Kamis, 02 Mei 2013

Tokoh Dalam Model Rasional


Herbert Alexander Simon (15 Juni 1916 – 9 Februari 2001) adalah peneliti di bidang psikologi kognitif, ilmu komputer, administrasi umum, ekonomi dan filsafat. Pada tahun 1975, Simon mendapat penghargaan Turing Award dari ACM, bersama Allen Newell atas jasanya dalam memberikan kontribusi yang besar di bidang kecerdasan buatan, psikologi manusia dan pengolahan senarai. Pada tahun 1978 Simon juga mendapat penghargaan Nobel di bidang Ekonomi, atas penelitiannya di bidang pengambilan keputusan pada organisasi ekonomi. Salah satu konsep temuannya antara lain adalah istilah rasionalitas terbatas dan keterpuasan (satisficing). Herbert Simon lahir di Milwaukee, Wisconsin pada tahun 1916. Ia meraih gelar sarjananya pada tahun 1936 dari University of Chicago. Kemudian ia meraih gelar Ph.D. di bidang Ilmu Politik dari universitas yang sama pada tahun 1942, dengan disertasinya mengenai administrasi umum. Disertasinya ini kemudian diterbitkan dengan judul Administrative Behavior, dan konsep-konsep yang dikembangkan dalam buku inilah yang akhirnya membuat Simon menerima penghargaan Nobel. Simon sempat bekerja di Berkeley dan di Illinois Institute of Technology. Sejak tahun 1949, Simon bekerja di Carnegie Mellon University hingga wafat. Pada tahun 1956, bersama Allen Newell, Simon mengembangkan Logic Theory Machine dan program General Problem Solver (GPS) pada tahun 1957. GPS adalah metode penyelesaian masalah dengan cara memisahkan strategi pemecahan permasalahan dari informasi/data yang spesifik tentang masalah itu sendiri. Kedua program ini dikembangkan dengan menggunakan bahasa IPL (Information Processing Language) tahun 1956 yang dikembangkan oleh Newell, Cliff Shaw dan Simon. Dalam buku The Art of Computer Programming vol 1, Donald Knuth menyebutkan bahwa pengolahan senarai dalam IPL dengan senarai berkait awalnya disebut sebagai "NSS memory", yang merupakan singkatan dari nama-nama penemunya. Salah satu kiasan generatif untuk karya Herbert Simon yaitu rasionalitas terbatas adalah  maze (tempat yang penuh dengan jalan dan lorong berliku-liku dan simpang siur). Kita berada dalam  maze, tidak melihatnya dari atas helikopter untuk mensurvei semua pilihan dari sudut pandang seorang pemain Olympiade. Seseorang tidak dapat melihat semua kemungkinan pada waktu orang lain, seseorang tidak mengetahui probabilitas hasil yang diberikan dari pilihan seseorang, dan seseorang tidak memiliki kapasitas komputasional untuk menentukan suatu hasil yang optimal bahkan bila ia memiliki informasi mengenai hal ini. Oleh karenanya, kapasitas kita untuk perilaku rasional sangatlah terbatas dalam banyak dimensi.  Saat Simon tidak secara langsung mengarah kepada permasalahan pembangunan ekonomi, karyanya telah merintis kritik terhadap pembuat keputusan rasional secara substantif yang termanifestasi dalam model-model perencanaan, model-model dorongan besar, dan lebih umum lagi, dalam ambisi alasan teknokrasi. Suatu kontras dari berada dalam maze dibandingkan di atas maze merupakan suatu model mental yang berguna untuk menjelaskan dan membandingkan strategi-strategi pertumbuhan yang dalam kenyataannya tidak seimbang dengan mimpi-mimpi program pembangunan komprehensif. 

Model Rasional Dalam Penentuan Kebijakan


Sebuah model ideal pengambilan keputusan kebijakan publik secara rasional terdiri dari ‘seorang individu rasional’ yang menempuh aktifitas-aktifitas berikut ini secara berurutan:
1.      Menentukan sebuah tujuan untuk memecahkan sebuah masalah
2.      Seluruh alternatif strategi untuk mencapai tujuan itu dieksplorasi dan didaftar
3.      Segala konsekuensi yang signifikan untuk setiap alternatif diperkirakan dan kemungkinan munculnya setiap konsekuensi diperhitungkan.
4.      Terakhir, strategi yang paling dekat dengan pemecahan masalah atau bisa memecahkan masalah dengan biaya paling rendah dipilih berdasarkan kalkulasi tersebut.

Model rasional adalah ‘rasional’ daam pengertian bahwa model tersebut memberikan preskripsi berbagai prosedur pengambilan keputusan yang akan menghasilkan pilihan cara yang paling efisien untuk mencapai tujuan kebijakan. Teori-teori rasionalis berakar dalam aliran-aliran pemikiran positifisme dan rasionalisme jaman pencerahan  yang berusaha untuk mengembangkan pengetahuan yang ilmiah untuk meningkatkan kondisi hidup manusia. Ide-ide ini didasarkan pada keyakinan bahwa berbagai permasalahan sosial seharusnya diselesaikan melalui cara yang ‘ilmiah’ dan ‘rasional’, melalui pengumpulan segala informasi yang relevan dan berbagai alternatif solusi, dan kemudian memilih alternatif yang dianggap terbaik. Tugas analis kebijakan, di sini, adalah mengembangkan pengetahuan yang relevan dan kemudian menawarkannya pada pemerintah untuk diaplikasikan. Pembuat kebijakan diasumsikan sebagai untuk bekerja sebagai teknisi atau manajer bisnis, yang mengidentifikasi suatu masalah dan kemudian mengadopsi cara yang paling efektif dan efisien untuk mengatasi masalah tersebut. Karena berorientasi pada ‘pemecahan masalah’ maka pendekatan ini sering juga disebut sebagai pendekatan ‘ilmiah’, ‘rekayasa’ atau ‘manajerialis’[1].
Penilaian Simon terhadap model rasional menyimpulkan bahwa berbagai keputusan publik pada prakteknya tidak memaksimalkan manfaat di atas beban, tetapi hanya cenderung untuk memenuhi kriteria yang ditetapkan oleh para pengambil keputusan untuk diri mereka sendiri dalam masalah yang sedang menjadi perhatian. ‘Satisfying criterion’ ini adalah sesuatu yang nyata, sebagai sesuatu muncul dari hakekat rasionalitas manusia yang terbatas.


DAFTAR PUSTAKA
Howleet, Michael, and Ramesh, M. 1995. Studying Public Policy: Policy Cycles and Policy Subsystem. Journal Of Public Policy Decision-Making – Beyond Rationalism, Incrementalism and Irrationalism, 7 : 4 - 5

