Minggu, 16 Juni 2013

Kebijakan Proteksi : Solusi Penyelamatan Perdagangan Bebas

Salah satu perdebatan besar dalam ekonomi meliputi kontroversi perdagangan bebas adalah peran seperti apa bagi negara untuk melakukan proteksi. Perdagangan bebas versus proteksi, proteksi inilah yang seharusnya dilakukan oleh negara untuk mengurangi dampak dari perdagangan bebas.
Dengan melakukan tindakan proteksi ini dampaknya akan menyelamatkan pekerjaan banyak orang. Logikanya ketika kita membeli barang dan produk asing, produsen domestic akan menderita. Kesadaran bahwa berkembangnya suatu industri yang keahliannya menjadi tidak terpakai atau yang tunjangan pensiunnya bilang ketika perusahaannya mendadak menutup pabrik atau bangkrut. Masalah sosial dan pribadi terjadu cukup signifikan yang disebabkan oleh pengangguran industri, keahlian yang ketinggalan zaman, dan kebangkrutan akibat persaingan asing.
Masalah ini bisa ditangani dengan dua cara. Pemerintah bisa melarang impor dan mengorbankan keuntungan dari perdagangan bebas, menyatakan bahwa pemerintah bersedia membayar harga lebih tinggi untuk menyelamatkan pekerjaan dalam negeri di industri yang bisa berproduksi lebih efisien di luar negeri, atau kita bisa membantu korban perdagangan bebas dengan cara konstruktif, melatih mereka lagi untuk pekerjaan yang prospektif.
Selain untuk proteksi tenaga kerja lokal, proteksi dapat melindungi keamanan nasional. Selain menyelamatkan lapangan pekerjaan, sektor tertentu dalam perekonomian mungkin meminta produksi karena alasan lain. Proteksi pula juga dapat memperlemah ketergantungan, terkait erat dengan argument pertahanan nasional adalah klaim bahwa negara - negara, khususnya negara berkembang atau kecil, mungkin terlalu mengandalkan salah satu mitra dagang atau lebih untuk banyak barang. Jika suatu negara kecil sangat mengandalkan makanan atau energi atau beberapa bahan mentah penting dimana negara besar punya keunggulan komperatif, mungkin sulit bagi negara kecil tersebut untuk tetap netral secara politik. Beberapa kritikus perdagangan bebas berpendapat bahwa negara - negara yang lebih besar, seperti Amerika Serikat, Rusia, dan Cina, secara sadar terlibat dalam perdagangan dengan negara - negara yang lebih kecil untuk menciptakan jenis ketergantungan ini.
Keempat, proteksi terhadap perdagangan bebas akan melindungi industri muda. Industri muda di negara tertentu mungkin mengalami masa sulit untuk bersaing dengan industri mapan di negara lain. Dalam dunia yang dinamis, industri muda dapat menjadi matang dalam industri yang kuat di seluruh dunia karena keunggulan komparatif, dan riil, yang diperoleh. Jika industri seperti ini diperlemah dan didepak dari pasar ekonomi nasional pada awal kehidupannya, keunggulan komperatif mungkin tidak akan pernah berkembang.

Referensi

Case, Karl E. dan Fair, Ray C., 2006. Case Fair : Prinsip Ekonomi. New Jersey :  Erlangga

Menegakkan Pancasila Dalam Sistem Perekonomian Indonesia

Di dunia ini ada beberapa ideologi yaitu ideologi liberalisme, kapitalisme, sosialisme, marxisme dan lain - lain. Negara Indonesia sendiri menganut ideologi tersendiri dan berbeda dibandingkan negara - negara lain. Ideologi pancasila merupakan reaksi terhadap ideologi yang ada di barat maupun timur pada waktu itu, yang menurut pengamatan para pembentuk Undang - Undang Dasar 1945 tidak sesuai dengan bagi bangsa Indonesia, melihat pengalaman nyata dari praktik ideologi tersebut di tempat asalnya masing - masing. Ideologi pancasila bersumber pada cara pandang integralistik (Indonesia) yang mengutamakan gagasan tentang negara (staatsidee) yang bersifat persatuan. Pancasila merupakan salah satu ideologi yang berasal dari cerminan budaya bangsa.
Sila - sila yang ada di pancasila merupakan cerminan budaya bangsa yang sudah ada sejak ratusan tahun lalu. Dari lima sila yang ada sila terakhir yang berbunyi keadilan sosial bagi seluruh Indonesia, memang begitu terkait akan permasalahan pada bidang perekonomian termasuk kaitannya dengan memasuki era perdagangan bebas ASEAN - China melalui penandatangan CAFTA. 
Disinilah pentingnya relavansi pembangunan berasaskan ideologi pancasila. Mengedepankan ekonomi pancasila sebagai media untuk mengenali bekerjanya paham dan moral ekonomi yang akhir - akhir ini cenderung bercirikan neoliberal kapitalistik. Profesor Mubiyanto merumuskan ekonomi pancasila sebagai sistem ekonomi yang bermoral pancasila, dengan lima platform sebagai manifestasi sila - sila pancasila yaitu moral agama, moral kemerataan sosial, moral nasionalisme ekonomi, moral kerakyatan, dan moral keadilan sosial. Ekonomi pancasila merupakan prinsip - prinsip moral (ideologi) ekonomi yang berasal dari etika dan falsafah pancasila. Oleh karena itu, selain berisi cita - cita visioner terwujudnya keadilan sosial, beliau juga mengangkat realitas sosio- kultur ekonomi rakyat Indonesia, sekaligus rambu - rambu yang bernilai sejarah untuk tidak terjerumus pada paham liberalism dan kapitalisme.
Lalu, apa bukti platform Ekonomi Pancasila relevan dengan kondisi sosial-ekonomi kita saat ini?  Di tengah pesatnya perkembangan ilmu (ideologi) ekonomi global yang sudah semakin mengarah pada ‘keyakinan’ layaknya agama (Nelson, 2001), rasanya tidak sulit mengamati ekses dari kecenderungan global tersebut di Indonesia. Relevansi Ekonomi Pancasila dapat  ‘dideteksi’ dari tiga kontek yang berkaitan yaitu cita-cita ideal pendiri bangsa, praktik ekonomi rakyat, dan praktek ekonomi aktual yang ‘menyimpang’ karena berwatak liberal, individualis, dan kapitalistik. Semua itu terangkum dalam kajian lima platform Ekonomi Pancasila yang bersifat holistik dan visio-revolusioner (Mubyarto,Ekonomi Pancasila, 2003).
Platform pertama Ekonomi Pancasila yaitu moral agama, yang mengandung prinsip “roda kegiatan ekonomi bangsa digerakkan oleh rangsangan ekonomi, sosial, dan moral”. Pada awalnya founding fathers kita merumuskan ‘politik kemakmuran’, ‘keadilan sosial’, dan  ‘pembangunan karakter’ (character building) bangsa yang dilandasi semangat penerapan ajaran moral dan agama. Itu berarti pembangunan ekonomi harus beriringan dengan pembangunan moral atau karakter bangsa, dan ditujukan untuk menjamin keadilan antar sesama makhluk ciptaan Allah, tidak sekedar pembangunan materiil semata. Inilah moral ekonomi rakyat yang tidak sekedar mencari untung, melainkan memperkuat silaturahmi, menegakkan hukum-hukum Allah (syari’ah), dan memperhatikan kepentingan sosial.
Platform kedua adalah “kemerataan sosial, yaitu ada kehendak kuat warga masyarakat untuk mewujudkan kemerataan sosial, tidak membiarkan terjadi dan berkembangnya ketimpangan ekonomi dan kesenjangan sosial”. Gagasan ini sudah lama tertuang dalam bagian penjelasan Pasal 33 UUD 45 yang sudah diamandemen dalam konsep ‘kemakmuran masyarakatlah yang diutamakan, bukan kemakmuran orang-seorang’. Sampai saat ini masih sulit meyakini realisasi semangat tersebut karena setiap upaya ‘memakmurkan ekonomi’ ternyata yang lebih merasakan dampaknya tetap saja ‘orang besar’ baik pengusaha ataupun pejabat pemerintahan. Masih saja ketimpangan sosial-ekonomi susah untuk diperkecil.
Platform ketiga adalah “nasionalisme ekonomi; bahwa dalam era globalisasi makin jelas adanya urgensi terwujudnya perekonomian nasional yang kuat, tangguh, dan mandiri”. Platform ini sejalan dengan konsep founding fathers kita, khususnya Bung Karno dan Bung Hatta, perihal  ‘politik-ekonomi berdikari’ yang bersendikan usaha mandiri (self-help), percaya diri (self reliance), dan pilihan kebijakan luar negeri bebas-aktif. Kemandirian bukan saja menjadi cita-cita akhir pembangunan nasional, melainkan juga prinsip yang menjiwai setiap proses pembangunan itu sendiri. Ini mensyaratkan bahwa pembangunan ekonomi haruslah didasarkan pada kekuatan lokal dan nasional untuk tidak hanya mencapai ‘nilai tambah ekonomi’ melainkan juga ‘nilai tambah sosial-kultural’, yaitu peningkatan martabat dan kemandirian bangsa (Swasono, 2003). Oleh karena itu pokok perhatian seharusnya diberikan pada upaya pemberdayaan ekonomi rakyat sebagai tulang punggung ekonomi nasional. Ekonomi rakyatlah yang bersifat mandiri, tidak ‘menyusahkan’ atau ‘membebani’ ekonomi nasional di saat krisis, sehingga ‘daya tahan’ekonomi mereka tidak perlu diragukan lagi.
Platform keempat adalah “demokrasi ekonomi berdasar kerakyatan dan kekeluargaan; koperasi dan usaha-usaha kooperatif menjiwai perilaku ekonomi perorangan dan masyarakat”. Prinsip ini dijiwai oleh semangat Pasal 33 UUD 1945 yang kini sudah berganti menjadi UUD 2002  (amandemen keempat). Perubahan ini telah menghilangkan seluruh penjelasan UUD 1945 termasuk penjelasan Pasal 33 yang berisikan prinsip-prinsip demokrasi ekonomi dan landasan konstitusional koperasi. Oleh karena itu, upaya penegakan demokrasi ekonomi nampaknya berhadapan dengan upaya-upaya untuk memperjuangkan pasar bebas, yang menjadi senjata penganut paham liberalisme dan kapitalisme. Isu-isu yang kemudian dicuatkan diantaranya adalah privatisasi BUMN dan liberalisasi impor.
 Platform kelima (terakhir) adalah “keseimbangan yang harmonis, efisien, dan adil antara perencanaan nasional dengan desentralisasi ekonomi dan otonomi yang luas, bebas, dan bertanggungjawab, menuju pewujudan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”. Tujuan keadilan sosial juga mencakup keadilan antar wilayah (daerah), yang memungkinkan seluruh wilayah di Indonesia berkembang sesuai potensi masing-masing. Oleh karena itu pengalaman pahit sentralisasi politik-ekonomi era Orde Baru dapat kita jadikan pelajaran untuk menyusun strategi pembangunan nasional. Inilah substansi Negara Kesatuan yang tidak membiarkan terjadinya ketimpangan sosial-ekonomi antardaerah melalui pemusatan aktivias ekonomi oleh pemerintah pusat, dan di pusat pemerintahan. Paradigma yang kemudian dibangun adalah pembangunan Indonesia, bukannya pembangunan di Indonesia seperti yang dilakukan Orde Baru dengan pahamdevelopmentalism yang netral visi dan misi (Swasono, 2003).
Gagasan para pendiri bangsa kita yang sejalan dengan praktek ekonomi rakyat dan menentang keras praktek ekonomi yang neo-liberal-kapitalistik kiranya menyadarkan kita akan perlunya perombakan sistem ekonomi tersebut. Inilah relevansi lima platform ekonomi pancasila yang dapat menjadi panduan (guidance) bagi pergantian sistem dan ideologi ekonomi menjadi ekonomi yang lebih bermoral, berkerakyatan, dan berciri ‘ke- Indonesia-an’, sehingga lebih menjamin upaya pewujudan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.



