Jumat, 25 Desember 2015

Elite Politik Lokal

Politik lokal yang menghasilkan suatu dinamika politik lokal yang naik turun salah satunya dipengaruhi oleh elite politik lokal. Sebelum melangkah lebih jauh ke elite politik lokal, terlebih kita memahami konsep elite politik terlebih dahulu.
Elite politik yang dimaksud adalah individu atau kelompok elite yang memiliki pengaruh dalam proses pengambilan keputusan politik.

Suzanne Keller mengelompokkan ahli yang mengkaji elit politik ke dalam dua golongan. Pertama, ahli yang beranggapan bahwa golongan elite itu adalah tunggal yang biasa disebut elit politik (Aristoteles, Gaetano Mosca dan Pareto). Kedua, menurut Saint Simon, Karl Mainnheim, dan Raymond Aron yang beranggapan bahwa ada sejumlah kaum elit yang berkoeksistensi, berbagi kekuasaan, tanggung jawab, dan hak-hak atau imbalan.. Adapun elite politik lokal berarti mereka yang menduduki posisi sebagai pengambil keputusan politik di daerah.

Dalam konteks penyelenggaraan pemerintahan daerah, menarik untuk mencermati keberadaan dan peran elit politik lokal. Tumbangnya rezim Orde Baru menghadirkan ruang yang lebih luas bagi elit politik lokal untuk mengekspresikan keberadaan dan perannya yang sebelumnya terkungkung dominasi pemerintah.

Mengutip dari teori elit dimana setiap masyarakat terbagi dalam dua kategori yang luas yang mencakup : (a) sekelompok kecil manusia yang berkemampuan dan karenanya menduduki posisi untuk memerintah; dan (b) sejumlah besar massa yang ditakdirkan untuk diperintah. Maka kajian mengenai elit di daerah dapat dibagi menjadi dua jenis, yaitu elit politik lokal dan elit non-politik lokal.

Elit politik lokal sendiri merupakan seseorang yang menduduki jabatan jabatan politik (kekuasaan) di eksekutif dan legislatif yang terpilih melalui pemilihan umum dan dipilih dalam proses politik yang demokratis di tingkat lokal. Mereka menduduki jabatan politik tinggi di tingkat lokal yang membuat dan menjalankan kebijakan politik. Elit politik contohnya seperti : gubernur, bupati, walikota, Ketua DPRD, anggota DPRD, dan pemimpin pemimpin partai politik di daerah.

Sedangkan elit non-politik lokal adalah seseorang yang menduduki jabatan jabatan strategis dan mempunyai pengaruh untuk memerintah orang lain dalam lingkup masyarakat. Elit non-politik ini seperti : elit keagamaan, elit organisasi kemasyarakatan, kepemudaan, profesi, dan lain sebagainya. Perbedaan tipe elit politik lokal ini diharapkan selain dapat membedakan ruang lingkup mereka, juga dapat memberikan penjelasan mengenai hubungan antar elit politik maupun elit masyarakat dalam dinamika politik di daerah.

Menariknya berbicara mengenai elit politik dari masa ke masa, terjadi pergeseran kekuasaan sedikit jika Pemerintah Daerah era orba lebih elit politik lokal lebih sering memainkan peran untuk mewujudkan kepentingan pemerintah pusat ketimbang merealisasikan kepentingan dan kebutuhan daerah. Namun seiring tumbangnya rezim Orde Baru menghadirkan ruang yang lebih luas bagi elit politik lokal untuk mengekspresikan keberadaan dan perannya yang sebelumnya terkungkung dominasi pemerintah.

Melemahnya peran negara yang diikuti dengan berkembangnya situasi kondusif bagi demokratisasi, menjadikan elit politik lokal berupaya secara mandiri untuk tetap dapat survive. Elit politik lokal harus mampu membangun pijakan baru sebagai basis kekuasaannya untuk menopang posisinya, hal ini karena mereka tidak mungkin lagi menyandarkan diri pada negara yang semakin lemah kontrolnya.

Minggu, 26 April 2015

Landasan Hukum dan Syarat Sewa Menyewa

Sewa menyewa dalam hukum islam diatur berdasarkan Firman Allah pada Al Quran Surat Al Baqarah ayat 233 yang artinya Dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut. Bertaqwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah mengetahui apa yang kamu perbuat. Pada Firman lain Allah SWT juga mengatur bagaimana hukum dari sewa menyewa, dalam QS Al Kahfi 77 Allah berfirman Maka keduanya berjalan, hingga keduanya sampai kepada penduduk suatu negeri, mereka minta dijamu oleh penduduk negeri itu tetapi penduduk negeri itu tidak mau menjamu mereka, kemudian keduanya mendapatkan dinding rumah yang hamper roboh di negeri itu, maka Khidr menegakkan dinding itu. Musa berkata : Jikalau kamu mau niscaya kamu mengambil upah untuk itu.

