Tahun 2014 merupakan
salah satu tahun yang bersejarah dari dinamika perpolitikan negara ini.
Bagaimana tidak di tahun tersebut Indonesia mempunyai hajatan demokrasi yang
besar yaitu pemilu legislatif dan pemilu presiden. Pemilihan umum legislatif
rakyat dituntut untuk memilih wakil - wakilnya dari tingkat DPRD
Kabupaten/Kotamadya, DPRD Provinsi, DPR RI,dan DPD (Dewan Perwakilan Daerah)
yang akan dilaksanakan pada tanggal 9 April 2014. Sedangkan Pemilihan umum
Presiden ini rakyat dituntut memilih Presiden Indonesia untuk masa jabatan 2015-2019.
Jika mengacu pada
perkembangan perpolitikan setahun menjelang pemilu 2014 dilaksanakan, terlebih
ketika tahun 2013 sudah memasuki bulan Juli. Dinamika perpolitikan Indonesia
semakin dinamis, setiap saat ada perubahan cepat yang terjadi di sistemnya. Terlebih
lagi di tahun 2013 ini banyak daerah di Indonesia menggelar hajatan pemilu.
Meskipun dengan level yang berbeda, dimulai dari Pilkades di tingkat pedesaan,
Pemilukada Bupati atau Walikota, hingga pilgub pilihan Gubernur. Semua proses
itu tentu mengharuskan masyarakat untuk terus belajar mengenali setiap sosok
calon yang akan muncul di pertarungan politik.
Ironisnya partisipasi
masyarakat justru semakin menurun dari pemilu sebelumnya. Berdasarkan data yang
bersumber dari Lingkaran Survey Indonesia, partisipasi politik pada pemilu 1999
mencapai 90%, pemilu 2004 mencapai 80%, dan menurun menjadi 70% pada pemilu
2009 lalu. Memang ini terjadi dikarenakan ada sebab yang mendukung, pertama
karena kepercayaan masyarakat sendiri kepada partai - partai politik yang ada
sudah hilang. Kedua, karena beberapa oknum dari pejabat yang dipilih dari
proses politik banyak yang terkena kasus korupsi, bahkan hingga berkaitan
dengan nilai moralitas. Menonton film porno ketika sidang paripurna atau
berperan dalam video asusila dengan “perempuan simpanan” misalnya. Ketiga,
karena kurangnya pengetahuan masyarakat tentang proses politik yang ada,
misalnya dampak money politik.
Menjelang pemilu 2014
ini, perkembangan dunia perpolitikan kita yang semakin carut marut membuat mindset masyarakat utamanya dari
kalangan kaum muda terhadap politik jadi semakin acuh. Hal ini tentu dapat
meningkatkan tingkat golput bagi para pemilih pemula pada pemilu 2014
mendatang.
Pemilih pemula
merupakan kelompok pemuda yang baru mendapat hak memilih untuk pertama kalinya.
Secara psikologis, pemilih pemula memiliki karakteristik yang berbeda dengan
orang -orang tua pada umumnya. Pemuda diidentikkan dengan sikap kritis,
mandiri, independen, anti status quo
atau tidak puas dengan kemapanan, pro
perubahan dan sebagainya. Karakteristrik itu cukup kondusif untuk
membangun komunitas pemilih
cerdas dalam pemilu yakni
pemilih yang memiliki pertimbangan rasional dalam
menentukan pilihannya. Misalnya karena
integritasnya, track record-nya atau
program kerja yang ditawarkan.
Dikarenakan belum
punya pengalaman memilih
dalam pemilu, pemilih pemula
perlu mengetahui dan memahami berbagai hal yang terkait dengan pemilu.
Misalnya untuk apa pemilu
diselenggarakan, apa saja
tahapan pemilu, siapa
saja yang boleh
ikut serta dalam pemilu, bagaimana
tatacara menggunakan hak
pilih dalam pemilu
dan sebagainya. Pertanyaan itu
penting diajukan agar
pemilih pemula menjadi pemilih
cerdas dalam menentukan pilihan
politiknya di setiap pemilu.
Jumlah pemilih pemula
pun juga termasuk tinggi dalam setiap gelaran pemilunya. Diperkirakan, dalam
setiap pemilu, jumlah pemilih pemula sekitar 20-30% dari
keseluruhan jumlah pemilih
dalam pemilu. Pada
Pemilu 2004, jumlah
pemilih pemula sekitar 27 juta dari 147 juta pemilih. Pada Pemilu 2009 sekitar 36 juta pemilih dari 171
juta pemilih. Data BPS 2010: Penduduk usia 15-19 tahun: 20.871.086 orang, usia
20-24 tahun: 19.878.417
orang. Dengan demikian,
jumlah pemilih muda
sebanyak 40.749.503 orang. Jumlah
itu diperkirakan kian bertambah pada
pemilu 2014 dengan presentase 30% dari
jumlah pemilih.