Sentosa, Awan, 2004. Relevansi Platform Ekonomi Pancasila Menuju Penguatan Peran Ekonomi Rakyat. Jurnal Ekonomi Rakyat
Wahjono, Padmo, 2008. Pengantar ilmu Politik. Jakarta : PT Raja Grafindo  Persada

Rabu, 12 Juni 2013

Hilangnya Makrozoobentos Sebagai Produsen Primer Rantai Makanan di Perairan Akibat Pencemaran Lingkungan


Indonesia tampaknya sudah ditakdirkan menjadi negeri yang kaya akan sumber daya alam oleh Tuhan. Mulai dari daratan, hasil pertanian Indonesia melimpah, berbagai jenis flora dan fauna yang langka di dunia kita punya. Itu baru berbicara dari daratan saja, belum jika kita beranjak menuju lautan Indonesia. Sebagai negara dengan dua pertiga wilayahnya laut Indonesia dan memiliki garis pantai terpanjang kedua di dunia setelah Kanada, Indonesia memiliki kekayaan alam lautan yang luar biasa.
Sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, Indonesia memiliki potensi sumberdaya kelautan yang sangat potensial untuk dikembangkan guna meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Luas perairan Indonesia mencapai 5,8  juta km2 yang merupakan 75% dari seluruh wilayah, yang terdiri atas perairan nusantara 2,8 juta km2, perairan laut teritorial 0,3 juta km2, dan Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI) 2,7 juta km2 (Departemen Kelautan dan Perikanan, 2001).
Salah satu bagian terpenting dari kondisi geografis Indonesia sebagai wilayah kepulauan adalah wilayah pantai dan pesisir dengan garis pantai sepanjang 81.000 km. Wilayah pantai dan pesisir memiliki arti yang strategis karena merupakan wilayah interaksi/peralihan (interface) antara ekosistem darat dan laut yang memiliki sifat dan ciri yang unik, dan mengandung produksi biologi cukup besar serta jasa lingkungan lainnya. Kekayaan sumber daya yang dimiliki wilayah tersebut menimbulkan daya tarik bagi berbagai pihak untuk memanfaatkan secara langsung karena secara sektoral memberikan sumbangan yang besar dalam kegiatan ekonomi misalnya perikanan, kehutanan, industri, pariwisata dan lain-lain.
Laut inilah yang menghidupi jutaan petani di Indonesia. Namun ada pekerjaan rumah yang harus dilakukan oleh pemerintah, selain kesejahteraan nelayan yang masih jauh dari harapan belakangan ini juga hasil laut yang terkadang tak sesuai harapan. Satu yang menyebabkan ini terjadi karena adanya pencemaran lingkungan yang mempengaruhi rantai sistem kehidupan di laut.
Pengelolaan yang berlebihan terhadap sumber - sumber alam di daerah daratan akan memberikan pengaruh yang panjang dan mengakibatkan efek kerusakan yang hebat di lautan. Sebagai contoh, penebangan hutan - hutan yang tidak terkontrol akan menimbulkan erosi yang cepat dan hilangnya berjuta- juta ton lapisan permukaan tanah melalui aliran - aliran sungai dan kemudian akan masuk ke dalam laut. Sedimen - sedimen yang terbentuk ini mungkin akan mengendap luas di daerah - daerah yang berdekatan dengan mulut sungai, dimana hal ini dapat menutup dan merusak segala terumbu karang. Eksploitasi yang berlebihan terhadap pohon - pohon bakau juga akan merusak lingkungan hidup pantai. Hal ini akan menyebabkan hilangnya lumpur - lumpur bakau yang merupakan tempat pemijahan dan pembesaran bagi ikan - ikan komersial penting. Belum lagi pencemaran lingkungan yang dilakukan oleh manusia.
Salah satu hewan yang dapat terpengaruh adalah benthos karena benthos merupakan hewan yang tinggal menetap. Hewan benthos erat kaitannya dengan tersedianya bahan organic yang terkandung dalam substrat, karena bahan organic merupakan sumber nutrient bagi biota laut yang pada umumnya terdapat apda substrat dasar sehingga ketergantungannya terhadap bahan organic sangat besar.
Hewan makrozoobentos atau benthos ini mempunyai peranan sangat penting dalam siklus nutrient di dasar perairan. Montagna menyatakan bahwa ekosistem perairan. Makrozoobentos berperan sebagai salah satu mata rantai penghubung dalam aliran energi dan sikslus dari alga planktonic sampai konsumen tingkat tinggi. Menurut Odum, benthos merupakan organisme yang hidup di permukaan atau di dalam substrat dasar perairan yang meliputi tumbuhan (fitobentos) dan hewan (zoobentos). Zoobentos memegang beberapa peran penting di suatu perairan seperti dalam proses dekomposisi dan mineralisasi material organic yang memasuki perairan, serta menduduki beberapa tingkat trofik dalam rantai makanan.
Makrozoobentos merupakan zoobenthos berukuran lebih dari 1 mm. Menurut Cummins makrozoobentos dapat mencapai ukuran tubuh sekurang - kurangnya 3 - 5 mm saat pertumbuhannya maksimum. Lebih lanjut disebutkan bahwa organisme yang termasuk makrozoobentos diantaranya adalah Crustacea, Isopoda, Decapoda, Oligochaeta, Moluska, Nematoda, dan Annelida.
Menurut Pennak, berbagai jenis zoobentos ada yang berperan sebagai konsumen primer da nada pula yang berperan sebagai konsumen sekunder atau konsumen yang menempati tempat yang lebih tinggi. Pada umumnya, zoobentos merupakan makanan alami bagi ikan - ikan di dasar perairan sungai dan pantai.
Zoobentos merupakan makanan alami dan merupakan produsen primer pula. Dimana zoobentos yang memiliki peran produsen primer ini terjadi pada daerah yang dangkal di perairan pantai di mana terdapat cukup sinar matahari bagi tumbuh - tumbuhan untuk melangsungkan proses fotosintesa. Seperti halnya yang terjadi pada fitoplankton di dalam lautan, produksi akan tinggi pada tempat - tempat yang kaya akan bahan - bahan organic. Sebagai contoh dalam hal ini ialah daerah estuarine. Daerah ini kaya akan bahan - bahan organic yang berasal dari sungai - sungai di sekitarnya yang selalu mengangkut bahan - bahan organic dari daratan dan mempunyai nilai produksi yang tinggi antara 2,7 dan 5,5 gC/m2 / hari.
Pada daerah dengan kedalaman 0 - 30 meter inilah dihuni oleh hewan - hewan herbivore yang secara langsung memakan tumbuh - tumbuhan hijau. Beberapa jenis keanekaragaman ikan karang telah beradaptasi dengan kebiasaan ini. Sebagai contoh, surgeon fish memotong algae (tumbuh - tumbuhan air) dari media yang keras dengan mempergunakan mulut yang berbentuk seperti paruh.
Namun celakanya justru pencemaran yang marak terjadi di Indonesia dimana sungai - sungai dan pantai sudah tercemar dengan beragam limbah dan sampah. Sungai yang bermuara ke pantai seakan menjadi tempat pembuangan sampah bagi masyarakat. Bagi pengusaha, sungai juga dijadikan tempat pembuangan limbah perusahaan rumah tangga sampai perusahaan industri yang besar.
Jika mengacu pada UU No. 32 tahun 2009 mengenai perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup sudah diatur bagaimana mekanisme pembuangan limbah dari hasil produksi melalui analisis amdal pada pasal 22 UU No. 32 tahun 2009 disebutkan dalam pasal 22 tersebut “ setiap usaha dan/atau kegiatan yang berdampak penting terhadap lingkungan wajib memiliki amdal. Amdal ditentukan dengan beberapa kriteria antara lain jumlah penduduk yang terkena dampak, luas wilayah yang terkena dampak, intensitas dan lamanya terkena dampak, serta komponen lingkungan yang terkena dampak.