Selain dari Al Quran, Rasulullah Saw melalui hadistnya juga sudah mengatur landasan hukum sewa menyewa sebagaimana yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim dari Ibnu Abbas ra bahwa Nabi Muhammad Saw mengemukakan Berbekamlah kamu, kemudian berikanlah olehmu upahnya kepada tukang bekam itu. Di riwayat lain disebutkan Sesungguhnya Rasulullah Saw pernah berbekam kepada seseorang dan beliau memberi upah tukang bekam itu. (HR Bukhari Muslim).

Pada konstitusi Negara Indonesia juga telah diatur mengenai landasan hukum sewa menyewa yang merupakan kategori jenis hukum perdata. Pada Kitab Undang Undang Hukum Perdata (KUHP) sewa menyewa dijelaskan dari pasal 1548 sampai pasal 1600. Sewa menyewa yang diatur dalam KUHP ini berupa penyewaan rumah dan penyewaan tanah pada pasal 1550 1580, sewa rumah dan perabotannya pada Pasal 1581 1587, serta sewa tanah mulai pasal 1588 hingga 1600.

Dalam beberapa hal tentu adanya syarat atau ketentuan bagaimana hal itu dapat dijalankan, begitupun ketika mengacu pada sewa menyewa ada beberapa syarat yang harus dipenuhi supaya dapat sah sesuai ketentuan yang berlaku. Menurut ajaran islam sewa menyewa atau ijarah mempunyai status hukum boleh dilakukan dengan syarat syarat.

Adapun syarat syarat sewa menyewa atau ijarah sebagai berikut
1. Masing masing pihak rela untuk melakukan perjanjian sewa menyewa.
Maksudnya kalau di dalam perjanjian sewa menyewa itu terdapat pemaksaan, maka sewa menyewa itu tidak sah. Ketentuan ini sejalan dengan bunyi QS An Nisa ayat 29 yang artinya Hai orang orang yang beriman janganlah kamu saling memakan harta sesama dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku suka sama suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu, sesungguhnya Allah Maha Penyayang kepadamu.
2. Harus jelas dan terang mengenai objek yang diperjanjikan.
Maksudnya disini objek sewa menyewa yaitu barang yang dipersewakan sendiri, termasuk juga masa sewa (lama waktu sewa menyewa berlangsung) dan besarnya uang sewa yang diperjanjikan.
3. Objek sewa menyewa dapat digunakan sesuai peruntukannya.
Maksudnya kegunaan barang yang disewakan itu harus jelas dan dapat dimanfaatkan oleh penyewa sesuai dengan peruntukannya (kegunaan) barang tersebut, seandainya barang tersebut tidak dapat digunakan sebagaimana yang diperjanjikan maka perjanjian sewa menyewa dapat dibatalkan.
Objek sewa menyewa dapat diserahkan.
4 .Maksudnya barang yang diperjanjikan dalam sewa menyewa harus dapat diserahkan sesuai dengan yang diperjanjikan, dan oleh karena itu kendaraan yang akan ada (baru rencana untuk dibeli) dan kendaraan yang rusak tidak dapat dijadikan sebagai objek sewa menyewa, sebab barang yang demikian tidak dapat mendatangkan kegunaan bagi pihak penyewa.
5. Kemanfaatan objek yang diperjanjikan adalah yang dibolehkan oleh agama.
Perjanjian sewa menyewa barang yang kemanfaatannya tidak dibolehkan oleh ketentuan hukum agama adalah tidak sah dan wajib untuk ditinggalkan, misalnya perjanjian sewa menyewa rumah yang mana rumah itu digunakan untuk kegiatan prostitusi atau menjual minuman keras serta tempat perjudian, demikian juga memberikan uang kepada tukang ramal.

Selain itu juga tidak sah perjanjian pemberian uang (ijarah) puasa atau shalat, sebab puasa dan shalat termasuk kewajiban individu yang mutlak dikerjakan oleh orang yang terkena kewajiban.

Pada perjalanannya barang yang disewakan sesuai perjanjian sewa menyewa merupakan tanggungjawab penyewa. Namun mengenai resiko barang yang dijadikan objek sewa menyewa dipikul oleh si pemilik barang (yang menyewakan). Hal ini disebabkan si penyewa hanya menguasai untuk mengambil manfaat dari barang yang dipersewakan, atau dengan kata lain pihak penyewa hanya berhak atas manfaat dari barang atau benda saja, sedangkan hak atas bendanya masih tetap berada pada pihak yang menyewakan.