Ideologi PKB


Menurut Dr. Hafidh Shaleh, Ideologi adalah sebuah pemikiran yang mempunyai ide berupa konsepsi rasional, yang meliputi akidah dan solusi atas seluruh problem kehidupan manusia. Pemikiran tersebut harus mempunyai metode, yang meliputi metode untuk mengaktualisasikan ide dan solusi tersebut, metode mempertahankannya, serta metode menyebarkannya ke seluruh dunia.
Partai Kebangkitan Bangsa yang kelahirannya dibidani oleh para kiai NU, mempunyai corak lain dari sekian banyak partai modern yang ada di Indonesia. Secara Ideologi, PKB masih memiliki kesamaan cara pandang dengan NU yang mengambil Ahlus Sunnah wal Jamaah sebagai ideologinya. Ideologi PKB adalah inklusif, artinya meskipun dilahirkan dari rahim NU keberadaannya terbuka untuk orang diluar NU dan non-islam. Meskipun demikian, unsur NU tetap memegang kendali utama di PKB. Mereka yang memiliki “darah biru” kyai menempati posisi strategis partai. Basis sosial PKB berhimpitan dengan NU, yaitu kalangan islam tradisionalis dan kelas menengah ke bawah[2].
Dari sini bisa dijelaskan bahwa ideologi PKB adalah kebangsaan yang berorientasi pada kerakyatan yang menjunjung tinggi nilai-nilai toleransi dan keadilan. Berdasarkan ideologi kebangsaan ini, maka kehadiran PKB yang inklusif dan moderat menjadi sangat relevan dengan perkembangan dan dialektika perubahan ideologi.
Tujuan ideologi dalam sebuah partai politik digunakan sebagai dasar atau landasan yang akan memberikan arah terhadap perjuangan partai tersebut. Dalam hal ini PKB memiliki ideologi yang berdasarkan kebangsaan yang berorientasi pada kerakyatan yang menjunjung tinggi nilai-nilai toleransi dan keadilan, sehingga dengan adanya ideologi tersebut dapat dipastikah bahwa nilai-nilai perjuangan yang di usung oleh PKB akan berbanding lurus dengan ideologi yang dianut.

DAFTAR PUSTAKA
HM. Lukman Edy, Reformulasi Gerakan PKB, (Jakarta: Sekretariat Jendral DPP PKB, 2005), hal. 54.
Sigit Pamungkas, Partai Politik : Teori dan Praktik di Indonesia (Yogyakarta : Institute for Democracy and Welfarim, 2011), hlm. 140 - 141.