Melihat peraturan perundangan-undangan dengan realita di lapangan seolah terputar 180o. Bagaimana tidak kita lihat saja sungai - sungai yang terletak di kawasan industri di kota - kota besar nyaris semuanya sudah berubah warna menjadi coklat kehitaman. Peraturan undang-undang yang seharusnya menjadi patokan pemerintah untuk mengontrol keberlangsungan lingkungan utamanya perairan di sungai yang bermuara di pantai hanya menjadi lembaran kertas dokumen negara saja. Di lapangan lemahnya pengawasan oleh pemerintah membuat mereka bebas melakukan pembuangan limbah industrinya ke sungai. Belum lagi ada oknum - oknum pemerintah yang mendapat salam temple untuk memuluskan pengeluaran izin amdal industri. Meskipun masyarakat mengeluh dan berteriak rasanya susah jika harus pemerintah bertindak, terlebih dengan rekanan sudah duduk nyaman dengan mendapatkan jatah hidangan yang ada.
Tak hanya soal pembuangan limbah ancaman pengrusakan sistem kehidupan dan mata rantai di perairan juga dilakukan oleh masyarakat sendiri. Pembuangan sampah pada sungai dan lautan sebagaimana yang terjadi kebanyakan di Indonesia juga dikategorikan pelanggaran, sebagaimana diatur dalam UU No. 32 tahun 2009 pasal 69.
Sampah - sampah yang mengandung kotoran minyak kadang - kadang dibuang begitu saja ke dalam laut melaui sistem daerah aliran sungai. Sampah - sampah ini kemungkinan mengandung logam berat dengan konsentrasi yang tinggi. Tetapi umumnya mereka kaya akan bahan - bahan organic, sehingga akan memperkaya kandungan zat - zat makanan pada suatu daerah yang tercemar yang membuat kondisi lingkungan menjadi lebih baik bagi pertumbuhan mikroorganisme.
Aktivitas pernapasan dari organisme ini sering membuat makin menipisnya kandungan oksigen khususnya pada daerah yang terletak di perairan semi tertutup seperti di daerah estuarine. Hal seperti ini kemungkinan mempunyai pengaruh besar terhadap kehidupan tumbuh - tumbuhan dan hewan yang hidup di tempat tersebut. Akibatnya dalam keadaan yang paling ekstrim jumlah spesies yang ada pada daerah ini akan berkurang secara drastic dan dapat mengakibatkan bagian dasar daerah estuarine kehabisan oksigen. Keadaan seperti ini akhirnya menyebabkan mikrofauna yang hidup disini hanya dari golongan cacing saja.
Padahal yang terjadi spesies seperti makrozoobentos tadi hidup di dasar sungai dan daerah estuarine dimana juga membutuhkan oksigen untuk bernafas. Logikanya begini makrozoobentos merupakan makanan alami bagi ikan - ikan di daerah aliran sungai, daerah estuarine, dan sekitar pantai dengan kedalaman 0 - 30 meter. Jika oksigen itu tidak terdapat di dasar maka makrozoobentos akan dengan sendiri matinya, jika sudah mati lalu bagaimana nasib spesies ikan - ikan yang menggantungkan hidupnya dari makrozoobentos? Pilihannya tentu bertransmigrasi atau akan mati karena ketiadaan stok makanan pokok.
Hal inilah yang menyebabkan ikan - ikan di sekitar pantai dan daerah estuarine berkurang. Dampaknya bagi nelayan saat ini harus mencari ikan hingga bermil - mil jauhnya dari daratan karena jauh berkurangnya spesies ikan di daerah pertemuan arus laut dan sungai.
Belum lagi jika ditambah bahan berbahaya dan beracun lainnya macam minyak, pestisida, dan logam berat lainnya. Akibatnya ikan - ikan dan hewan laut yang kita konsumsi akan tercemar dengan bahan berbahaya tersebut. Dampaknya dikhawatirkan bisa seperti yang terjadi di Teluk Minamata Jepang pada tahun 1953 sampai 1960 dimana lebih kurang 100 orang telah menjadi korban. Dari korban - korban ini ada yang meninggal atau mengalami cacat untuk seumur hidup. Mereka kebanyakan keracunan karena memakan kerang yang telah tercemar oleh hasil buangan dari pabrik - pabrik yang membuat acetylene dari acetaldehyde.
Kasus di atas merupakan contoh bagaimana pemeliharaan lingkungan yang tidak diperhatikan. Bukan tidak mungkin kasus seperti itu juga terjadi di Indonesia. Kepekaan dan kesadaran masyarakat merupakan hal utama dari partisipasi untuk menjaga lingkungan. Disamping itu kebijakan politik yang disusun juga harus berpihak kepada lingkungan perairan. Karena jika melihat pembangunan yang terjadi di seluruh daerah di Indonesia, acap kali mengesampingkan itu.
Sebagai negara yang luas perairan lautnya mencapai 2/3 dari wilayah total pemerintah diharapkan serius untuk menjaga perairan dari pencemaran. Supaya rantai makanan yang sudah ada di alam dapat terjaga, yang pada akhirnya menjadi asset negara juga. Tindakan pemerintah dengan menuangkan peraturan untuk mengatur lingkungan hidup pada UU No .32 tahun 2009 dan No. 27 tahun 2007 mengenai pengelolaan pesisir dan pulau - pulau kecil patut kita apresiasi dan kita dukung mewujudkannya.
Namun disisi lain upaya di lapangan untuk pengaplikasian kedua aturan hukum tersebut masih menjadi pekerjaan rumah bersama. Harus ada upaya bersama antara pemerintah, masyarakat, dan swasta untuk sadar menjaga lingkungan hidup utamanya lingkungan perairan agar biota perairan dari sungai, lau, danau, dan sebagainya tidak cepat punah hanya karena pengelolaan yang kurang cermat.
Di akhir ini kami menyimpulkan makrozoobentos merupakan spesies yang merupakan rantai pertama dari rantai makanan di ekosistem perairan. Dimana makrozoobentos ini perlu juga oksigen untuk hidup, maka bila air sudah tercemar otomatis oksigen yang ada tidak dapat masuk hingga mencapai dasar perairan dimana makrozoobentos itu hidup. Jika ini sudah terjadi maka makrozoobentos akan hilang sehingga mengakibatkan ikan tidak memiliki makanan. Jika sudah begini ikan akan mati atau pergi yang berdampak pada nelayan yang susah untuk mencari ikan di sekitar pantai. Meskipun ada ikan, jika perairan laut tercemar dari aliran sungai secara otomatis ikan yang tersedia akan terkandung zat - zat berbahaya jika dikonsumsi manusia. Bukan tidak mungkin dari sanalah korban jiwa manusia akan terjadi seperti halnya di Teluk Minamata, Jepang. Dari sanalah peran negara seharusnya hadir untuk menjaga dan menyelamatkan rakyatnya, seperti dikatakan Immanuel Kant, dimana negara ibarat sebagai penjaga malam yang melindungi rakyatnya dari bahaya, termasuk dari bahaya zat - zat berbahaya dari ikan yang terkena dampak dari pencemaran perairan.
DAFTAR PUSTAKA

Amin, Bintal. Nurrachmi, Irvina dkk, 2012. Kandungan Bahan Organik Sedimen dan Kelimpahan Makrozoobenthos Sebagai Indikator Pencemaran Perairan Pantai Tanjung Uban Kepulauan Riau. Jurnal Perikanan, (1) : 1-2
Hutabara, Sahala. dan Evans M, Stewarts, 2012. Pengantar Oseanografi. Jakarta : UI Press
Pusat Sarana Pengendalian Dampak Lingkungan, 2011. Laporan Pemantauan Kualitas Air Laut di Indonesia. Jakarta : Kementerian Lingkungan Hidup

Suartini, Ni Made. Sudatri, Wayan, dkk, 2007. Identifikasi Makrozoobentos Di Tukan Bausan, Desa Pererenan, Kabupaten Badung, Bali. Jurnal Ilmiah Ecotropik 5, (1) : 41 - 42 