Jadi apabila terjadi kerusakan terhadap barang yang menjadi objek perjanjian sewa menyewa, maka tanggungjawab pemiliknya sepenuhnya, si penyewa tidak mempunyai kewajiban untuk memperbaikinya, kecuali apabila kerusakan barang itu dilakukan dengan sengaja, atau dalam pemakaian barang yang disewanya, kurang pemeliharaan (sebagaimana lazimnya pemeliharaan barang seperti itu).

Selain itu tanggungjawab atas kondisi barang penyewa juga memiliki hak untuk menyewakan kembali suatu barang yang disewakan kepada pihak ketiga (pihak lain). Pihak penyewa dapat mengulang sewaan kembali, dengan ketentuan bahwa penggunaan barang yang disewa tersebut harus sesuai dengan penggunaan yang disewa pertama, sehingga tidak menimbulkan kerusakan terhadap barang yang disewakan.

Seandainya penggunaan barang itu tidak sesuai dengan yang diperjanjikan dengan pemilik barang, maka perbuatan mengulang sewaan tidak diperbolehkan. Hal ini karena melanggar perjanjian, dan dalam hal seperti ini pemilik barang dapat meminta pembatalan atas perjanjian yang telah diadakan.

Daftar Pustaka
Rasjid, Sulaiman. 1994 Fiqh Islam. Bandung : PT Sinar Baru Algensindo
Pasaribu, Chairuman & Lubis Suhrawardi. 1996. Hukum Perjanjian Dalam Islam. Jakarta : Sinar Grafika



Pengertian Sewa Menyewa

Sewa menyewa dalam bahasa Arab diistilahkan dengan Al Ijarah, menurut pengertian hukum islam sewa menyewa itu diartikan sebagai suatu jenis akad untuk mengambil manfaat dengan jalan penggantian.

Berdasarkan pengertian di atas terlihat bahwa yang dimaksud dengan sewa menyewa itu adalah pengambilan manfaat sesuatu benda, jadi dalam hal ini bendanya tidak berkurang sama sekali, dengan perkataan lain dengan terjadinya peristiwa sewa menyewa yamg berpindah hanyalah manfaat dari benda yang disewakan tersebut. Hal ini dapat berupa manfaat barang seperti kendaraan, rumah, dan manfaat karya seperti pemusik, bahkan dapat juga berupa karya pribadi seperti pekerja.

Pada pengertian lain sewa menyewa diartikan sebagai transaksi sewa menyewa antara pihak penyewa dengan yang mempersewakan sesuatu harta atau barang untuk mengambil manfaat dengan harga tertentu dan dalam waktu tertentu.

Sewa menyewa dalam konstitusi Negara Indonesia berdasarkan KUHP (Kitab Undang Undang Hukum Perdata) sebagaimana dalam pasal 1548. Sewa menyewa didefinisikan sebagai suatu persetujuan, dengan pihak yang satu mengikatkan diri untuk memberikan kenikmatan suatu barang kepada pihak yang lain selama waktu tertentu, dengan pembayaran suatu harga disanggupi oleh pihak tersebut terakhir itu. Orang dapat menyewakan berbagai jenis barang, baik yang tetap maupun yang bergerak.

Di dalam istilah hukum islam orang yang menyewakan disebut dengan muajjir, sedangkan orang menyewa disebut dengan mustajir, benda yang disewakan disebut dengan majur dan uang sewa atau imbalan atas pemakaian manfaat barang tersebut disebut dengan ajaran atau ujrah.

Sewa menyewa sebagaimana sebagaimana perjanjian lainnya adalah perjanjian yang bersifat konsensual, perjanjian ini mempunyai kekuatan hukum yaitu pada saat sewa menyewa berlangsung, dan apabila akad sudah berlangsung, maka pihak yang menyewakan (muajjir) berkewajiban untuk menyerahkan barang (majur) kepada pihak menyewa (mustajir) dan dengan diserahkan manfaat barang atau benda maka pihak penyewa berkewajiban pula untuk menyerahkan uang sewanya (ujrah).

Daftar Pustaka
Syarifuddin, Amir. 2003 Garis Garis Besar Fiqh. Jakarta : Prenada Media
Ali, Zainuddin. 2006 Hukum Perdata Islam di Indonesia. Jakarta : Sinar Grafika
Pasaribu, Chairuman & Lubis Suhrawardi. 1996. Hukum Perjanjian Dalam Islam. Jakarta : Sinar Grafika


Minggu, 15 Februari 2015