Polemik KPK versus Pemerintah



Sebagai bagian dari suatu negara hukum merupakan salah satu elemen yang penting, tanpa adanya hukum manusia akan berbuat sesuai dengan kehendaknya masing - masing dan berpotensi untuk merugikan orang lain. Hukum sendiri merupakan sistem yang terpenting dalam pelaksanaan atas rangkaian kekuasaan dari bentuk penyalahgunaan dalam bidang politik, ekonomi, dan masyarakat dalam berbagai cara dan tindakan. Dari hukumlah semua kehidupan seseorang di atur, baik itu berasal dari hukum agama, maupun hukum yang berkaitan dengan negara. Di negara Indonesia mempunyai beberapa jenis hukum yang semuanya memiliki fungsi dan tujuan yang berbeda, ada hukum perdata, hukum pidana, hukum tata negara, hukum tata usaha negara, hukum acara perdata, hukum acara pidana, hukum adat, dan hukum islam.
Pada dewasa ini negara Indonesia disibukkan dengan para pejabat negara yang terkesan nakal dan bertingkah laku tidak sesuai dengan kode etik pejabat, banyak dari mereka yang melanggar hukum, baik melakukan korupsi, suap, pencucian uang dan sebagainya. Sebenarnya pejabat negara bisa disamakan dengan pegawai negeri atau penyelenggara negara, sedangkan pengertiannya menurut Hoge Raad yaitu barangsiapa yang oleh kekuasaan umum diangkat untuk menjabat pekerjaan umum untuk melakukan sebagian tugas dari tugas pemerintahan atau alat perlengkapannya.
Dari kesekian banyak kasus hukum utamanya kasus hukum pidana yang menjerat pejabat negara baik dari tingkat eksekutif, legislatif hingga yudikatif ke semuanya belum mendapatkan sanksi yang sepadan dengan apa yang telah mereka lakukan. Terakhir kita dihebohkan dengan kasus dugaan suap menyuap jama’ah yang melibatkan anggota DPR RI pada kasus cek pelawat pemilihan gubernur deputi Bank Indonesia Miranda Gultom, belum lagi kasus yang sedang panas saat ini yaitu kasus mantan Bendahara Umum Partai Demokrat Muhammad Nazarrudin yang kabur ke luar negeri dan diduga terjerat kasus korupsi pembuatan wisma atlet Sea Games di Jakabaring, Palembang. Dari kalangan pejabat eksekutif yang terjerat tindak pidana seperti M. Ma’ruf mantan Menteri Dalam Negeri yang terlibat kasus korupsi proyek pemadam kebakaran, atau Menteri Sosial Bachtiar Chamzah yang terlibat kasus korupsi pengadaan sapi impor dan mesin jahit. Kasus pejabat yang melakukan korupsi itu belum termasuk kasus - kasus korupsi yang melibatkan para pejabat negara di tingkat provinsi dan kabupaten atau kotamadya, seperti contoh kasus Korupsi yang melibatkan mantan gubernur Kalimantan Timur, kasus korupsi yang melibatkan mantan Bupati Bojonegoro M. Santoso, dan masih banyak lagi. Dari sekian banyak kasus yang terdeteksi oleh KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) semua proses pemeriksaan dan penyelidikan terkesan lamban. Ketika ada laporan pengaduan dari masyarakat mengenai adanya indikasi pelanggaran hukum penyidik terkesan lambat dalam menanggapinya, contoh kasus ketika Ketua MK Mahfud MD yang melaporkan M. Nazarrudin yang diduga mencoba melakukan penyuapan kepada Sekjen MK Djanedri M. Ghaffar pada bulan September 2010 lalu baru diproses laporan dan baru heboh - hebohnya saat ini. Bandingkan dengan kasus terbaru di Pamekasan seorang warga yang mencuri sehelai kain sarung dihukum 5 tahun penjara oleh hakim kejaksanaan negeri, atau kasus pencurian semangka yang menghebohkan Kediri yang dihukum 5 bulan penjara. Kedua kasus itu langsung secara cepat ditangani aparat hukum. Perbandingan hukuman yang amatlah mencolok dan belum bisa dikatakan adil.
Reformasi politik tahun 1998 membawa harapan baru terhadap bangsa ini termasuk pemberantasan korupsi. Untuk pemberantasan korupsi yang sudah berurat berakar, dibuatlah Undang - Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang berkali - kali disempurnakan. Untuk melaksanakan undang - undang tersebut dibuat lembaga baru bernama Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang bisa ditafsirkan sebagai upaya melengkapi lembaga - lembaga penegak hukum yang sudah ada (Kepolisian dan Kejaksaan), tetapi juga bisa diartikan sebagai ketidakpercayaan pada lembaga - lembaga yang sudah ada, karena justru pada lembaga - lembaga penegakan hukum yang sudah ada itulah korupsi tumbuh subur.
Keberadaan KPK yang sering disebut sebagai lembaga “super body” karena kewenangannya yang bisa melakukan apa saja telah membawa banyak “korban”. Dari mantan menteri, Gubernur, anggota DPR hingga DPRD, Bupati dan Walikota, dan para pengusaha besar berhasil dijebloskan ke dalam penjara karena kasus korupsi, sesuatu yang sebelumnya sangat - sangat tidak mungkin terjadi. Sebuah surprise bagi sejarah pemberantasan korupsi di Indonesia kalaulah bukan sejarah peradaban untuk pertama kalinya besan Presiden SBY, yaitu Aulia Pohan masuk penjara meskipun dengan hukuman yang termasuk sedikit “lebih ringan”. Itulah yang melengkapi sekitar 500 pejabat publik Indonesia yang masuk penjara pasca reformasi.
Walaupun banyak kritik yang ditujukan kepada KPK dengan mengatakan lembaga ini masih mempraktikan kebijakan tebang pilih dalam menangani kasus - kasus korupsi, tetapi tetaplah KPK merupakan insitusi yang paling ditakuti oleh para perampok dan pencolong uang negara serta uang publik. Meskipun dalam prakteknya ada beberapa serangan - serangan yang menyertai kinerja KPK, tentu kita masih ingat dengan kasus hukum yang menimpa mantan Ketua KPK Antasari Azhar, dimana kala itu Antasari begitu beraninya menebas para koruptor di Gedung DPR dan instansi eksekutif, namun entah karena scenario atau karena memang benar - benar bersalah harus mendekam di jeruji besi dengan tuduhan pembunuhan dimana bukti di lapangan dengan fakta di persidangan adanya ketidak cocokan, misalkan dalam hal peluru yang diduga digunakan pembunuhan yang berbeda dengan yang terjadi di TKP dengan yang dihadirkan di persidangan. Beralih lagi ketika pimpinan KPK lainnya Bibid Samad Rianto dan Chandra Hamzah yang terjerat kasus cicak buaya jilid I.
Namun akhir - akhir ini lembaga extra ordinary crime yakni KPK tengah menjadi sorotan karena diobok - obok oleh oknum - oknum yang tak bertanggungjawab. Setelah publik dibuat naik pitam dengan cicak versus buaya jilid 1, muncul kembali cicak versus buaya jilid II. Dimana diawali dari penarikan 20 penyidik Polri dari KPK hingga penangkapan secara paksa penyidik andalan KPK Kompol Novel Baswedan pada jum’at 12 Oktober lalu dikarenakan dugaan kasus pembunuhan pada tahun 2004. Kasus - kasus ini melengkapi kasus sebelumnya dimana ada tarik ulur penanganan kasus dugaan korupsi alat simulator SIM yang melibatkan Irjen Djoko Susilo seorang perwira menengah POLRI.
Tak hanya itu rencana revisi UU Keistimewaan KPK oleh DPR RI dengan menghilangkan beberapa wewenang KPK diantaranya penyadapan dan penuntutan kian membuat KPK terjepit dalam tekanan. Polemik antara KPK dan pemerintahan sendiri menjadi isu yang sensitif selama 2 bulan ini. Di mulai dari penolakan anggaran pembangunan gedung baru KPK hingga terakhir kasus cicak versus buaya jilid II. Memang kejahatan korupsi merupakan musuh bersama tetapi dalam penanganannya tentu ada pihak - pihak yang memang secara pencitraan dirugikan dan salah satunya dari pihak pemerintahan itu sendiri.
Memang membedah episentrum korupsi menurut Denny Indrayana sebelum menjadi Wakil Menkumham mengatakan ada empat episentrum korupsi pertama di istana (dimana meliputi eksekutif, legislatif, dan yudikatif), cendana (dimana keluarga Suharto dan lingkarannya tidak pernah tersentuh), senjata (yaitu korupsi di sekitar kekuasaan tentara dan polisi), dan pengusaha naga (para konglomerat dan pengusaha yang hingga sekarang pun masih tetap ada). Profesor Amien Rais sendiri menambahkan episentrum kelima pada perusahaan multi nasional corporation yang menguras sumber - sumber kekayaan alam Indonesia dengan menekuk tengkuk pemerintah sehingga selamanya Indonesia dibuat menjadi jongos.
Memang korupsi di lembaga eksekutif, legislatif,dan yudikatif tidak isapan jempol belaka, setidaknya ini dibuktikan dengan hasil survei kemitraan pada tahun 2010 di 27 provinsi di Indonesia pemerintah menempati urutan pertama sebesar 30%, disusul parlemen dengan 18%, dan pengusaha 13%. Sedangkan kesimpulan dari survei Kemitraan dalam hal tingkat korupsi di pada trias politica menunjukkan lembaga Yudikatif di pusat 70%, 52% di daerah, eksekutif 32% di pusat, 44% di daerah, dan legislatif 78% di pusat, serta 44% di daerah. Jadi bisa diambil kesimpulan bahwa aktor dari tindakan korupsi dari pejabat negara (baik eksekutif, legislatif,dan yudikatif), pegawai negeri (pusat dan daerah) serta pengusaha.
Inilah mungkin yang membuat pemerintah kelabakan karena KPK begitu leluasanya mempreteli oknum - oknum pejabat pemerintahan yang terlibat korupsi sehingga pemerintah seakan merasa perlu membuat pengawasan kepada KPK. Terlebih pemerintah dibawah kendala Partai Demokrat dimana kadernya banyak yang terjerat kasus korupsi pula. Hingga Juni 2010 berdasarkan penemuan ICW, terdapat 176 kasus korupsi di pusat dan daerah, dengan tersangka 411 orang, dan potensi kerugian negara mencapai Rp 2.102.910.349.050. Bahkan jumlah kasus korupsi itu meningkat menjadi 285 kasus hingga 2012 bulan Oktober ini.
Solusi dari polemic antara KPK dan pemerintahan kami berpikir bahwa pemerintah selaku penyelenggara negara harus berkomitmen untuk melaksanakan mandatnya dalam hal pemberantasan korupsi. Dengan cara memberikan dukungan penuh kepada KPK untuk melaksanakan tugasnya dan mengintervensi jika ada yang berniat menggembosi KPK di tengah jalan. Sedangkan pada lembaga legislatif dukungan dalam hal pembuatan peraturan yang mana memberikan keleluasaan bagi KPK untuk menjalankan tugasnya merupakan bentuk dukungan nyata selaku lembaga yang berwenang dalam pembuatan undang - undang. Sedangkan di yudikatif sinergisitas antar lembaga dengan KPK sangat amat diperlukan, karena pemberantasan korupsi tidak sepenuhnya menjadi tanggungjawab KPK, terutama dalam hal penyidik dan penuntutan.
Sedangkan bagi masyarakat sipil seperti telah tercantum di dalam UU Tindak Pidana Korupsi disebutkan bahwa korupsi adalah kejahatan extra ordinary, kejahatan luar biasa. Maka melawannya juga harus dengan komitmen, semangat, dan upaya - upaya yang luar biasa. Gerakan - gerakan sosial di jejaring sosial, aksi - aksi dukungan di berbagai daerah merupakan dukungan secara moril bagi pelaksanaan tugas KPK itu sendiri.
Diharapkan dari dukungan moril dari masyarakat sipil ini maka pemerintah selaku induk dari institusi - institusi juga lebih responsive dan memberikan win - win solution bagi kemaslahatan bersama. Hal ini dikarenakan KPK lahir dari semangat mereformasi birokrasi oleh rakyat yang sudah kecewa dalam kinerja lembaga - lembaga hukum yang ada.