Jumat, 07 Juni 2013

Bentuk Otonomi Khusus Aceh

Sebagaimana diamanatkan dalam UU No 18 tahun 2001 mengenai Otonomi Khusus Bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh Sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam ada perbedaan dari  sistem tata pemerintahan, keuangan, hukum, serta politik. Dimana dalam keuangan pada pasal 4 UU No. 18 tahun 2001 sumber pendapat asli daerah Aceh pada poin c. zakat, sumber pendapat daerah inilah yang tidak didapatkan di daerah lain berdasarkan undang - undang yang berlaku. Perbedaan lain tentu angka besaran bagi hasil pajak dan sumber daya alam pada pasal 4 ayat 3 (a), dimana Aceh menerima 80% dari pertambangan umum, perikanan, dan kehutanan, 30% dari hasil gas alam, serta 15% dari pertambangan minyak bumi.
Dalam hal sistem pemerintahan di Aceh, terdapat yang namanya Wali Nanggroe dan Tuha Nanggroe sebagaimana tercantum dalam Pasal 10 UU No. 18 tahun 2001. Keduanya adalah lembaga yang merupakan simbol bagi pelestarian penyelenggaraan kehidupan adat, budaya, dan pemersatu masyarakat di Aceh. Namun di sisi lain Wali Nanggroe dan Tuha Nanggroe ini bukan merupakan lembaga politik dan lembaga pemerintahan di Aceh. Adapun penjabaran dari Wali Nanggore ini terdapat pada pasal 96, dimana lembaga Wali Nanggroe bersifat personal dan independen, tak terkait lembaga politik dan lembaga pemerintahan di Aceh. Lembaga Wali Nanggroe ini merupakan kepemimpinan adat sebagai pemersatu masyarakat yang independen, berwibawa, dan berwenang membina dan mengawasi penyelenggaraan kehidupan lembaga-lembaga adat, adat istiadat, dan pemberian gelar/derajat dan upacara-upacara adat lainnya.
Istilah DPRD Provinsi Aceh menyebutnya dalam UU No. 11 tahun 2006 pasal 23 sebagai Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) yang dipilih langsung oleh rakyat melalui pemilu. Sedangkan istilah DPRD Kabupaten/Kota di Aceh disebut dengan Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten/Kota (DPRK) berdasarkan pasal 24 undang - undang yang sama, dimana anggotanya dipilih melalui pemilu.
Dari sisi pembagian administrasi wilayahnya terdiri dari Kabupaten/Sagoe, Kota/Banda, Kecamatan/Sagoe Cut. Sementara kecamatan terdiri dari beberapa mukim, dan mukim terdiri dari gambong sebagaimana dijelaskan dalam UU No. 18 tahun 2001 Pasal 2 dan UU No. 11 tahun 2006 pasal 2 mengenai Pemerintahan Aceh.
Dalam bidang hukum selain ada kepolisian dan kejaksaan sebagaimana lazimnya di daerah lain, ada satu lagi tambahan yang ada di Aceh yang dinamakan Mahkamah Syari’ah sebagaimana disebutkan dalam pasal 25 UU No. 18 tahun 2001, wewenangnya didasarkan atas syari’at islam dengan sistem hukum nasional yang berlaku dan ini berlaku bagi semua pemeluk agama islam. Pada UU No. 11 tahun 2006 mengenai Pemerintahan Aceh, Majelis Syari’ah ini lebih dijelaskan secara rinci pada pasal 128 hingga pasal 137. Adapun Majelis Syari’at ini memiliki wewenang memeriksa, mengadili, memutus, dan menyelesaikan perkara yang meliputi bidang ahwal al-syakhsiyah (hukum keluarga), muamalah (hukum perdata), dan jinayah (hukum pidana) yang didasarkan atas syari’at Islam.
Di samping itu selain berpedoman pada sistem hukum nasional yang berlaku. Aceh juga mengedepankan pelaksanaan syari’at islam dalam kehidupan sehari - hari sebagaimana diatur pada pasal 125 sampai pasal 127. Adapun cakupan dalam pelaksanaan syari’at islam sebagai yang terdapa pada pasal 125 ayat 2 meliputi ibadah, ahwal alsyakhshiyah (hukum keluarga), muamalah (hukum perdata), jinayah (hukum pidana), qadha’ (peradilan), tarbiyah (pendidikan), dakwah, syiar, dan pembelaan Islam.
Dalam urusan pemerintahan sebagaimana tercantum dalam UU No. 11 tahun 2006 pasal 16 ayat 2 urusan wajib kewenangan pemerintah Aceh yang merupakan bentuk keistimewaan Aceh dimana mengedepankan budaya islaminya, termasuk dalam peran ulama dalam penetapan kebijakan yang tersebut pada Pasal 16 ayat 2 poin d. Maka dari sanalah undang - undang pemerintahan Aceh menyebutkan lembaga Majelis Permusyawaratan Ulama sebagaimana menindaklanjuti pasal 16 ayat 2 poin d, dimana mulai pasal 138 hingga pasal 140 UU No. 11 tahun 2006 dijelaskan bagaimana posisi lembaga Majelis Permusyawaratan Ulama dan apa saja wewenang yang diembannya.
Adapun fungsi dari Majelis Permusyawaratan Ulama yaitu menetapkan fatwa yang dapat menjadi salah satu pertimbangan terhadap kebijakan pemerintahan daerah dalam bidang pemerintahan, pembangunan, pembinaan masyarakat, dan ekonomi sebagaimana dijelaskan dalam pasal 139 ayat 1. Dari wewenang tersebut MPU memiliki tugas yang telah diatur dalam UU No. 11 tahun 2006 pasal 140 ayat 1 yaitu memberi fatwa baik diminta maupun tidak diminta terhadap persoalan pemerintahan, pembangunan, pembinaan masyarakat, dan ekonomi serta memberi arahan terhadap perbedaan pendapat pada masyarakat dalam masalah keagamaan.
Pada urusan politik, keistimewaan Aceh melalui otonomi khususnya juga mewadahi politik masyarakat dengan diperkenankannya partai politik local. Dimana ini sesuai dengan UU No. 11 tahun 2006 pasal 75 ayat 1 berbunyi “penduduk Aceh dapat membentuk partai politik lokal”. Penjelasan mengenai partai politik dalam undang - undang pemerintahan Aceh terdapat mulai pasal 75 - hingga pasal 88 UU No. 11 tahun 2006.
Selain keistimewaan yang telah disebutkan di atas, ada beberapa keistimewaan lainnya yang sampai saat ini mengundang kontroversi di masyarakat Aceh sendiri, bahkan masyarakat Indonesia. Hal tersebut terkait dengan penggunaan bendera Aceh yang mirip dengan bendera Gerakan Aceh Merdeka sebuah gerakan separatis yang berusaha memisahkan Aceh dari NKRI. Memang dalam UU No. 11 tahun 2006 yang notabenenya berdasarkan dari perjanjian Helsinki antara pemerintah Indonesia dengan GAM, Aceh berhak memiliki bendera, lambing, dan himne. Adapun terkait hal itu dijelaskan pada pasal 246 ayat 2 dimana pemerintah Aceh dapat menentukan dan  menetapkan bendera Aceh sebagai lambang yang mencerminkan keistimewaan dan kekhususan, ini dijabarkan kembali pada ayat 3 yang berbunyi Bendera daerah Aceh sebagai lambang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) bukan merupakan simbol kedaulatan dan tidak diberlakukan sebagai bendera kedaulatan di Aceh.

Dua pasal inilah yang mengundang kontroversi karena belum ada kejelasan seperti apa bendera Aceh tersebut yang lantas ditetapkan bendera Aceh yang mirip dengan bendera milik GAM. Selain itu pada pasal 247 juga disebutkan pemerintah Aceh dapat menetapkan lambang sebagai simbol keistimewaan dan kekhususan daerah Aceh. Pendek kata kewenangan menentukan bendera, lambang, dan himne sebagaimana pada pasal 246, 247, dan 248 perlu ada kejelasan seperti apa, dikarenakan bukan tidak mungkin kejadian seperti bendera Aceh yang mirip bendera GAM ini akan terulang pada lambang dan himne Aceh.