Jika dicermati memang
jumlah yang begitu besar tersebut amat sangat mempengaruhi hasil dari pemilu
sendiri. Untuk itu potensi pemilih pemula ini perlu dimanfaatkan sebagai
potensi melakukan perubahan dengan menentukan pilihan yang terbaik sesuai
dengan hati nurani pada pemilu 2014. Namun sayangnya tidak dipungkiri situasi
perpolitikan nasional saat ini yang menyebabkan mindset kaum muda terhadap
politik terkesan “jelek” dan cenderung apatis.
Selama ini di tingkat
pendidikan SMA sederajat, pengenalan tentang politik dan seluk beluknya dimasukkan
ke dalam Pendidikan Kewarganegaraan (PKN). Namun dalam pelajaran tersebut hanya
diajarkan mengenai demokrasi dan proses pelaksanaannya dalam pemilu, itupun
hanya sekedar teori.
Hal ini tentu membuat
mindset pemuda mengenai politik belum sepenuhnya terisi. Rekayasa politik
merupakan penggabungan antara teori yang selama ini diajarkan di mata pelajaran
PKN dengan realita perpolitikan di lapangan yang sesuai prosedur. Rekayasa
politik ini tidak hanya sekedar diajarkan bagaimana kaum pelajar memilih ketika
pemilu, tapi dia juga disimulasikan menjadi objek yang dipilih, bisa tingkat
legislatif maupun eksekutif.
Kami memberikan konsep
mengenai pelajaran ini. Pertama, simulasi pemilu yang diberikan mengenai teori
dan praktek pencoblosan. Kedua, simulasi tentang parlementer. Dalam teori ini
pelajar diajarkan apa itu fungsi dan tugas legislasi. Simulasi dalam bentuk
parlementer ini bisa dalam sekup sederhana misalkan rapat komisi hingga rapat
paripurna. Ketiga, simulasi politik sebagai pengambil kebijakan di tingkat
eksekutif, misalnya sebagai menteri bahkan Presiden, dengan permasalahan
sederhana terlebih dahulu, misalnya cara pengambilan keputusan.
Kami akan memberikan salah
satu ilustrasi, jika satu ruangan ada 30 pelajar. Maka simulasi dalam hal
pengambil kebijakan, ada yang berperan sebagai Presiden satu orang, menteri 4
orang, 10 orang sebagai legislatif, 5 orang berasal dari yudikatif, 10 orang
rakyat yang masih terbagi 2 orang pengusaha atau dari swasa, serta 8 orang
masyarakat biasa. Adapun sistematika, kami ambil salah satu permasalahan
sederhana yaitu pengambilan keputusan terkait kebijakan parkir yang ada di
sekitar sekolah, atau terkait pengelolaan sampah. Pengambilan kebijakan ini,
dikaji di tingkat legislasi dan dalam pengambilan kebijakan tersebut masyarakat
turut berpartisipasi dalam bermusyawarah, sedangkan pihak swasta berpartisipasi
dalam pengadaan peralatan dan fasilias penunjang bekerjasama dengan pihak
pemerintahan.
Dari legislasi ini
kemudian akan dibawa ke ranah eksekutif, dimana dengan pendapat antara
legislasi dan eksekutif dilakukan. Sehingga pada akhirnya pemerintah melalui
kepala pemerintahan memutuskan suatu kebijakan terhadap kebijakan parkir dan
pengelolaan sampah. Kajian permasalahan dalam lingkup terkecil di sekitarnya,
kemudian direkayasa menggunakan sistem negara membuat para pemuda utamanya yang
menjadi pemilih pemula tahu bagaimana sistem kerja pemerintahan dan lobi - lobi
politik yang bermoral dan baik dilakukan.
Proses inilah yang
nantinya akan dipelajari oleh mereka, menciptakan kesadaran berpolitik dengan
menempatkan “rekayasa” dirinya menjadi bagian dari pihak pengambil kebijakan
untuk masyarakat. Kami berpikir dengan karakteristik anak muda yang cenderung
bersikap reformis dengan membuka setiap hal baru yang positif akan berdampak
bagi perkembangan politik di Indonesia ke depan.
Diharapkan dari pelajaran
rekayasa politik sejak dini ini para pemuda kita paham tentang apa itu politik.
Secara langsung pula nantinya mereka akan mengerti mengapa harus berpartisipasi
dalam kegiatan politik, dan apa resikonya jika antipati terhadap politik. Dari
kegiatan sederhana sejak dini ini bagaimana dicamkan bahwa tidak selamanya
politik itu kotor seperti yang terjadi di realita lapangan akhir - akhir ini. Sehingga
tujuan dari politik sebagaimana dikatakan filsuf Yunani Plato yaitu sebagai
penyelenggara kesejahteraan bersama.