DAFTAR PUSTAKA

Hartiningsih, Maria dkk, 2011. Korupsi yang Memiskinkan. Jakarta :  PT Kompas Gramedia
Supeno, Hadi, 2009. Korupsi di Daerah. Yogyakarta : Total Media
Tim KPK, 2011. Pahami Dulu Baru Lawan. Jakarta

Analisis Kompas 19 April 2013 Melalui Perspektif Pemerintahan dan Komunikasi Politik



Di tengah isu - isu nasional yang meruncing dan semakin hangat seperti kenaikan harga BBM dan carut marut pelaksanaan UN Presiden SBY membuat gempar bukan karena kebijakan untuk mengatasi keduanya, namun isu politik yang terkait parpolnya. Jabatan sebagai Ketua Umum, Ketua Majelis Tinggi, Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat sekaligus Presiden tampaknya benar - benar menguras tenaga dan menjadi “alat” untuk beralasan tak dapat focus di dalamnya. Keterangan SBY di Istana Kepresidenan di tengah isu kenaikan harga BBM dan permasalahan UN akan sangat dinantikan, mengapa demikian karena beliau selaku kepala negara sekaligus kepala pemerintahan secara penuh harus bertanggungjawab di dalamnya. Namun yang terjadi justru sebaliknya, di tengah isu tersebut hal yang disampaikan Presiden justru permasalahan mengenai Parpol dimana isu tentang Yenny Wahid, putri Almarhum Gus Dur, dimana desas desusnya Yenny bergabung ke Demokrat dan ingin menjabat sebagai Wakil Ketua Umum.
Presiden sebagai Kepala Pemerintahan mempunyai tugas untuk menjalankan pemerintahan sebagaimana yang telah tercantum dalam konstitusi. Sebagai pemimpin tentu merupakan milik semua golongan yang ada, tidak etis tentunya ketika Presiden berbicara mengenai permasalahan kelompok atau golongannya di tempat atau fasilitas milik negara seperti Istana Kepresidenan. Dalam kasus tersebut dapat dianalisis dari dua disiplin ilmu, ilmu politik dan ilmu pemerintahan.
Namun sebelum melangkah jauh mengenai analisis dua ilmu tersebut, kami akan menjelaskan terkait pemerintahan, karena ini berkaitan dengan tugas dan wewenang seorang Presiden sebagai Kepala Pemerintahan. Pemerintahan berasal dari kata “perintah” yang setelah ditambah awalan “pe” menjadi pemerintah, dan ketika ditambah akhiran “an” menjadi pemerintahan, dalam hal ini beda antara “pemerintah” dengan “pemerintahan” adalah karena pemerintah merupakan badan atau organisasi yang bersangkutan, sedangka pemerintahan berarti perihal ataupun hal ikhwal pemerintahan itu sendiri.
Menurut Soemendar pemerintahan sebagai badan yang penting dalam rangka pemerintahannya, pemerintah harus memperhatikan pula ketentraman dan ketertiban umum, tuntutan, dan harapan serta pendapat rakyat, kebutuhan dan kepentingan masyarakat, pengaruh - pengaruh lingkungan, pengaturan - pengaturan, komunikasi peran serta seluruh lapisan masyarakat dan organisasi.
Jadi dari sini disimpulkan makna Presiden sebagai Kepala Pemerintahan dimana Presiden menjadi pemimpin untuk melayani masyarakat dengan aturan - aturan hukum yang ada serta partisipasi dari masyarakat itu sendiri.
Ilmu politik mengkaji input sistem politik karena para aparat eksekutif dan legislatif merupakan para actor partai politik. Presiden SBY termasuk di dalamnya merupakan actor politik dikarenakan beliau berasal dari sebuah parpol untuk menuju jabatannya sebagai Presiden. Namun di sisi lain sebagai Presiden tentu beliau merupakan Kepala Pemerintah. Sebagaimana kita ketahui menurut Ponsioen, pemerintah memegang peranan penting dalam pembangunan nasionalnya, yaitu dalam menentukan kebijaksanaan tersebut. Pada proses penetapan kebijaksanaan umum itulah yang disebut pemerintah.  Dengan demikian telah terlihat bahwa penetapan kebijaksanaan adlah fungsi politik yang dijalankan pemerintah, pelaksanaannya adalah fungsi adminstrasi yang dijalankan oleh pemerintah.
Dari sini proses keterangan SBY yang menyangkut berita Yenny Wahid bergabung Demokrat merupakan suatu proses politik dimana ini hanya terkait beberapa golongan saja. Namun menyampaikannya di fasilitas negara seperti Istana Kepresidenan merupakan konflik status antara Presiden dengan jabatan di Parpol. Sebagai seorang Presiden yang menyampaikan keterangan di Istana Kepresidenannya, sebaiknya tidak menyinggung parpolnya. Sangat bertolak belakang tentunya ketika keterangan yang disampaikan SBY yang terkait Parpol, kekuasaan sebagaimana objek forma dari ilmu politik disampaikan pada Istana Kepresidenan dengan status “masih” Kepala Pemerintahan yang seharusnya mengedepankan objek forma hubungan pemerintahan, gejala - gejala pemerintahan, peristiwa pemerintahan, termasuk di dalamnya peristiwa isu kenaikan harga BBM dan carut marut UN.
Dr. Inu Kencana Syafiie M.Si mengatakan bahwa pemerintahan tidak hanya memiliki disiplin ilmu, tetapi juga harus memiliki disiplin akan moral, etika, dan seni kepemimpinan. Apa jadinya pemerintah kalau pada pemimpin pemerintahannya melakukan kesewenangan, penyalahgunaan kekuasaan karena pada setiap kepemimpinan pasti akan dipertanggungjawabkan di hadapan Tuhan Yang Maha Esa kelak.
Analisis kedua tentu membedahnya dari pendekatan institusionalisme dalam ilmu politik. Seperti kita ketahui pemerintah merupakan sebuah insititusi yang hadir karena adanya sistem politik dimana di dalamnya. Nah dalam pendekatan institusionalisme baru menurut Peters 1999 salah satunya institusionalis normative dimana ini mempelajari norma dan nilai yang dikandung dalam suatu insititusi politik maupun institusi yang terbentuk akibat perilaku politik (pemerintah, negara). Di dalamnya terdapat suatu etika, dimana etika tersebut berbicara mengenai pantas atau tidak pantasnya seseorang actor politik terlebih merupakan seorang Kepala Pemeritahan atau pemimpin negara yang “lupa” akan etikanya.
Disini tentu pendekatan institusionalisme ala Peters ini dapat dijadikan analisis untuk membedahnya. Jika kembali pada dua disiplin yang disampaikan sebelumnya dimana disiplin ilmu politik dan ilmu pemerintahan yang mana di dalamnya mengatur objek forma dan sebagainya, tentu dapat dikatakan apa yang dilakukan SBY salah tempat. Mengingat saat itu beliau masih merupakan “Presiden” selaku Pimpinan pemerintahan bukan sebagai politisi.
Berkaitan dengan etika seorang politisi Alfan Alfian mengatakan politisi bukanlah profesi seperti halnya dokter, akuntan, pengacara, atau pengebor sumur pompa. Politisi merupakan pejuang yang memperjuangkan visi dan misi politik yang diyakininya. Dimana politisi berjuang meraih dan mempertahankan kekuasaan, dimana menurut filsuf Yunani Plato, kekuasaan itu yang ideal adalah alat untuk menyejahterakan masyarakat.
Kaitanya dengan dari analisis keterangan SBY tadi disini sebagai seorang politisi juga tentu jika memiliki visi misi yang cakap dimana saat itu rakyat dibingungkan dengan berbagai isu terkait kenaikan harga BBM dan carut marut UN sudah seharusnya beliau tampil untuk mengedepankan kepentingan masyarakat daripada kepentingan golongannya untuk meraih kekuasaan.
Analisis ketiga dari kasus SBY ini bisa jadi merupakan pengalihan isu yang ada. Mungkin tidak benar 100% jika SBY tidak dapat membedakan posisinya sebagai Presiden atau jabatannya di parpol saat itu. Mengapa demikian? Jika kita telaah di saat ada persoalan yang tengah hangat dibicarakan bukan kali pertama hal itu terjadi, alih isu dari sebelumnya membahas mengenai kenaikan harga BBM dan carut marut UN menjadi isu Parpol Demokrat sangat lumrah terjadi di bidang politik.
Peristiwa pidato menyampaikan keterangan kepada pers dalam hal yang wajar dan terkesan lumrah. Namun hal ini baru dikatakan istimewa ketika yang menyampaikannya adalah orang - orang yang memiliki kekuasaan dan wewenang di negara termasuk Presiden SBY sendiri. Terlebih itu disampaikan melalui beberapa media dan diulang - ulang. Menurut Dan Nimmo pengalihan isu dalam komunikasi politik sangatlah lumrah terjadi, bagaimanapun media juga harus dituntut objektif tak hanya “menjual” berita baru yang dirasa lebih diminati orang, dibandingkan memproposisikan berita yang sebelum ada isu tersebut. Karena selama ini di Indonesia ketika ada isu - isu yang belum terselesaikan dan belum ada jalan keluarnya selalu ada isu publik lain yang menjadi konsumsi dan seakan melupakan isu yang lama.
Di akhir analisis ini kami selaku penulis ingin menarik kesimpulan dari beberapa pandang sudut analisis di atas. SBY merupakan pemimpin pemerintahan Indonesia sudah seharusnya tidak terjebak dalam konflik status dimana selain menjadi Presiden di sisi lain menjadi Ketua Umum, Ketua Majelis Tinggi dan Ketua Dewan Penasehat Partai Demokrat. Terlebih ketika masih berada di ranah negara menggunakan fasilitas negara seperti Istana Kepresidenan alangkah beretikanya seorang pemimpin memberi contoh menggunakannya untuk kepentingan negara bukan kepentingan parpolnya. Supaya apa yang beliau lakukan tidak dicontoh oleh para pejabat eksekutif dan legislatif lainnya.
Pada akhirnya memang ketika “pelanggaran” etika yang dilakukan Presiden ini memang tak cukup kuat untuk diteruskan ke jalur hukum, bahkan tak kan bisa untuk dijerat hukum. Tapi ketika etika telah dilanggar maka sanksi sosial-lah yang akan berbicara, bahkan terkadang sanksi sosial itu lebih kejam dan lebih jera daripadi sanksi hukum biasa.

