Judul
Buku : Dibawah Bendera
Asing
Penulis : M. Kholid Syeirazi
Penerbit : LP3S
Tebal
halaman : 328 halaman
Edisi
cetak : Juli 2009
Resensator : Avirista Midaada
“Untuk mereka yang menjadi korban”
Sebuah kalimat yang
mengawali buku ini yang tentu membuat setiap orang yang membaca satu kalimat
tersebut merinding. Bagiamana tidak dari buku ini pembaca akan diajak terbang
untuk “di-brain wash” mengenai sumber
daya alam “emas hitam” yang selama ini menjadi tumpuan energi di berbagai
dunia, termasuk Indonesia.
Ketahanan energi merupakan komponen yang
fundamental untuk setiap Negara. Minyak merupakan salah satu sumber bahan bakar
serba guna yang pernah ditemukan manusia dan memacu jantung ekonomi industri
modern. Bahkan pada saat perang Arab-Israel 1973, Negara-negara Arab
menggunakan minyak sebagai sebagai senjata politik. Bangsa Arab dipimpin Arab
Saudi bersatu menjatuhkan sanksi embargo minyak kepada pihak-pihak yang memihak
Israel dalam perang Yon Kippur. Embargo tersebut membuat harga minyak dunia
menjadi lima kali lipat dari US$ 2,5 menjadi US$ 12 per barel, dan memicu
resesi ekonomi dunia.
Amerika Serikat adalah Negara yang paling
kecanduan akan minyak (addicted to oil). Sebagai konsumen
energi terbesar dunia, AS butuh jaminan pasokan (security
of supply) negara-negara pemilik cadangan minyak, karena cadangannya
sendiri semakin menipis (tersisia 29,4 miliar barel). Produksi menurun (tinggal
sekitar 5,1 juta bph) sementara konsumsi terus meningkat (mencapai 20,7 juta
bph) menempatkan AS harus merancang skenario Liberalisasi industri minyak
seluruh dunia, termasuk Indonesia.
Undang-undang Migas No 22/2001, berdasarkan
kesimpulan analisis penulis, dengan berbagai teori sosial dan berbagai
pengakuan terbuka lembaga-lembaga donor seperti USAID dan ADB dengan dukungan
Bank Dunia dan IMF, merupakan salah satu koleksi undang-undang liberal yang
mensibikan kedaulatan dan merelatifkan makna penguasaan Negara terhadap
cabang-cabang produksi yang penting bagi Negara dan menguasai hajat hidup orang
banyak. Dibaliknya terdapat kepentingan-kepentingan donor asing dan berdiri
tegap kartel-kartel raksasa minyak dunia yang berkepentingan terhadap liberalisasi
sektor migas Indonesia.
Arti penting liberalisasi industri migas
Indonesia bagi Amerika Serikat adalah “penguasaan asing”. Perusahaan-perusahaan
minyak berbendera Amerika Serikat mendominasi 85 persen di bisnis hulu minyak
bumi (eksplorasi dan ekslpoitasi) dan 70 persen di bisnis hulu gas bumi.
Kontrol tersebut makin paripurna jika bisnis di sketor hilir dibuka lebar. Pangsa
pasar BBM domestik sangat besar, sehingga pemain-pemain asing dapat
berpartisipasi menjual BBM eceran ke 220 juta penduduk Indonesia.
Pemerintah pun kala itu merupakan aktor besar
yang mengajukan RUU migas dengan berbagai macam dalih dan alasan. Beberapa
diantaranya adalah (1) Pertamina harus turut bersaing di industri minyak global
sehingga harus “disamaratakan” dengan industri migas global lainnya dengan cara
melepas monopoli kuasa terhadap sumber minyak dalam negeri dan (2) sudah
terlalu merajalelanya korupsi di internal Pertamina sehingga harus segera
digantikannya UU no 8/1971 dengan UU baru, yaitu UU migas. Padahal untuk dalih
yang pertama dengan melepas menopoli pertamina (1) masih tidak ada jaminan akan
kemanan pasokan minyak dalam negeri karena dengan masuknya perusahaan asing
dalam negeri, mereka lebih memilih mengekspor olahan minyaknya ke luar negeri
ketimbang Indonesia dikarenakan harga yang lebih mahal jika dijual ke luar
negeri. Kemudian dalih kedua (2) fakta menyatakan korupsi Pertamina yang
menggerogoti perusahaan minyak nasional telah berlangsung sejak Order baru
berkuasa, bukan setelah terbitnya UU 8/1971. Jadi akar masalah bukan pada UU
8/1971, tetapi struktur dan mental birokrasi yang kedap akan reformasi.
Beberapa implikasi dari diterapkannya UU 22/2001
tentang migas adalah
1. Implikasi paling
mendasar adalah, Negara kehilangan alat untuk menjami keamanan pasok (security of supply) BBM atau BBG dalam
negeri karena kontrol cadangan dan produksi migas sudah tidak berada di tangan
BUMN migas. Akibatnya krisis bahan bakar migas selalu membayangi sektor energi
nasional.