Rabu, 05 Juni 2013

Pandangan Neofungsionalisme Dalam Memahami Fenomena Sosial

Diantara teoritikus sosial yang dapat dikatakan sebagai tokoh teori neofungsionalisme, antara lain: Jeffrey Alexander dan Paul Colomy. Neofungsionalisme  muncul di tahun 1980-an, sebagai bentuk upaya menghidupkan kembali teori fungsional struktural yang dianggap mulai redup sejak 1960-an hingga 1970-an. Neofungsionalisme didefinisikan oleh Colomy sebagai ‘rangkaian kritik diri (internal) terhadap teori fungsional struktural, dan ingin mencoba memperluas cakupan intelektual teori fungsionalisme yang sedang mempertahankan inti teorinya’. Jadi, teori fungsional struktural yang lama dianggap terlampau sempit dan kaku, dan tujuan Alexander dan Colomy adalah menciptakan teori sintesis yang disebut  ‘Neofungsionalisme’. Ada beberapa kelemahan (problem) yang dihadapi oleh teori fungsional struktural yang perlu dijawab oleh Neofungsionalisme, antara lain: (1) anti individualisme; (2) antagonistik terhadap perubahan; (3) konservatif;(4) idealisme; dan (5) bias antiempiris.
Berikut ini beberapa pokok pikiran atau pandangan teori  Neofungsionalisme  Alexander dan Colomy, dalam memahami beragam fenomena sosial-budaya  di masyarakat, antara lain
Pertama, neofungsionalisme, bekerja dengan model masyarakat deskriptif. Model ini melihat masyarakat tersusun dari unsur-unsur sosial yang saling berinteraksi menurut pola tertentu, hubungan antar unsur tersebut diistilahkan sebagai ‘hubungan secara simbiosis’, tidak ditentukan oleh satu kekuatan semata (misalnya, eksternal menentukan internal atau sebaliknya). Jadi, masyarakat dianggap lebih bersifat terbuka, dinamik dan pluralis (beragam).
Kedua, neofungsionalisme, memusatkan perhatian yang sama besarnya terhadap tindakan individu (mikro) dan keteraturan sosial (makro). Hal ini berbeda dengan teori fungsional struktural,  yang lebih menekankan pada aspek keteraturan sosial atau tradisional dan bersifat makro didalam memahami struktur sosial dan budaya). Sedangkan neofungsionalisme, selain memperhatikan tingkat makro juga pola tindakan individu ditingkat yang lebih mikro, juga tindakan rasional dan tindakan eskpresif individu dalam proses-proses sosial di masyarakat.
Ketiga, neofungsionalisme, tetap memperhatikan masalah integrasi, tetapi bukan dilihat sebagai fakta sempurna melainkan lebih dilihat sebagai ‘kemungkinan sosial’, sedangkan dalam pandangan teori fungsional struktural, kondisi integrasi atau equilibrium lebih dilihat sebagai fakta yang sempurna atau suatu keharusan dalam kehidupan kelompok. Neofungsionalisme  mengakui penyimpangan dan kontrol sosial sebagai realitas dalam sistem sosial yang sangat dinamik dan kompleks. Neofungsionalisme mengakui keseimbangan tetapi dalam konteks yang lebih luas (keseimbangan statis dan dinamik). Sedangkan dalam fungsional struktural keseimbangan bersifat statis.
Keempat, neofungsionalisme,  tetap menerima  penekanan Parsonian tradisional atas konsep kepribadian, konsep kultur, konsep sistem sosial dan organisme perilaku (dalam struktur tindakan) dalam kehidupan sehari-hari, tetapi neofungsionalisme juga menganggap interpenetrasi atas sistem sosial dapat menghasilkan ketegangan (konflik) dan perubahan sosial yang lebih dinamik.
Kelima, neofungsionalisme,  memusatkan perhatian pada perubahan sosial dalam proses diferensiasi di dalam sistem sosial, kultural dan kepribadian. Perubahan tidak hanya menghasilkan konsensus dan equilibrium (seperti pandangan teori fungsionalisme struktural), tetapi juga menimbulkan ketegangan antar individu dan kelompok. Hal ini berbeda dengan pandangan teori fungsional struktural yang memandang perubahan hanya menghasilkan kondisi equilibrium (keseimbangan dalam sistem). Jadi, bagi neofungsionalisme perubahan sosial dalam masyarakat bisa membawa pengaruh terjadinya ‘integrasi sosial’ dan ‘disintegrasi sosial’..
Keenam, Neofungsionalisme, secara tidak langsung menyatakan komitmennya terhadap kebebasan dalam menyusun dan mengonseptualisasikan teori berdasarkan analisis sosial-budaya  pada tingkat makro dan mikro. Bagi neofungsionalisme, menganalisis fenomena atau realitas sosial budaya di masyarakat, tidak cukup hanya menggunakan pendekatan makroskopik tetapi juga menggunakan pendekatan mikroskopik. Sedangkan dalam teori fungsional struktural proses analisis fenomena sosial-budaya hanya pada tingkat makro, oleh karena itu cakupan analisis neofungsionalnya lebih luas apabila dibandingkan dengan fungsional struktural.
Ketujuh, riset teori fungsional struktural, dipandu oleh skema konseptual tunggal dan mengikat  area-area riset khusus dalam satu paket yang ketat, bersifat positivistik dan realitas sosial eksternal (kondisi makro) sangat menentukan realitas internal (kondisi mikro), sedangkan karya empiris teori neofungsionalisme  diorganisasikan secara longgar, yaitu diorganisasikan di seputar logika umum dan memiliki sejumlah ‘cabang’ dan ‘variasi’ yang agak otonom pada tingkat dan domain empiris yang beragam, bisa bersifat makro dan mikro.

Jadi, teori neofungsionalisme, bagi Alexander dan Colomy, bukan hanya sekedar ‘elaborasi’ atau ‘revisi’ terhadap teori fungsional struktural Parsons dan Merton, tetapi lebih sebagai  ‘rekonstruksi  dramatis’ terhadap teori fungsional struktural, karena antara teori fungsional struktural dengan neofungsional pada aspek-aspek tertentu mempunyai perbedaan yang mendasar. Jadi, Alexander dan Colomy nampak memadukan fungsionalisme struktural dengan ide-ide teori pertukaran, interaksionisme simbolik, pragmatisme, fenomenologi. (Hamilton, 1990; Ritzer dan Goodman, 2004).

DAFTAR PUSTAKA

Arifin, 2011. Diktat Kuliah : Konsep Sistem Sosial dan Budaya. Malang

Pemikiran George Homans Tentang Fenomena Sosial

Beberapa pokok pikiran Sosiolog George Homans, tentang fenomena sosial budaya antara lain: Pertama, setiap kehidupan kelompok merupakan suatu sistem, dalam suatu sistem terdapat elemen-elemen yang saling kait-mengkait (fungsional). Elemen-elemen dalam suatu sistem (fungsional) dapat dianalisis dari aspek: (a) aktivitas anggota dalam kelompok; (b) interaksi antar anggota didalam kelompok, dan antar kelompok; (c) sentimen atau solidaritas terhadap kelompok; dan (d) norma yang dijadikan sebagai pedoman berperilaku dalam kehidupan kelompok yang sistemik. Semua elemen dalam sistem yang ada dalam kelompok membentuk piramida interaksi antar elemen (fungsional). Jadi, setiap elemen dalam sistem bersifat fungsional dalam proses perubahan-perubahan sosial-budaya.
Kedua, dalam sebuah sistem terdapat sistem internal dan sistem eksternal. Sistem internal memiliki lingkup tingkah laku individu dalam kelompok, sedangkan sistem eksternal  adalah tingkah laku yang mewakili kelompok berkaitan dengan lingkungan, atau reaksi kelompok terhadap kondisi lingkungan. Hubungan antara  berbagai elemen yang ada dalam kelompok merupakan sistem sosial yang mempengaruhi sistem internal. Menurut Homans, bahwa: (a) ketergantungan dalam hubungan timbal balik akan mempengaruhi perasaan seseorang. Jika, interaksi sosial antar dua pihak sering dilakukan akan memunculkan perasaan suka (positif) pada masing-masing pihak, demikian juga sebaliknya; (b) ketergantungan timbal balik antara perasaan dan aktivitas. Seseorang akan merasakan perasaan orang lain melalui hubungan timbal balik, karena masing-masing pihak saling merasakan manfaatnya. Hal ini akan mempengaruhi semua aktivitas dalam sistem eksternal; dan (c) penyandaran sebagai hasil hubungan, seringnya berinteraksi dengan pihak lain merupakan wujud dari aktivitas dan perasaan individu. Jadi, setiap sistem memiliki bagian-bagian sistem (subsistem) baik bersifat internal maupun eksternal.
Ketiga, norma sosial merupakan bagian dari budaya terpenting (dasar) dalam sebuah kelompok sebagai suatu sistem. Setiap elemen/ anggota/ subsistem dalam proses aktivitas dan interaksinya berdasarkan norma sosial. Sistem internal dan  sistem eksternal dalam proses aktivitas kelompok saling berkaitan, Homans mengistilahkan ‘pengaruh arus balik’. Jadi, semua aktivitas dalam sistem tersebut berdasarkan pada norma yang berlaku dalam kelompok.
Keempat, Homans berpendapat, ada elemen dasar dalam aktivitas kelompok sebagai sistem yang terintegrasi (fungsional), antara lain: (1) ketergantungan timbal balik dan sentimen, artinya seringnya hubungan timbal balik sesama anggota dalam kelompok, akan memperkuat perasaan pertemanan satu sama lain (kuatnya hubungan antar elemen); (2) perasaan dan aktivitas, artinya perasaan pertemanan yang kuat dalam kelompok sebagai suatu sistem akan diekspresikan melalui beragam aktivitas kerja dalam sistem; dan (3) aktivitas dan interaksi, artinya seseorang yang sering berinteraksi dengan orang lain melalui beragam aktivitas, tidak terbatas hanya pada orang yang sering berinteraksi, tetapi juga pada orang lain yang kurang berinteraksi (Bachtiar, W. 2006).
Kelima, bagi Homans, manusia dalam melakukan beragam tindakan di masyarakat didasarkan kepada rasionalitas. Setiap tindakan diperhitungkan nilai fungsinya, atau imbalannya atau pertukaran yang dia peroleh dari tindakan. Oleh karena itu G. Homans termasuk salah satu pendukung teori pertukaran. Proses pertukaran dalam kehidupan sosial (masyarakat) melibatkan aspek ‘kegiatan’, ‘interaksi’ dan ‘sentimen’ secara integral. Disintegrasi kelompok akan terjadi apabila proses pertukaran dalam kehidupan kelompok tidak terjadi dengan baik. Dalam proses pertukaran dalam kelompok, terjadi saling interaksi, pengaruh, penyesuaian, persaingan, pencarian penghargaan, keadilan, kedudukan dan inovasi-inovasi, untuk memperoleh keuntungan psikis dalam pertukaran imbalan dan hukuman yang terjadi dalam kehidupan kelompok. Menurut  Homans, bahwa semua struktur sosial terbentuk dari proses pertukaran yang sama. Agar terjadi hubungan yang kuat antara proses pertukaran dasar dengan pola organisasi sosial yang bersifat kompleks, maka menurut Homans diperlukan proses ‘institusionalisasi’ (melembagakan atau menjadikan nilai-norma sebagai pola dalam organiasasi secara ajek) (Turner, J.H., 1982).
Meskipun analisis atau pandangan G. Homans tentang beragam fenomena sosial telah banyak pengaruhnya terhadap khasanah wacana teori-teori sosial, sosiolog dan teoritikus Tunner, J.H. (1992) memberikan beberapa analisis kritik terhadap beberapa sisi kelemahan sudut pandang Homans, antara lain: (a) pandangan Homans terlalu menekankan aspek positivistis dalam mencermati keterlibatan individu dalam proses-proses sosial, hal ini tentu tidak bisa dijadikan sebagai pedoman dalam memahami fenomena sosial yang sangat dinamik dan kompleks; (b) konsep atau prinsip tentang ‘pertukaran’ sebagai unsur dasar dalam mewarnai setiap kegiatan kelompok atau organisasi kelompok memiliki banyak kelemahan, karena dalam realitasnya unsur pertukaran bukan satu-satunya unsur terpenting dalam ‘proses institusionalisasi’; dan (c) gagasan atau pandangan Homans tentang ‘konsep pertukaran’, memunculkan permasalahan metodologis dalam studi fenomena sosial di masyarakat.  