DAFTAR PUSTAKA

Alfian, Alfan, 2012. Kekuatan Pemimpin. Jakarta : Kubah Ilmu
Marsh, David, Stoke, Gerry, 2010. Teori dan Metode Dalam Ilmu Politik. Bandung : Nusa Media
Mondry,2010. Diktat Pengantar Sosiologi. Malang
Nimmo, Dan, 1993. Komunikasi Politik : Komunikator, Pesan, dan Media. Bandung : PT Remaja Rosdakarya
Poerwadarminta, W.J.S, 1976. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta : Balai Pustaka
Syafiie, Inu Kencana, 2011. Etika Pemerintahan. Jakarta : PT Rineka Cipta

Teori New Public Service



Janet V. Denhardt dan Robert B. Denhardt memberikan model alternatif yang disebut dengan new public service, dimana model new public service ini menurut Janet dan Robert Dendhardt menekankan pada empat pemikiran post - positivism, yaitu teori democratic citizenship, model of community and civil society atau model komunitas dan masyarakat sipil (masyarakat madani), organizational humanism and new public administration atau humanisme organisasi dan new public administration, dan terakhir post modern public administration.
Model kewarganegaraan demokratik memandang warga negara bukan sebagai entitas dan objek sistem hukum yang diatur dan dikendalikan oleh hak dan kewajiban legal. Teori ini menempatkan warga negara sebagai aktor politik aktif yang berpotensi mempengaruhi sistem politik. Negara ada, menurut pandangan ini untuk menjamin hak warga negara membuat pilihan sesuai dengan kepentingannya dengan aturan tertentu.
Sementara model community and civil society beragumen bahwa komunitas - komunitas yang plural harus dijaga dari dominasi kelompok atau sistem, agar identitasnya tetap terlindungi. Namun pluralism etnis misalnya, jangan pula menimbulkan konflik sehingga untuk mengatasinya, diperlukan pembentukan koalisi besar, mediasi dan negosiasi. Karena itu, menurut Gardner komunitas harus dicirikan dengan “caring, trust, and teamwork” (Denhardt dan Denhardt, 2007 : 33). Dari sudut politik, mereka merasa tak berdaya karena negara telah tersandera oleh kepentingan asing, pengusaha, dan politik atau kepentingan partai, kelompok, dan birokrasi.
Pada organizational humanism and new public administration, merupakan gerakan intelektual yang tidak puas dengan asumsi dasar OPA dan NPM. Gerakan administrasi publik baru, sangat dipengaruhi oleh paradigm kritis, konstruktivis, dan interpretif dalam yang bermuara pada paradigma humanistic atau post-positivism. Mereka berasumsi, ilmu - ilmu sosial berbeda dengan ilmu alam. Dari sudut aksiologis, ilmu tidak bisa dilepaskan dari nilai. Realitas, secara epistimologis adalah hasil konstruksi bersama antara peneliti dengan yang diteliti. Tujuan ilmu bukan menjelaskan, mengontrol dan meramalkan melainkan pemahaman dan dengan tujuan untuk melakukan transformasi sosial yang lebih adil dan demokratis. Karena itu, administrasi publik baru ini disebut sebagai “dialectial organization” atau “consociated model” dimana dijelaskan Denhardt dalam bukunya in shadow of organization.
Pemikiran berikutnya dari paradigm NPS adalah “postmodernism” yang mengubah pandangan dari kajian organisasi yang bebas nilai menjadi value-bound. Studi tentang administrasi publik didekati dengan pendekatan yang kini lebih sensitif terhadap nilai, bukan hanya fakta, sensitif terhadap makna subjektif manusia, bukan hanya perilaku objektif dalam setting interaksi sosial yang dinamis. Cara pandangan pendekatan ini adalah “government must increasing be based on sincere and open discourse among all parties, including citizens and administrators”, para pendukung teori posmo punya perhatian yang menekankan pada wacana (discourse) yang membuka proses inter-subjektivitas manusia dalam konteksi dinamika organisasi.
Paradigma NPS mengandung karakteristik berikut, (1), helping citizens articulate and meet their shared interests. (2), building a collective, shared notion of the public interest. (3), acting democratically through collective efforts and collaborative processes. (4), serving citizens, not customers. (5), paying attention to statutory and constitutional law, community values, political norms, professional standars and citizen interest. (6) Valuing people, not just productivity. (7) valuing citizenship and public service above entrepreneurship.
Sementara itu Denhardt dan Denhardt mengajukan karakteristik NPS ke dalam tujuh prinsip. Pertama, serve citizen, not customers. Kepentingan publik merupakan hasil dialog atas nilai yang dimiliki bersama daripada agregasi kepentingan diri perseorangan. Karenanya, pelayanan publik tidak hanya lagi berfokus pada hubungan kepercayaan merespons tuntutan “pelanggan”, tetapi yang lebih penting dan kerja sama dengan dan di antara warga negara.
Kedua, seek the public interest. Dimana administrator publik harus mampu membangun ikatan kolektif dan pandangan bersama tentang apa yang disebut kepentingan publik. Salah satu prinsip inti dari Layanan Publik Baru adalah penegasan kembali sentralitas kepentingan publik dalam pelayanan pemerintah. The New Public Layanan menuntut bahwa proses pembentukan "visi" bagi masyarakat adalah bukan sesuatu yang hanya untuk diserahkan kepada para pemimpin politik yang terpilih atau ditunjuk administrator publik. Sebaliknya, aktivitas membangun visi atau arah, mendefinisikan nilai-nilai bersama, adalah sesuatu yang luas dialog publik dan musyawarah adalah pusat. Bahkan lebih penting, kepentingan umum tidak sesuatu yang hanya "terjadi" sebagai hasil dari interaksi antara individu warga pilihan, prosedur organisasi, dan politik pemilu.  Sebaliknya, mengartikulasikan dan mewujudkan kepentingan umum adalah salah satu utamaalasan pemerintah ada.
Ketiga, value citizenship over entrepreneurship. Kepentingan publik lebih baik dikedepankan oleh pelayan publik dan warga neagra yang berkomitmen memberi kontribusi yang berarti bagi masyarakat ketimbang manajer entrepreneurial (wirausaha) yang bertingkah seolah - olah uang publik adalah miliknya.
Keempat, think strategically, act democratically. Kebijakan dan program memenuhi kebutuhan publik yang dicapai paling efektif dan bertanggungjawab melaui proses dan usaha kerjasama kolektif.
Dalam layanan publik yang baru, ide ini tidak hanya untuk membangun visi dan kemudian meninggalkan pelaksanaannya kepada mereka dalam pemerintahan, melainkan untuk bergabung bersama-sama semua pihak dalam proses baik merancang dan melaksanakan program-program yang akan bergerak ke arah yang diinginkan. Melalui keterlibatan dalam program sipil pendidikan dan dengan membantu untuk mengembangkan berbagai pemimpin sipil, pemerintah dapat merangsang rasa baru kebanggaan warga dan tanggung jawab sipil.
Kelima, recognize that accountability isn’t simple. Pelayan publik harus lebih menarik daripada pasar. Mereka juga harus taat pada undang - undang dan hukum, nilai yang dianut komunitas, norma politik, standar etika professional dan kepentingan warga negara.
Keenam, serve rather than steer. Penting bagi pelayan publik untuk berbagi, kepemimpinan berdasar nilai dalam membantu warga negara untuk mengungkapkan dan memenuhi kepentingan mereka ketimbang mengontrol mereka atau mengendalikan mereka menuju arah baru yang belum tentu menjadi bagian dari kepentingan mereka.
Serta terakhir yang ketujuh, value people, not just productivity. Organisasi publik dan jaringannya yang partisipatif akan lebih berhasil dalam jangka panjang bila mereka bekerja lewat proses kerjasama dan mengacu pada kepemimpinan bersama berdasarkan saling menghormati tanpa deskriminasi.

