Memasuki bulan Agustus setiap setahun
sekali tepat diperingati momentum kemerdekaan Indonesia. Momentum yang memang
memiliki arti historis panjang di perjalanan Indonesia menjadi sebuah negara.
Tahun ini 67 tahun negeri kita ini bertambah usia, tak terasa usia yang semakin
tua jika ukurannya usia manusia pada umumnya. Namun di usia yang semakin tua
kematangan dan kedewasaan negara masih menjadi pekerjaan rumah dan mimpi semu
yang belum sepenuhnya terwujud. Kemerdekaan secara fisik masih mendominasi
keberadaan Indonesia saat ini di tengah hegemoni globalisasi dan negara asing.
Kemerdekaan memang telah kita raih dan
telah genap berumur 67 tahun namun secara tidak sadar penjajahan terus
berlangsung dalam kurun waktu tersebut. Penjajahan tersebut memang tak kasat
mata kita lihat, tapi terasa jika kita pandangi secara saksama. Kemiskinan
masih belum enggan keluar dari masalah negara Indonesia ini, belum lagi
dibarengi dengan semakin pesatnya pertumbuhan budaya korupsi, kolusi, dan
nepotisme juga menjadi masalah baru yang sebelumnya budaya korupsi tidak begitu
kental.
Korupsi, kolusi, dan nepotisme menjadi
tugas bersama untuk diberantas di tengah pekik teriakan merdeka. Sebagai negara
yang berlandaskan asas hukum hal ini mutlak untuk digalangkan. Betapa budaya
KKN telah menggerogoti badan negara kita bahkan hingga ke tingkat masyarakat
bawah alias rakyat biasa. Korupsi masih dianggap sebagai suatu hal yang
dianggap wajar ketika masyarakat memilih jalan pintas untuk menembus dinding
tebal bernama pragmatisme.
Korupsi ini pulalah yang secara tidak
langsung mengakibatkan dampak kemiskinan masih tampak. Anggaran - anggaran yang
seharusnya dialokasikan untuk kepentingan masyarakat hanya diambil oleh
beberapa individu dan golongan saja. Mahatma Gandhi mengemukakan kemiskinan
adalah bentuk terburuk dari kekerasan”, memang pernyataan mantan Presiden India
itu tidak ada hubungannya langsung dengan korupsi. Namun jika ditelusuri
panjang akan korelasi di dalamnya, sehingga dari korupsi ini menjadi kemiskinan
yang mengakibatkan beberapa gejolak sosial di masyarakat.
Globalisasi yang tengah melanda dengan
ditunggangi kepentingan demokrasi juga semakin terasa dimana - mana, hal ini
pulalah yang serasa Indonesia masih enggan beranjakan untuk merdeka sepenuhnya.
Esensi pasal 33 UUD 1945 ayat 2 dan 3 berbunyi cabang - cabang produksi yang
penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh
negara, dan Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai
oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Hal yang
terjadi tampak sebaliknya dimana segala kekayaan alam dan isinya dikuasai oleh
negara lain dan kelompok untuk kepentingannya sendiri.
Atas nama demokrasi, negara lain
menjajah perekonomian kita, memaksa kita menyusu kepadanya. Lihatlah bagaimana
begitu berkibarnya perusahaan - perusahaan asing di Indonesia, ada Freeport dan
Newmont yang mengeruk emas, Exxon Mobile, Chevron, Petro China dan Shell yang
mengeruk minyak bumi dan gas alam, belum lagi ekspansi Danone dengan perusahaan
Aqua- nya yang merampas air bersih yang sebenarnya dalam UUD 1945 sudah jelas
disebutkan bahwa negara seharusnya yang menguasai itu. Namun negara Indonesia
belum juga terbangun dari tidur pulasnya dan bahkan semakin bergantung dengan
negara lain untuk menyusu.
Memang tak selamanya penanaman modal
asing di negara kita ini buruk, namun
ketika mengacu pada realita yang ada di lapangan masyarakatlah yang banyak
menjadi korban. Peran negara tampak belum terlihat dalam menjaga rakyatnya.
Ketika Immanuel Kant mengatakan bahwa negara berperan sebagai penjaga malam
bagi warganya yang ada saat ini negara tak dapat mengemban peran tersebut.
Simbiosis yang saling menguntungkan
belum terjadi antara negara dengan swasta dalam hal ini perusahaan asing, dan
perusahaan asing dengan masyarakat sipil. Padahal ketika mengacu pada
pembangunan pemerintahan yang baik harus ada simbiosis mutualisme dan
sinkronisasi yang baik di tiga sektor yaitu negara, swasta, dan masyarakat
sipil.