Uraian tersebut di atas memberikan pemahaman, bahwa paradigma organik (organisme) dan paradigma fungsionalis (fungsionalisme) mempunyai konsep pemahaman yang relatif sama dalam memandang tentang masyarakat, yaitu ‘bahwa masyarakat sebagai suatu kesatuan, atau masyarakat memiliki unsur-unsur atau elemen-elemen yang saling berhubungan’. Beberapa asumsi pokok pandangan paradigma organik dan fungsional tentang kehidupan sosial di masyarakat antara lain: (1) masyarakat adalah suatu sistem yang saling berhubungan dan bersifat organik; (2) sistem sosial ini berkembang sejalan dengan kebutuhan-kebutuhan yang mendasarinya; (3) masyarakat mengalami perkembangan dari tradisional (non industrial) menuju masyarakat industri dan modern (bersifat evolusi); (4) struktur sosial terdiri atas struktur normatif masyarakat yang berlandaskan sistem pembagian kerja yang mengikutinya; dan (5) secara umum sistem sosial dibagi menjadi dua aspek, yaitu struktur sosial (masyarakat statis) dan perubahan sosial (masyarakat dinamik) (Kinloch, G. 205).         

Kajian Fenomena Sosial Budaya Berbasis Teori Evolusi

a.    Pandangan A. Comte (1798-1857) tentang ‘tahap-tahap perkembangan manusia dan masyarakat’ yang dikenal dengan hukum tiga tahap perkembangan, yaitu: Tahap teologik (fiktif); Tahap metafisik (abstrak);  dan Tahap positif (riel) (Mannheim, 1959; Wibisono, 1983; Laeyendecker, 1991). Pandangan Comte inilah yang menjadi acuan para teoritisi evolusionis berikutnya (Inkeles, 1964; Giddens, 1985).
b.    Pandangan Herbert Spencer (1820-1903) tentang ‘evolusi masyarakat dari pola sederhana menuju yang rumit dan kompleks, dari homogen (homogeneity) ke heterogen (heterogeneity)’ (Etzioni, 1973; Rossides, 1978).
c.    Karl Marx (1818-1883), tentang ‘evolusi masyarakat menuju masyarakat komunis tanpa kelas dengan padangan historis materialism’; (Rose, 1963; Mutahhari, 1986).
d.   Max Weber (1864-1920), tentang the role of ideas in history. Bagi Weber setiap individu terdapat potensi rasional untuk meraih tujuan, yang terdiri dari empat macam yaitu: traditional rationality, value oriental rationality, effective rationality, dan purposive rationality atau rationality instrumental. Keempatnya dapat berdiri sendiri, tetapi juga simultan yang secara bersama menjadi acuan perilaku masyarakat, dan tindakan yang paling utama adalah tindakan rationality instrumental (Wrong, 1970; Johnson,D.P., 1981; Laeyendecker, 1991).

e.    Pitirim A Sorokin (1889-1968), bahwa: Perubahan sosial-budaya bisa disebabkan oleh faktor internal dan eksternal; Pendekatan historis (historical approach) dalam studi perubahan sosial adalah sangat penting; dan Metode logika penuh arti yang terintegrasi dalam budaya (logico meaningful integration of culture) akan menghasilkan  tiga sistem sosiokultural (supersistem), yaitu: sistem ideasional; sistem inderawi; dan sistem campuran. Sejarah sosiokultural merupakan siklus yang bervariasi antara ketiga supersistem yang mencerminkan kultur ‘agak’ homogen (Green, 1972; Rossides, 1978; Campbell, 1981). Masih banyak teoritukus yang berpandangan evolusi, diantaranya: Oswald Spengler; Ferdinan Toennies; Vilfredo Pareto; Emile Durkheim, dan Alex Inkeles. Pembahasan lebih lanjut tentang perubahan sosial-budaya dalam perspektif teoritis akan diuraikan pada bab berikutnya. 

Unsur - Unsur budaya

Unsur-unsur budaya universal tersebut ada tujuh, yaitu: (1) Sistem religi atau sistem kepercayaan. Setiap kehidupan masyarakat dimanapun di dunia ini pasti mengenal sistem regili dan upacara keagamaan atau sistem keyakinan pada kekuatan ’supra natural’. Pada kelompok masyarakat yang berideologi komunis sejatinya secara personal tetap mengakui adanya kekuatan dahsyat diluar diri manusia (supra natural), hanya cara merasakan dan menyatakan adanya kekuatan supra natural  tersebut berbeda dengan orang-orang Islam, Kristen,  Katholik, Hindhu, Budha, dsb. (2) Sistem organisasi kemasyarakatan. Setiap masyarakat dimanapun akan mengembangkan pola-pola organisasi sosial kemasyarakat, yang berbentuk pola-pola aktivitas sosial dalam kelompok-kelompk di masyarakat yang berdasarkan adat istiadat yang berlaku; (3) Sistem pengetahuan. Setiap masyarakat dimanapun pasti mengembangkan sistem pengetahuan, baik menyangkut pengetahuan alam, sosial atau pengetahuan humaniora. Semakin maju kehidupan suatu masyarakat semakin kompleks sistem ilmu pengetahuan yang dikembangkan; (4) Bahasa. Setiap masyarakat dimanapun akan mengembangkan bahasa sebagai media komunikasi selama proses interaksi sosial, baik bahsa simblik maupun non-simbolik; (5) Kesenian.  Setiap masyarakat dimanapun akan mengembangkan kesenian sesuai dengan kondisi tantangan atau situasi yang dihadapi sehari-harai pada lingkungan tempat tinggalnya, misalnya, masyarakat agraris akan mengekspresikan potensi seninya (baik seni rupa, seni tari, seni bangun, dsb) sesuai dengan alam lingkungan agraris, dsb.; (6) Sistem mata pencaharian hidup. Setiap masyarakat dimanapun akan mengembangkan sistem mata pencahariaan hidup, misalnya pertanian, nelayan, pertukangan, industri, profesi tertentu, dsb.; dan (7) Sistem teknologi, yaitu sistem peralatan atau benda-benda sebagai sarana dalam melakukan aktivitas tertentu di masyarakat.
Setiap unsur-unsur budaya universal (cultural universals) tersebut dapat dibagi menjadi unsur-unsur budaya yang lebih kecil. Misalnya, sistem mata pencaharian hidup (cultural universal), dapat dibagi kedalam unsur-unsur budaya yang lebih kecil (bagian dari cultural universal  yang disebut ‘aktivitas budaya setempat’ (cultural activity), misalnya: mata pencaharian pertanian; mata pencaharian nelayan, dsb. Dari unsur budaya cultural activity ini juga dapat dibagi menjadi unsur-unsur budaya yang lebih kecil yang disebut ‘Traits complex’, misalnya, mata pencaharian pertanian, dibagi menjadi: sistem bercocok tanam di sawah, sistem berkebun, dsb. Dari  Traits complex ini juga dapat dibagi menjadi beberapa unsur yang lebih kecil yang disebut  ‘Traits’, misalnya: bagian dari sistem bercocok tanam di sawah adalah: membajak, memanem padi, dsb. Dari Traits ini juga dapat dibagi menjadi unsur yang paling kecil yang disebut ‘Items’ (unsur terkecil yang tidak bisa dibagi lagi), misalnya, dari membajak, maka items-nya adalah:  kayu, paku dsb. Jadi, ketujuh unsur budaya universal tersebut mempunyai sub unsur dari cultural activity sampai ke items.
Menurut R. Linton (1963), setiap unsur-unsur budaya universal tersebut mempunyai tiga wujud budaya (wujud sistem budaya; wujud sistem sosial; dan wujud sistem teknologi), yang masing-masing wujud budaya dari ketujuh unsur budaya universal tersebut mempunyai empat bagian yang lebih kecil. Contoh, untuk unsur budaya universal dari ‘sistem mata pencaharian hidup’, adalah: (1) wujud sistem budaya adalah berupa ‘adat istiadat’. Dari adat istiadat ini dibagi menjadi beberapa bagian yang lebih kecil berupa ‘kompleks budaya’. Dari kompleks budaya ini bagi lagi menjadi beberapa ’tema budaya’. Dari tema budaya ini dibagai menjadi beberapa ‘gagasan’’; (2) wujud sistem sosial adalah berupa ‘aktivitas sosial’. Dari aktivitas sosial ini dibagi menjadi beberapa bagian yang lebih kecil berupa ‘kompleks sosial’. Dari kompleks sosial ini bagi lagi menjadi beberapa ’pola sosial’. Dari pola sosial ini dibagai menjadi beberapa ‘tindakan’’; (3) wujud teknologi, yaitu semua berupa benda kebudayaan.
DAFTAR PUSTAKA

Arifin, 2011. Diktat Kuliah : Konsep Sistem Sosial dan Budaya. Malang

Konsep Kebudayaan Sebagai Suatu Sistem

  Dalam khasanah kajian ilmu pengetahuan sosial-budaya telah dijumpai beragam definisi tentang kebudayaan. Keberagaman definisi tentang kebudayaan tersebut disebabkan oleh: Keberagaman orientasi filosofis-teoritis para ahli dalam memahami hakikat kebudayaan; dan adanya keberagaman disiplin keilmuan yang dimiliki oleh masing-masing peminat studi kebudayaan. Bahkan pada tahun 1952 sudah ada seorang antropolog A.L. Kroeber dan C. Kluckhohn yang menulis buku dengan judul ’Culture, A Critical Review of Concepts and Definitions’, dalam buku tersebut dijelaskan paling sedikit ada 160 buah definisi tentang kebudayaan, kemudian mereka menganalisis dari segi latar belakang, prinsip, dan tipe atau intinya (Koentjaraningrat, 1989).