DAFTAR PUSTAKA

Denhardt, Janet V. and Denhardt, Robert B. 2007. The New Public Service. London : M.E. Sharpe Inc
Siswadi, Edi, 2012. Birokrasi Masa Depan : Menuju Tata Kelola Pemerintahan yang Efektif dan Prima. Bandung : Mutiara Press

Ironi Pengelolaan Migas di Bawah BP Migas



Indonesia dianugerahi oleh Tuhan sebagai negara yang kaya akan sumber alam baik yang terdapat di dalam perut bumi maupun yang di luar bumi, baik di darat maupun di laut. Tengoklah seberapa kekayaan Indonesia bahkan ada istilah di negara ini gemah rimah loh jinawe dengan segala kekayaannya “harusnya” rakyat Indonesia berada di kecukupan. Di darat kita punya kekayaan luar biasa hasil pertanian, perkebunan, hutan dengan kayunya, belum lagi sumber daya alam  lain yang bernilai mahal seperti batu bara, minyak bumi, gas bumi, timah, emas, bahkan uranium yang digunakan sebagai bahan pembuat nuklir merupakan beberapa di antaranya dari kekayaan Indonesia di darat. Di laut kita punya hasil perikanan yang begitu melimpah, beberapa spesies ikan langka ada di perairan nusantara ini.  Belum lagi keindahan pesona bawah laut Indonesia dengan terumbu karangnya konon merupakan salah satu yang terbaik di dunia, tak hanya itu di laut pun sumber minyak bumi juga di dapat. Pendek kata Indonesia ini surga kecil di dunia.
Berbicara mengenai kekayaan alam di Indonesia, ada salah satu komoditi utama penyumbang devisa dan pendapat negara bernama minyak dan gas bumi. Tercatat Indonesia merupakan salah satu negara penghasil minyak bumi di dunia dimana minyak bumi yang dihasilkan dari eksplorasi dari tahun ke tahun tampak fluktuatif. Pada tahun 2010 berdasarkan data dari Kementerian ESDM, Indonesia memroduksi minyak bumi sebesar 344.836 ribu barel per harinya, tahun 2011 mencapai 329.249 ribu barel per hari, dan tahun 2012 di semester pertama mencapai 163.633 ribu barel per hari. Dengan perkiraan cadangan minyak bumi mencapai 7,73 milyar barel di tahun 2011.
Bersama dengan itu lembaga legislatif membuat suatu aturan hukum berbentuk undang – undang sebagaimana tertuang dalam UU No. 22 tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi. Dimana disebutkan pada Pasal 3 UU No. 22 tahun 2001 tersebut penyelenggaraan usaha minyak dan gas bumi antara lain bertujuan untuk:
1.      Menjamin efisiensi dan efektivitas bahan minyak dan gas bumi sebagai sumber energi dan bahan baku untuk kebutuhan dalam negeri
2.      mendukung dan menumbuhkembangkan kemampuan nasional untuk lebih mampu bersaing di tingkat nasional, regional, dan internasional
3.      meningkatkan pendapatan negara untuk memberikan kontribusi yang sebesar-besarnya bagi perekonomian nasional dan mengembangkan serta memperkuat posisi industri dan perdagangan Indonesia
4.      menciptakan lapangan kerja, meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat yang adil dan merata, serta tetap menjaga kelestarian lingkungan hidup

Dimana dalam pengaplikasiannya menurut undang – undang tersebut, pemerintah membentuk suatu badan pelaksana sebagai pengendalian kegiatan hulu minyak dan gas bumi, sebagaimana tercantum pada Pasal 1 ayat 23. Adapun kegiatan usaha hulu berdasarkan UU No. 22 tahun 2001 pasal 6 ayat 1 meliputi kontrak kerjasama. Kontrak kerjasama ini memuat persyaratan sebagaimana berikut
a.       kepemilikan sumber daya alam tetap di tangan Pemerintah sampai pada titik penyerahan
b.      pengendalian manajemen operasi berada pada Badan Pelaksana
c.       modal dan risiko seluruhnya ditanggung Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap

Sebagai implementasi dari UU No. 22 tahun 2001 Pasal 1 ayat 23 ini maka pemerintah membuat badan pelaksana hulu usaha minyak dan gas bumi yang dinamakan BP Migas melalui Peraturan Pemerintah No 42 tahun 2002. Adapun tugas dari BP Migas sebagaimana dalam PP No. 42 tahun 2002 pasal 11 antara lain
a.       memberikan pertimbangan kepada Menteri atas kebijaksanaannya dalam hal penyiapan dan penawaran Wilayah Kerja serta Kontrak Kerja Sama;
b.      melaksanakan penandatanganan Kontrak Kerja Sama
c.       mengkaji dan menyampaikan rencana pengembangan lapangan yang pertama kali akan diproduksikan dalam suatu Wilayah Kerja kepada Menteri untuk mendapatkan persetujuan
d.      memberikan persetujuan rencana pengembangan lapangan selain sebagaimana dimaksud dalam huruf c
e.       memberikan persetujuan rencana kerja dan anggaran
f.       melaksanakan monitoring dan melaporkan kepada Menteri mengenai pelaksanaan Kontrak Kerja Sama
g.      menunjuk penjual Minyak Bumi dan/atau Gas Bumi bagian negara yang dapat memberikan keuntungan sebesar-besarnya bagi negara