Indonesia boleh bangga dengan negara
penghasil migas dan kekayaan alam lainnya, namun alangkah lebih bangganya jika
kita berani untuk keluar dari “penjajahan” dari perusahaan - perusahaan asing.
Jika dahulu Bung Karno pernah ngotot untuk me-nasionalisasi salah satu
perusahaan minyak bumi asing di Indonesia, namun kini para pemimpin kita seakan
terbuai dengan kibasan triliyun uang yang dihasilkan oleh proyek - proyek
perusahaan tersebut yang belum bisa dinikmati masyarakat luas.
Kemerdekaan yang penuh menjadi suatu hal
perlu diperjuangkan bukan untuk diperdebatkan atas nama golongan maupun
individu ini dikarenakan akhir - akhir ini banyak sekali klaim kebenaran atas
golongannya masing - masing. Masyarakat Indonesia seolah lupa bahwa perjungan
dengan dilandasi golongan dan kelompok itu yang menyebabkan kita terjajah fisik
begitu lamanya hingga kurun waktu 350 tahun. Masih ingatkah ketika pemuda -
pemuda Indonesia kala itu berikrar satu kesatuan untuk berjuang melalui
momentum sumpah pemuda tanggal 28 oktober 1928.
Lalu kita kembalikan ke sekarang masih
adakah semangat kemerdekaan yang satu tanah air Indonesia tanpa dilandasi embel
- embel partai, ormas, LSM dan lain sebagainya. Jika takarannya semangat
persatuan seperti yang dicita - citakan Pancasila butir ke - 3 tampaknya masih
jauh dari mimpi, kekerasan atas nama golongan partai, ormas, LSM, bahkan agama
masih kerap terjadi di seantero negeri ini.
Terlebih yang menggelikan mereka yang
terlibat di dalamnya seakan tidak merasa berdosa dan bahkan mengatasnamakan demi
kepentingan umat, demi kepentingan rakyat. Lalu apakah dengan kekerasan yang
dilandasi kepentingan golongan itu kita bisa merdeka sepenuhnya? Tidak. Tidak
akan terjadi, karena jika ekslusivisme masih mewabah di negara kita yang ada
kita akan semakin tertinggal dengan negara - negara lain bahkan negara - negara
di kawasan region Asia Tenggara yang dahulu jauh berada di bawah kita secara
ekonomi, pendidikan, sosial, dan teknologi.
Memang masih banyak pekerjaan rumah lain
selain kemiskinan, korupsi, dan ketergantungan pada perusahaan asing.
Kesemuanya ini perlu penekanan yang maksimal dari masyarakat, swasta, dan
utamanya peran negara. Rasa kemerdekaan ini harus diiringi dengan semangat
untuk terus mengawal pembangunan negara Indonesia dan mengawasinya dari virus
KKN. Pemimpin yang bijaksana yang membawa negara Indonesia ke arah yang lebik
baik mutlak dibutuhkan. Selain itu, peran pemuda juga akan terasa dalam
kotribusinya 5 - 10 tahun ke depan, jika pemuda ini dimaksimalkan maka jangan
heran prediksi para ekonom jika Indonesia akan menjadi negara ekonomi terkuat
pada tahun 2033 terjadi.
Pemahaman mengenai semangat persatuan
dan kesatuan bagi seluruh warga Indonesia juga perlu diperhatikan, karena
kemajuan tersebut tidak akan terjadi jika diiringi perpecahan konflik yang
mengatasnamakan golongan parpol, ormas, LSM, dan SARA. Sudah sangat malu kita
disibukkan dengan konflik yang mengatasnamakan golongan itu, dan meng-klaim
hanya dirinyalah yang paling benar dan atas nama kebenaran itu mereka melakukan
tindakan kekerasan menebar terror yang meresahkan masyarakat.
Semangat kemerdekaan, persatuan,
kesatuan, pemahaman pancasila, peningkatan ilmu pengetahuan, dan sumber daya
manusia yang melimpah merupakan modal utama negara kita melakukan pembangunan
dan merdeka sepenuhnya. Jika semua itu sudah bisa dikelola, maka sumber daya
alam yang melimpah di Indonesia bisa kita kelola sendiri untuk kemakmuran
negara sendiri. Pada akhirnya pekik merdeka akan lebih berkumandang sepenuhnya
di berbagai bidang.