  Kata ‘kebudayaan’ adalah berasal dari bahasa sanskerta ‘buddhayah’ (buddhi/ budi atau akal dan daya atau kekuatan). Jadi, dalam arti bahasa ‘kebudayaan’ merupakan suatu hasil cipta, rasa dan karsa manusia dalam proses kehidupannya. Kebudayaan sebenarnya mempunyai arti yang sangat luas, tidak hanya sebatas konsep tentang hal-hal yang indah, seperti bangunan-bangunan arsitektur (candi, masjid, pura dsb); seni rupa, seni tari, seni suara atau kesusatraan, tetapi meliputi seluruh hasil cipta, rasa dan karsa manusia sepanjang usia hidupnya untuk memenuhi beragam kebutuhan hidup, baik secara individu atau kelompok (Gazalba, S.,1967) Dalam bahasa inggris kata kebudayaan adalah culture, yang berarti ‘segala daya upaya serta tindakan manusia untuk merubah alam.

  Kemudian apakah perbedaan makna ‘kebudayaan’ (culture) dengan ‘peradaban’ (civilization)?. Kebudayaan mempunyai makna yang lebih luas dari pada peradaban. Dalam beberapa kajian tentang kebudayaan, istilah peradaban (civilization) sering digunakan untuk menyebut bagian atau unsur-unsur dari karya budaya yang bersifat indah, halus dan maju. Contohnya: bangunan candi Borobudur; Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi ruang angkasa dan kemajuan Iptek bidang pertanian, kedokteran dan sebagainya; Keagungan seni rupa atau seni pahat; Kesusastraan; Pelaksanaan demokrasi dan hak azasi yang baik dalam suatu negara, dan sebagainya. Jadi, peradaban sebenarnya merupakan bagian dari kebudayaan yang mengandung unsur-unsur kemajuan (membanggakan), baik yang bersifat fisik maupun non fisik (Gazalba, S.,1967). 

Berdasarkan uraian singkat di atas, maka dapat disimpulkan bahwa pengertian kebudayaan adalah ‘seluruh sistem ide (gagasan atau cita-cita) yang ada dalam pikiran manusia, dan seluruh tindakan sosial dalam kehidupan sehari-hari serta seluruh hasil karya fisik manusia (sistem teknologi) yang diperoleh melalui proses pembelajaran, dalam rangka pemenuhan beragam kebutuhan hidup baik secara individu atau kelompok’. Berdasarkan kesimpulan definisi tentang kebudayaan tersebut, maka hakikat suatu kebudayaan itu mempunyai tiga wujud budaya, yaitu: (a) wujud ide atau gagasan atau cita-cita (sistem budaya); (b) wujud kelakuan berpola atau sistem tindakan sehari-hari (sistem sosial); dan (c) wujud teknologi atau peralatan (sistem teknologi). Jadi, hakikat makna kebudayaan itu mempunyai lingkup pengertian yang sangat luas, yaitu: (a) merupakan seluruh cipta, rasa dan karsa manusia yang sangat beraneka ragam potensi atau kemampuannya; (b) diperoleh dan diwariskan kepada generasi penerus melalui proses pembelajaran (bukan melalui kelahiran atau keturunan); (c) dijabarkan atau diwujudkan dalam bentuk gagasan, kelakuan atau kebiasaan-kebiasaan atau tata cara dan peralatan hidup;  (d)  bersifat dinamik dalam proses kehidupan kemasyarakatan diberbagai bidang dan bersifat nisbi atau relatif (Liliweri, A., 2003).

  Kedua, wujud kebudayaan. Menurut Koentjaraningrat (1982), pada dasarnya suatu kebudayaan itu mempunyai tiga wujud, yaitu: (1) wujud kebudayaan dalam bentuk kompleks ide, gagasan, nilai-nilai, cita-cita dan kemauan; (2) wujud kebudayaan dalam bentuk kompleks kelakuan berpola atau tata cara, atau kebiasaan sehari-hari; dan (3) wujud kebudayaan dalam bentuk fisik atau peralatan (sistem teknologi).
Wujud budaya ide atau gagasan ini sering disebut dengan ‘sistem budaya’. Sedangkan ciri-ciri wujud budaya ide adalah: (a) bersifat abstrak, sulit diraba dan dilihat bentuknya; (b) tempatnya ada di alam pikiran individu atau warga masyarakat; (c) menjadi acuan atau pedoman individu dalam bertingkah laku sehari-hari. Oleh karena itu wujud budaya ide atau gagasan sering dijadikan sebagai ’pedoman hidup’; dan (d) relatif lebih sulit untuk mengalami perubahan, apalagi wujud budaya ide tersebut sudah menjadi pandangan hidup warga masyarakat. Contoh wujud budaya ide atau gagasan yang bersifat ’kolektif’ adalah: nilai-nilai luhur Pancasila; Undang-Undang Dasar 1945 dan aturan perundangan atau hukum lainnya; Tujuan  pembangunan nasional; Visi dan missi suatu organisasi sosial, politik ekonomi dan sebagainya. Sedangkan contoh wujud budaya ide atau gagasan yang bersifat ’individu’ adalah: tujuan, cita-cita, keinginan, dan motivasi seseorang untuk melakukan sesuatu tindakan tertentu atau untuk meraih prestasi di bidang tertentu.

  Wujud budaya dalam bentuk kompleks kelakuan berpola sering disebut sebagai ’sistem sosial’. Sedangkan ciri-ciri sistem sosial (wujud budaya kelakukan berpola) adalah: (a) bentuknya lebih kongkrit dari pada wujud budaya ide atau gagasan; (b) merupakan penerapan atau perwujudan dari budaya wujud ide, yang berbentuk tata cara atau tingkah laku seseorang dalam kehidupan sehari-hari di masyarakat; (c) relatif mudah berubah, terutama yang berbentuk kebiasaan-kebiasaan sehari-hari dalam model berpakaian, berinteraksi sosial; dan (d) bisa diobservasi atau diamati pola-pola kegiatan sehari-hari dalam memenuhi beragam kebutuhan hidupnya. Contoh wujud budaya kelakuan berpola (sistem sosial) adalah: (a) wujud budaya ide dalam bentuk ’ingin melakukan pernikahan’, maka wujud kelakukan berpola (sistem sosial) adalah; rangkaian tahap-tahap kegiatan dalam upacara perkawinan; (b) wujud budaya ide dalam bentuk ’tujuan ingin mewujudkan pelaksanaan demokrasi  dalam pemilu yang Luber’, maka wujud kelakuan berpolanya adalah, beberapa rangkaian kegiatan pencoblosan di TPS oleh para pemilih dan panitia secara Luber. Jadi, perwujudan dari wujud budaya kedua (kelakuan berpola) adalah selalu berorientasi pada wujud budaya pertama (sistem ide atau gagasan).
  Wujud budaya ketiga ini sering disebut ’sistem teknologi’, ciri-ciri wujud budaya sistem teknologi adalah: (a) sangat kongkrit, dapat dilihat dan di raba wujudnya, berupa peralatan atau benda; dan (b) paling mudah terjadi perubahan bentuk, karena bisa rusak. Bentuk wujud budaya teknologi bisa berupa bangunan rumah atau pabrik atau bangunan tempat ibadah atau peralatan hidup lainnya  dari yang paling besar sampai  yang paling kecil, misalnya paku atau baut. Ketiga wujud budaya tersebut dalam kehidupan sehari-hari, baik secara individu atau kelompok (masyarakat) saling mengkait atau merupakan suatu sistem. Uraian tentang kebudayaan sebagai suatu sistem akan dijelaskan pada uraian berikutnya.
Ketiga, unsur-unsur kebuadayaan. Setiap karya budaya selalu mempunyai tiga wujud budaya (wujud ide, wujud kelakuan berpola, dan wujud teknologi), dalam aktifitas manusia sehari-hari ketiga wujud budaya tersebut saling berhubungan timbal balik (Kroeber (ed), 1953). Demikian juga setiap karya budaya suatu masyarakat mempunyai unsur-unsur budaya, dari unsur-unsur budaya yang mempunyai ruang lingkup luas sampai unsur-unsur budaya yang mempunyai ruang lingkup sangat kecil.