Dari tugas tersebut BP Migas memiliki wewenang antara lain :
  1. membina kerja sama dalam rangka terwujudnya integrasi dan sinkronisasi kegiatan operasional KKKS
  2. merumuskan kebijakan atas anggaran dan program kerja KKKS
  3. mengawasi kegiatan utama operasional kontraktor KKKS
  4. membina seluruh aset KKKS yang menjadi milik negara
  5. melakukan koordinasi dengan pihak dan/atau instansi terkait yang diperlukan dalam pelaksanaan Kegiatan Usaha Hulu
Adapun KKKS merupakan Kontraktor Kontrak Kerja Sama terdiri dari perusahaan luar dan dalam negeri, serta joint-venture antara perusahaan luar dan dalam negeri. Daftar ini selalu berkembang, mengikuti dari tender konsesi yang dilakukan oleh BP Migas setiap tahunnya.
Berdasarkan UU No. 22 tahun 2001 dari pasal Pasal 1 angka 23, Pasal 4 ayat (3), Pasal 41 ayat (2), Pasal 44, Pasal 45, Pasal 48 ayat (1), Pasal 59 huruf a, Pasal 61, dan Pasal 63 UU Migas bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Pada pasal 44 UU Migas dan dijabarkan kembali pada PP No. 42 tahun 2002 pasal 11 disebutkan salah satu tugas dari BP Migas yaitu menandatangani kontrak kerjasama dan menunjuk penjual minyak dan gas bumi bagian negara yang dapat memberikan keuntungan sebesar-besarnya bagi negara. Jelas hal itu bertentangan dengan UUD 1945 Pasal 33 ayat dimana disebutkan “cabang – cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dan dikuasai oleh negara”. Serta ayat 3 disebutkan bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan digunakan untuk sebesar – sebesar kemakmuran rakyat.
Maka dari itu dilakukan pengajuan Judicial Review oleh 30 tokoh dan 12 organisasi kemasyarakatan (ormas), di antaranya Ketua Umum PP Muhammadiyah Din Syamsuddin, Lajnah Siyasiyah Hizbut Tahrir Indonesia, PP Persatuan Umat Islam, PP Syarikat Islam Indonesia, PP Lajnah Tanfidziyah Syarikat Islam, PP Al-Irsyad Al-Islamiyah, PP Persaudaraan Muslim Indonesia, Pimpinan Besar Pemuda Muslimin Indonesia, Al Jamiyatul Washliyah, Solidaritas Juru Parkir, Pedagang Kaki Lima, Pengusaha dan Karyawan (SOJUPEK), Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia, dan IKADI. Mereka menilai UU Migas membuka liberalisasi pengelolan migas karena sangat dipengaruhi pihak asing. Para tokoh itu dibantu oleh kuasa hukum Dr Syaiful Bakhri, Umar Husin, dengan saksi ahli Dr Rizal Ramli, Dr Kurtubi dan lain-lain.
Sebagai langkah keluarnya putusan MK Nomor 36/PUU-X/2012 tanggal 13 November 2012, maka pemerintah membuat suatu Keputusan Presiden No. 9 tahun 2013 untuk membentuk Satuan Kerja Sementara Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SK Migas).

Wewenang dan Peran MK

Memang pembubaran lembaga negara bernama BP Migas ini menuai pro kontra di kalangan masyarakat khususnya bagi para pengusaha migas. Konon keberadaan BP Migas itu menguntungkan mereka khususnya investor perusahaan migas asing. Jika ditelisik memang keputusan pembubaran BP Migas oleh MK sendiri tak asal ngawur, sebagai lembaga yudikatif yang diberikan wewenang untuk menegakkan konstitusi.
Sebagaimana tercantum pada Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 memberikan empat wewenang kepada Mahkamah Konstitusi, yaitu: a. Memutus pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar; b. Memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar; c. Memutus pembubaran partai politik; dan d. Memutus perselisihan hasil Pemilu. 
Sesuai dengan wewenang MK maka dapat dijabarkan bahwa peranan MK antara lain
1) pengawal konstitusi (the guardian of the constitution); 
2) penafsir final konstitusi (the final interpreter of the constitution);
3) pengawal demokrasi (the guardian of the democracy);
4) pelindung hak konstitusional warga negara (the protector of the citizen’s constitutional rights) dan hak asasi manusia (the protector of human rights). 
Wewenang Mahkamah Konstitusi menguji undang-undang dapat dilihat sebagai upaya melindungi hak asasi manusia dan hak konstitusional warga negara yang dijamin UUD 1945 agar tidak dilanggar oleh ketentuan undang-undang. Jika ketentuan suatu undang-undang telah melanggar hak konstitusional warga negara, maka dapat dipastikan tindakan penyelenggara negara atau pemerintahan yang dilakukan berdasarkan ketentuan tersebut juga akan melanggar hak konstitusional warga negara. Oleh karena itu, kewenangan pengujian tersebut sekaligus mencegah agar tidak ada tindakan penyelenggara negara dan pemerintahan yang melanggar hak konstitusional warga negara.

DAFTAR PUSTAKA

Akil Mochtar. 2011. Peran Mahkamah Konstitusi Dalam Negara yang Demokratis. Jurnal Konstitusi, 13 (1) : 5-7
http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/

Terkoyaknya Kedaulatan Negara Akan Migas



Judul Buku                  : Dibawah Bendera Asing
Penulis                         : M. Kholid Syeirazi
Penerbit                       : LP3S
Tebal halaman             : 328 halaman
Edisi cetak                  : Juli 2009
Resensator                   : Avirista Midaada


