan hingga berkaitan dengan nilai moralitas. Menonton film porno ketika sidang paripurna atau berperan dalam video asusila dengan “perempuan simpanan” misalnya. Ketiga, karena kurangnya pengetahuan masyarakat tentang proses politik yang ada, misalnya dampak money politik.
Menjelang pemilu 2014 ini, perkembangan dunia perpolitikan kita yang semakin carut marut membuat mindset masyarakat utamanya dari kalangan kaum muda terhadap politik jadi semakin acuh. Hal ini tentu dapat meningkatkan tingkat golput bagi para pemilih pemula pada pemilu 2014 mendatang.
Pemilih pemula merupakan kelompok pemuda yang baru mendapat hak memilih untuk pertama kalinya. Secara psikologis, pemilih pemula memiliki karakteristik yang berbeda dengan orang -orang tua pada umumnya. Pemuda diidentikkan dengan sikap kritis, mandiri, independen, anti status quo atau tidak  puas dengan kemapanan, pro perubahan dan sebagainya. Karakteristrik itu cukup kondusif  untuk  membangun  komunitas  pemilih  cerdas  dalam  pemilu  yakni  pemilih  yang  memiliki pertimbangan rasional dalam menentukan pilihannya.  Misalnya karena integritasnya, track record-nya atau program kerja yang ditawarkan.
Dikarenakan  belum  punya  pengalaman  memilih  dalam  pemilu, pemilih  pemula  perlu mengetahui dan memahami berbagai hal yang terkait dengan pemilu. Misalnya untuk apa pemilu  diselenggarakan,  apa  saja  tahapan  pemilu,  siapa  saja  yang  boleh  ikut  serta  dalam  pemilu,  bagaimana  tatacara  menggunakan  hak  pilih  dalam  pemilu  dan  sebagainya. Pertanyaan  itu  penting  diajukan  agar  pemilih  pemula menjadi  pemilih  cerdas  dalam menentukan pilihan politiknya di setiap pemilu.
Jumlah pemilih pemula pun juga termasuk tinggi dalam setiap gelaran pemilunya. Diperkirakan, dalam setiap pemilu, jumlah pemilih pemula sekitar 20-30%  dari  keseluruhan  jumlah  pemilih  dalam  pemilu.  Pada  Pemilu  2004,  jumlah  pemilih pemula sekitar 27 juta dari 147 juta pemilih. Pada  Pemilu 2009 sekitar 36 juta pemilih dari 171 juta pemilih. Data BPS 2010: Penduduk usia 15-19 tahun: 20.871.086 orang, usia 20-24  tahun:  19.878.417  orang.  Dengan  demikian,  jumlah  pemilih  muda  sebanyak  40.749.503 orang. Jumlah itu diperkirakan kian bertambah  pada pemilu 2014 dengan presentase  30% dari jumlah pemilih.
Jika dicermati memang jumlah yang begitu besar tersebut amat sangat mempengaruhi hasil dari pemilu sendiri. Untuk itu potensi pemilih pemula ini perlu dimanfaatkan sebagai potensi melakukan perubahan dengan menentukan pilihan yang terbaik sesuai dengan hati nurani pada pemilu 2014. Namun sayangnya tidak dipungkiri situasi perpolitikan nasional saat ini yang menyebabkan mindset kaum muda terhadap politik terkesan “jelek” dan cenderung apatis.
Selama ini di tingkat pendidikan SMA sederajat, pengenalan tentang politik dan seluk beluknya dimasukkan ke dalam Pendidikan Kewarganegaraan (PKN). Namun dalam pelajaran tersebut hanya diajarkan mengenai demokrasi dan proses pelaksanaannya dalam pemilu, itupun hanya sekedar teori.
Hal ini tentu membuat mindset pemuda mengenai politik belum sepenuhnya terisi. Rekayasa politik merupakan penggabungan antara teori yang selama ini diajarkan di mata pelajaran PKN dengan realita perpolitikan di lapangan yang sesuai prosedur. Rekayasa politik ini tidak hanya sekedar diajarkan bagaimana kaum pelajar memilih ketika pemilu, tapi dia juga disimulasikan menjadi objek yang dipilih, bisa tingkat legislatif maupun eksekutif.
Kami memberikan konsep mengenai pelajaran ini. Pertama, simulasi pemilu yang diberikan mengenai teori dan praktek pencoblosan. Kedua, simulasi tentang parlementer. Dalam teori ini pelajar diajarkan apa itu fungsi dan tugas legislasi. Simulasi dalam bentuk parlementer ini bisa dalam sekup sederhana misalkan rapat komisi hingga rapat paripurna. Ketiga, simulasi politik sebagai pengambil kebijakan di tingkat eksekutif, misalnya sebagai menteri bahkan Presiden, dengan permasalahan sederhana terlebih dahulu, misalnya cara pengambilan keputusan.
Kami akan memberikan salah satu ilustrasi, jika satu ruangan ada 30 pelajar. Maka simulasi dalam hal pengambil kebijakan, ada yang berperan sebagai Presiden satu orang, menteri 4 orang, 10 orang sebagai legislatif, 5 orang berasal dari yudikatif, 10 orang rakyat yang masih terbagi 2 orang pengusaha atau dari swasa, serta 8 orang masyarakat biasa. Adapun sistematika, kami ambil salah satu permasalahan sederhana yaitu pengambilan keputusan terkait kebijakan parkir yang ada di sekitar sekolah, atau terkait pengelolaan sampah. Pengambilan kebijakan ini, dikaji di tingkat legislasi dan dalam pengambilan kebijakan tersebut masyarakat turut berpartisipasi dalam bermusyawarah, sedangkan pihak swasta berpartisipasi dalam pengadaan peralatan dan fasilias penunjang bekerjasama dengan pihak pemerintahan.
Dari legislasi ini kemudian akan dibawa ke ranah eksekutif, dimana dengan pendapat antara legislasi dan eksekutif dilakukan. Sehingga pada akhirnya pemerintah melalui kepala pemerintahan memutuskan suatu kebijakan terhadap kebijakan parkir dan pengelolaan sampah. Kajian permasalahan dalam lingkup terkecil di sekitarnya, kemudian direkayasa menggunakan sistem negara membuat para pemuda utamanya yang menjadi pemilih pemula tahu bagaimana sistem kerja pemerintahan dan lobi - lobi politik yang bermoral dan baik dilakukan.
Proses inilah yang nantinya akan dipelajari oleh mereka, menciptakan kesadaran berpolitik dengan menempatkan “rekayasa” dirinya menjadi bagian dari pihak pengambil kebijakan untuk masyarakat. Kami berpikir dengan karakteristik anak muda yang cenderung bersikap reformis dengan membuka setiap hal baru yang positif akan berdampak bagi perkembangan politik di Indonesia ke depan.

Diharapkan dari pelajaran rekayasa politik sejak dini ini para pemuda kita paham tentang apa itu politik. Secara langsung pula nantinya mereka akan mengerti mengapa harus berpartisipasi dalam kegiatan politik, dan apa resikonya jika antipati terhadap politik. Dari kegiatan sederhana sejak dini ini bagaimana dicamkan bahwa tidak selamanya politik itu kotor seperti yang terjadi di realita lapangan akhir - akhir ini. Sehingga tujuan dari politik sebagaimana dikatakan filsuf Yunani Plato yaitu sebagai penyelenggara kesejahteraan bersama.