  Menurut antropolog C. Klukckhon dalam Kroeber (1953), bahwa karya budaya manusia itu mempunyai unsur-unsur budaya yang selalu dijumpai disetiap kehidupan masyarakat dimanapun di dunia ini, unsur-unsur budaya tersebut disebut ’unsur-unsur budaya universal’ (cultural universals), sedangkan menurut Koentjaraningrat (1982), bahwa unsur-unsur budaya universal tersebut disebut juga sebagai ’isi kebudayaan’. Isi kebudayaan ini selalu dijumpai disetiap kehidupan manusia, baik pada masyarakat terisolir sampai pada masyarakat metropolis (perkotaan modern). 

DAFTAR PUSTAKA

Arifin, 2011. Konsep Sistem Sosial dan Budaya. Malang

Landasan Ilmu Pengetahuan

Menurut Jujun S. Suriasumantri (1996), bahwa semua ilmu pengetahuan sosial-budaya dan ilmu pengetahuan alam, pada dasarnya memiliki tiga landasan utama, yaitu: Pertama, Ontologi, yaitu membahas tentang hakikat objek yang dikaji atau membahas tentang apa yang ingin diketahui atau merupakan suatu kajian mengenai teori tentang hakikat ada. Berdasarkan objek yang telah ditelaahnya, maka ilmu dapat disebut sebagai pengetahuan empirik (nyata) yang berbeda dengan agama. Aspek ontology inilah yang membedakan antara objek disiplin ilmu pengetahuan satu dengan ilmu pengetahuan  lainnya.

Kedua, Epistemologi, yaitu membahas secara mendalam proses atau prosedur dalam memperoleh ilmu pengetahuan atau suatu ilmu pengetahuan yang diperoleh melalui proses tertentu yang dinamakan metode keilmuan. Diantara metode keilmuan adalah bersifat terbuka, objektif, logis dan menjunjung kebenaran data di atas segala-galanya. Pada aspek epistemologi inilah letak kegiatan dari penelitian ilmiah (scientific research).

Ketiga, Aksiologi, yaitu membahas tentang manfaat (pragmatis) yang diperoleh dari pengetahuan bagi kehidupan manusia, atau bagaimana keterkaitan antara pengetahuan dengan kaidah-kaidah moral dalam kehidupan di masyarakat.  Jadi, aspek aksiologi lebih menyangkut dimensi fungsional suatu ilmu pengetahuan bagi kehidupan. Menurut para ahli fungsi ilmu pengetahuan antara lain (a) fungsi praktis, yaitu melakukan penyingkapan, mempelajari fakta, memajukan pengetahuan guna melakukan berbagai perbaikan; (b) menetapkan hukum-hukum umum yang meliputi perilaku kejadian dan objek oleh ilmu yang bersangkutan, sehingga dapat mengkaitkan antara ilmu pengetahuan dengan beragam kejadian untuk membuat prediksi ke depan secara benar, sehingga mempunyai manfaat yang tinggi bagi kehidupan (Kerlinger, F., 2002). Jadi, untuk membedakan jenis ilmu pengetahuan sosial satu dengan yang lain dapat dilihat dari tiga aspek yaitu: Ontologi, Epistemologi dan Aksiologi.

Sedangkan tujuan ilmu pengetahuan, baik ilmu pengetahuan sosial-budaya dan ilmu pengetahuan alam  meliputi: (1) tujuan dasar ilmu, yaitu menjelaskan fenomena-fenomena kehidupan, baik fenomena sosial  atau alam secara sistematis, objektiv, logis atau rasional; (2) tujuan lebih khusus, yaitu memberikan penjelasan, pemahaman, prediksi atau peramalan dan kontrol atau pengendalian. (Kerlinger, F., 2002); dan (3) untuk memahami fenomena alam dan sosial secara objektif (menurut apa adanya, bukan menurut apa seharusnya), sistematis, dan terbuka untuk diuji kembali melalui proses penelitian ilmiah (Hooever, 1980).

Berdasarkan uraian di atas maka beberapa konsep penting yang dapat dipahami tentang hakikat ilmu pengetahuan (science), baik ilmu pengetahuan sosial-budaya maupun ilmu pengetahuan alam adalah: (1) science dimulai dari kesangsian atau keragu-raguan terhadap beragam fenomena hidup, tidak dimulai dari kepastian seperti dalam ajaran agama; (2) science tidak bersinggungan dengan hal-hal yang gaib, melainkan berkaitan dengan data-data empirik; (3) penjelasan  science bersifat detail, sistematis, objektif dan praktis tentang beragam fenomena hidup, baik sosial-budaya maupun alam; (4) kebenaran science bersifat relatif, berubah dari waktu ke waktu tergantung pada hasil penelitian ilmiah berikutnya (Agus, B., 1999). Menurut Comte dalam Wibisono, K., (1983), bahwa perkembangan pola pemikiran manusia atau masyarakat adalah melalui tiga tahap, yaitu dari tahap teologis (fiktif), kemudian berkembang ketahap metafisik (abstrak) dan terakhir ke tahap positif, dan pada tahap positif inilah letak perkembangan ilmu pengetahuan (science); (5) kebenaran science terbuka bagi siapapun untuk menguji ulang dan membuka kesempatan bagi siapapun untuk menolak atau bahkan merevolusi ilmu pengetahuan atau teori yang telah ada (Kuhn, T., 1970); dan (6) kebenaran pandangan science tergantung pada orientasi filosofis yang dijadikan pedoman dalam pengembangan teori-teori science dan metode penelitiannya, misalnya makna kebenaran teori ilmu pengetahuan yang berorientasi filosofis positivisme, rasionalisme akan berbeda interpretasinya dengan teori ilmu pengetahuan yang berorientasi filosofis idealisme, konstruktivisme (Suriasumantri, J.S. 1996; Keraf.S dan Dua, M.,2001). Sesuatu dianggap benar menurut paham positivisme adalah ‘sesuatu itu harus ada kesesuaian dengan proposisi, teori, dalil, hipotesis sebelumnya’, hal ini dikenal dengan istilah kebenaran koherensi, dan pendekatan penelitiannya adalah penelitian kuantitatif. Sedangkan sesuatu dianggap benar menurut paham konstruktivisme atau interpretatif adalah ‘sesuatu itu harus sesuai dengan realitas atau fakta-fakta dalam kehidupan sehari-hari (kenyataan empiris) atau dikenal dengan kebenaran korespondensi’, dan pendekatan penelitiannya adalah penelitian kualitatif.

DAFTAR PUSTAKA

Arifin, 2011. Diktat Konsep Sistem Sosial dan Budaya. Malang

Hakikat Ilmu Pengetahuan Sosial Budaya

Manusia dalam hidup diberi kemampuan untuk memaksimalkan potensi cipta, rasa dan karsanya dalam rangka proses pemenuhan aneka macam kebutuhan hidup baik secara individu atau kelompok. Salah satu bagian yang paling penting dalam proses kehidupan manusia adalah kebutuhan mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi. Apabila dicermati secara mendalam, maka sebenarnya semua aktivitas hidup manusia di masyarakat tidak bisa lepas dari kontribusi perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, yang merupakan produk sejarah kehidupan manusia itu sendiri. Dengan ilmu pengetahuan yang dimiliki, manusia selalu ingin mencari kebenaran, kebahagiaan, selalu ingin melakukan perubahan dalam berbagai aspek kehidupan dan dengan ilmu pengetahuan manusia merasa tidak puas terhadap karya budaya yang telah dimiliki, selalu ingin melakukan inovasi atau pembaharuan kehidupan.  Oleh karena itu tidak ada masyarakat di dunia ini yang tidak berubah, perubahan sosial-budaya adalah suatu keniscayaan di masyarakat (Appelbaum, R.P. 1970; Lauer, R.H. 1978; Sztompka, P., 2004). Sejatinya inti kualitas kehidupan manusia adalah terletak pada kemampuan dalam menggunakan ilmu pengetahuan dan teknologinya untuk melakukan perubahan demi perubahan dalam berbagai aspek kehidupan yang lebih baik.

Menurut Suriasumantri, J.S., (1996), bahwa dilihat dari hakikat usaha mencari kebenaran, sebenarnya pengetahuan dapat dibedakan menjadi dua jenis, yaitu: (1) pengetahuan yang didapat dari hasil usaha aktif manusia, baik melalui penalaran ilmiah maupun melalui perasaan intuisi; dan (2) pengetahuan yang didapat bukan dari usaha manusia, yaitu dari wahyu Tuhan melalui para Malaikat dan Nabi.  Hakikat penalaran ilmiah adalah merupakan gabungan dari penalaran deduktif dan penalaran induktif. Penalaran atau logika deduktif berorientasi pada pandangan positivisme atau rasionalisme, sedangkan penalaran atau logika induktif berorientasi pada pandangan konstruktivisme atau empirisme atau interpretatif (Kattsoff, L.O., 1996). Penalaran deduktif adalah berpijak dari teori/ dalil ke contoh, sedangkan penalaran induktif adalah berpijak dari contoh ke teori atau dalil. Logika deduktif merupakan pola berpikir untuk mencari ilmu dari prinsip, teori ke contoh atau dari dalil ke contoh, sedangkan logika induktif adalah pola berpikir untuk mencari ilmu dari contoh ke dalil atau dari fakta-fakta khusus ke prinsip umum (Kerlinger, 2002; Sukardi, 2004). 

DAFTAR PUSTAKA

Arifin, 2011. Diktat Konsep Sistem Sosial dan Budaya. Malang