“Untuk mereka yang menjadi korban”
Sebuah kalimat yang mengawali buku ini yang tentu membuat setiap orang yang membaca satu kalimat tersebut merinding. Bagiamana tidak dari buku ini pembaca akan diajak terbang untuk “di-brain wash” mengenai sumber daya alam “emas hitam” yang selama ini menjadi tumpuan energi di berbagai dunia, termasuk Indonesia.
Ketahanan energi merupakan komponen yang fundamental untuk setiap Negara. Minyak merupakan salah satu sumber bahan bakar serba guna yang pernah ditemukan manusia dan memacu jantung ekonomi industri modern. Bahkan pada saat perang Arab-Israel 1973, Negara-negara Arab menggunakan minyak sebagai sebagai senjata politik. Bangsa Arab dipimpin Arab Saudi bersatu menjatuhkan sanksi embargo minyak kepada pihak-pihak yang memihak Israel dalam perang Yon Kippur. Embargo tersebut membuat harga minyak dunia menjadi lima kali lipat dari US$ 2,5 menjadi US$ 12 per barel, dan memicu resesi ekonomi dunia.
Amerika Serikat adalah Negara yang paling kecanduan akan minyak (addicted to oil). Sebagai konsumen energi terbesar dunia, AS butuh jaminan pasokan (security of supply)  negara-negara pemilik cadangan minyak, karena cadangannya sendiri semakin menipis (tersisia 29,4 miliar barel). Produksi menurun (tinggal sekitar 5,1 juta bph) sementara konsumsi terus meningkat (mencapai 20,7 juta bph) menempatkan AS harus merancang skenario Liberalisasi industri minyak seluruh dunia, termasuk Indonesia.
Undang-undang Migas No 22/2001, berdasarkan kesimpulan analisis penulis, dengan berbagai teori sosial dan berbagai pengakuan terbuka lembaga-lembaga donor seperti USAID dan ADB dengan dukungan Bank Dunia dan IMF, merupakan salah satu koleksi undang-undang liberal yang mensibikan kedaulatan dan merelatifkan makna penguasaan Negara terhadap cabang-cabang produksi yang penting bagi Negara dan menguasai hajat hidup orang banyak. Dibaliknya terdapat kepentingan-kepentingan donor asing dan berdiri tegap kartel-kartel raksasa minyak dunia yang berkepentingan terhadap liberalisasi sektor migas Indonesia.
Arti penting liberalisasi industri migas Indonesia bagi Amerika Serikat adalah “penguasaan asing”. Perusahaan-perusahaan minyak berbendera Amerika Serikat mendominasi 85 persen di bisnis hulu minyak bumi (eksplorasi dan ekslpoitasi) dan 70 persen di bisnis hulu gas bumi. Kontrol tersebut makin paripurna jika bisnis di sketor hilir dibuka lebar. Pangsa pasar BBM domestik sangat besar, sehingga pemain-pemain asing dapat berpartisipasi menjual BBM eceran ke 220 juta penduduk Indonesia.
Pemerintah pun kala itu merupakan aktor besar yang mengajukan RUU migas dengan berbagai macam dalih dan alasan. Beberapa diantaranya adalah (1) Pertamina harus turut bersaing di industri minyak global sehingga harus “disamaratakan” dengan industri migas global lainnya dengan cara melepas monopoli kuasa terhadap sumber minyak dalam negeri dan (2) sudah terlalu merajalelanya korupsi di internal Pertamina sehingga harus segera digantikannya UU no 8/1971 dengan UU baru, yaitu UU migas. Padahal untuk dalih yang pertama dengan melepas menopoli pertamina (1) masih tidak ada jaminan akan kemanan pasokan minyak dalam negeri karena dengan masuknya perusahaan asing dalam negeri, mereka lebih memilih mengekspor olahan minyaknya ke luar negeri ketimbang Indonesia dikarenakan harga yang lebih mahal jika dijual ke luar negeri. Kemudian dalih kedua (2) fakta menyatakan korupsi Pertamina yang menggerogoti perusahaan minyak nasional telah berlangsung sejak Order baru berkuasa, bukan setelah terbitnya UU 8/1971. Jadi akar masalah bukan pada UU 8/1971, tetapi struktur dan mental birokrasi yang kedap akan reformasi.
Beberapa implikasi dari diterapkannya UU 22/2001 tentang migas adalah
1.     Implikasi paling mendasar adalah, Negara kehilangan alat untuk menjami keamanan pasok (security of supply) BBM atau BBG dalam negeri karena kontrol cadangan dan produksi migas sudah tidak berada di tangan BUMN migas. Akibatnya krisis bahan bakar migas selalu membayangi sektor energi nasional.
2.     Pertamina dirombak menjadi perusahaan skala usaha yang terpecah-pecah (unbundled), sementara perusahaan-perusahaan minyak dunia lainnya makin terintegrasi secara vertical. Mereka mencapai efisiensi dengan mengintegrasikan kegiatan sektor hulu (eksplorasi dan eksploitasi) hingga sektor hilir (disitribusi, niaga, pengolahan dsb)
3.     Terjadinya ketidakmenetukan iklim investasi sektor hulu migas karena kebijakan fiscal yang  mendukung. Bahasa simpelnya: investor harus membayar lebih untuk eksplorasi wilayah cadangan minyak baru, padahal belum pasti ada atau tidak minyaknya di wilayah tersebut. Indonesia satu-satunya Negara yang menerapkan pembayaran pra-produksi
4.     Dirombak Pertamina sebagai PT (persero) lewat PP no 31 tahun 2003 juga memungkinkan privatisasi Pertamina. Singkat kata Pertamina yang notanenenya merupakan perusahaan milik negara dapat diperjualbelikan sesuka pemerintah.
5.     Birokrasi baru semakin ribet dan tidak investor friendly. Awalnya ketika UU 8/1971 diterapkan investor hanya perlu melewati satu instansi yaitu pertamina sebelum eksplorasi, namun dengan adanya UU migas investor harus melewati minimal 5 instansi sebelum melakukan pengeboran.
Masih banyak implikasi-implikasi nyata yang ditimbulkan dengan diterapkannya UU No. 22 tahun 2001 tentang minyak dan gas bumi yang tertuang dalam buku ini. Namun sebaiknya pembaca segera membaca secara keseluruhan isi buku sehingga pengetahuan yang didapat bisa secara holistik dan lebih komprehensif. Peresensi juga kemungkinan akan menuliskannya dalam tulisan baru yang selengkapnya bisa dilihat di akhir dari tulisan ini.
Buku bersampul biru dengan gambar cover desain tetesan minyak dengan lambang perusahaan-perusahaan asing secara dominan dengan lambang pertamina yang dikecilkan sangat jelas menggambarkan pengkerdilan Pertamina sebagai BUMN migas dalam negeri yang posisinya semakin dilangkahi asing dalam menguasai sumber-sumber “emas hitam” dalam negeri. Pemerintah sendiri yang seakan membiarkan Pertamina sebagai perusahaan migas negara sendiri dilangkahi oleh asing. Bahkan negara seakan tak mempunyai kedaulatan di negera sendiri pada sektor migas dengan lobi - lobi politik yang dilakukan oleh perusahaan asing atas nama “demokrasi”.
Buku setebal 328 halaman ini memang terkesan begitu berat ketika membacanya terlebih menjelaskan dari beberapa perspektif ilmu seperti politik, ekonomi, kimia, administrasi, maupun hukum. Beberapa perspektif keilmuan itu dijadikan oleh penulis menjadi satu buku yang berawal dari sebuah tesis program pasca sarjana Ilmu Politik Universitas Indonesia. Meski terkesan berisi ilmu - ilmu yang berat dan terkesan membosankan, namun ketika dibaca bahasa penulis begitu sederhana dan terkesan santai sehingga tidak membuat “ketegangan pada otak”. Hal ini tentu berimbas buku ini mudah untuk dipahami oleh pembaca yang ingin belajar mengenai perminyakan nasional.
Alur yang digunakan cukup komprehensif dan secara sistematis gampang dicerna oleh para pembaca terutama pelajar dan pemuda yang haus akan pengetahuan kondisi Ibu Pertiwi kita saat ini. Kata-kata yang digunakan juga tidak menjemukan dan data-fakta yang disajikan juga berasal dari berbagai sumber terpercaya sehingga pembaca bisa memahami materi dari berbagai sudut pandang. 
Menurut resensator buku ini sangat direkomendasikan bagi khususnya mahasiswa maupun masyarakat pada umumnya yang tertarik membedah persoalan - persoalan tentang sumber daya alam minyak bumi dan gas, pertambangan, politik, kebijakan publik, dan hukum terkait migas di Indonesia ini. Alasannya, buku ini dapat dijadikan referensi untuk menumbuhkan semangat belajar mengenai “kekayaan alam” Indonesia yang terkibiri di negeri sendiri oleh kartel - kartel asing berkolaborasi dengan pemerintah mengatasnamakan demokrasi untuk “kepentingan rakyat”. Berawal dari sinilah semangat nasionalisme akan tumbuh yang nantinya akan menjadi modal kita untuk bersaing dengan negara lain di tengah globalisasi ini, syukur - syukur mampu merebut kembali kedaulatan negara yang terkoyak di sektor energi, pertambangan, khususnya migas.
Berbicara mengenai kemerdekaan pasti tak dapat dilepaskan dari yang namanya kedaulatan baik secara de jure maupun de facto, termasuk dalam hal kedaulatan atas sumber daya alam di negara sendiri. Dan itu sudah saatnya dimulai saat ini dengan menyebarkan pesan - pesan dari buku ini setelah kit abaca. Supaya kemerdekaan kita akan berjalan “sepenuhnya” tanpa harus terjajah oleh kapitalisme dan globalisme dengan dalih “demokrasi”.