2. Pertamina dirombak
menjadi perusahaan skala usaha yang terpecah-pecah (unbundled), sementara
perusahaan-perusahaan minyak dunia lainnya makin terintegrasi secara vertical.
Mereka mencapai efisiensi dengan mengintegrasikan kegiatan sektor hulu
(eksplorasi dan eksploitasi) hingga sektor hilir (disitribusi, niaga,
pengolahan dsb)
3. Terjadinya
ketidakmenetukan iklim investasi sektor hulu migas karena kebijakan fiscal
yang mendukung. Bahasa simpelnya: investor harus membayar lebih untuk
eksplorasi wilayah cadangan minyak baru, padahal belum pasti ada atau tidak
minyaknya di wilayah tersebut. Indonesia satu-satunya Negara yang menerapkan
pembayaran pra-produksi
4. Dirombak Pertamina
sebagai PT (persero) lewat PP no 31 tahun 2003 juga memungkinkan privatisasi
Pertamina. Singkat kata Pertamina yang notanenenya merupakan perusahaan milik
negara dapat diperjualbelikan sesuka pemerintah.
5. Birokrasi baru semakin
ribet dan tidak investor friendly. Awalnya ketika UU
8/1971 diterapkan investor hanya perlu melewati satu instansi yaitu pertamina
sebelum eksplorasi, namun dengan adanya UU migas investor harus melewati
minimal 5 instansi sebelum melakukan pengeboran.
Masih banyak implikasi-implikasi nyata yang
ditimbulkan dengan diterapkannya UU No. 22 tahun 2001 tentang minyak dan gas
bumi yang tertuang dalam buku ini. Namun sebaiknya pembaca segera membaca
secara keseluruhan isi buku sehingga pengetahuan yang didapat bisa secara
holistik dan lebih komprehensif. Peresensi juga kemungkinan akan menuliskannya
dalam tulisan baru yang selengkapnya bisa dilihat di akhir dari tulisan ini.
Buku bersampul biru
dengan gambar cover desain tetesan minyak dengan lambang perusahaan-perusahaan asing
secara dominan dengan lambang pertamina yang dikecilkan sangat jelas
menggambarkan pengkerdilan Pertamina sebagai BUMN migas dalam negeri yang posisinya
semakin dilangkahi asing dalam menguasai sumber-sumber “emas hitam” dalam
negeri. Pemerintah sendiri yang seakan membiarkan Pertamina sebagai
perusahaan migas negara sendiri dilangkahi oleh asing. Bahkan negara seakan tak
mempunyai kedaulatan di negera sendiri pada sektor migas dengan lobi - lobi
politik yang dilakukan oleh perusahaan asing atas nama “demokrasi”.
Buku setebal 328 halaman ini memang terkesan
begitu berat ketika membacanya terlebih menjelaskan dari beberapa perspektif
ilmu seperti politik, ekonomi, kimia, administrasi, maupun hukum. Beberapa
perspektif keilmuan itu dijadikan oleh penulis menjadi satu buku yang berawal
dari sebuah tesis program pasca sarjana Ilmu Politik Universitas Indonesia.
Meski terkesan berisi ilmu - ilmu yang berat dan terkesan membosankan, namun
ketika dibaca bahasa penulis begitu sederhana dan terkesan santai sehingga
tidak membuat “ketegangan pada otak”. Hal ini tentu berimbas buku ini mudah
untuk dipahami oleh pembaca yang ingin belajar mengenai perminyakan nasional.
Alur yang digunakan cukup komprehensif dan
secara sistematis gampang dicerna oleh para pembaca terutama pelajar dan pemuda
yang haus akan pengetahuan kondisi Ibu Pertiwi kita saat ini. Kata-kata yang
digunakan juga tidak menjemukan dan data-fakta yang disajikan juga berasal dari
berbagai sumber terpercaya sehingga pembaca bisa memahami materi dari berbagai
sudut pandang.
Menurut resensator buku ini sangat
direkomendasikan bagi khususnya mahasiswa maupun masyarakat pada umumnya yang
tertarik membedah persoalan - persoalan tentang sumber daya alam minyak bumi
dan gas, pertambangan, politik, kebijakan publik, dan hukum terkait migas di
Indonesia ini. Alasannya, buku ini dapat dijadikan referensi untuk menumbuhkan
semangat belajar mengenai “kekayaan alam” Indonesia yang terkibiri di negeri
sendiri oleh kartel - kartel asing berkolaborasi dengan pemerintah
mengatasnamakan demokrasi untuk “kepentingan rakyat”. Berawal dari sinilah
semangat nasionalisme akan tumbuh yang nantinya akan menjadi modal kita untuk bersaing
dengan negara lain di tengah globalisasi ini, syukur - syukur mampu merebut
kembali kedaulatan negara yang terkoyak di sektor energi, pertambangan,
khususnya migas.
Berbicara mengenai kemerdekaan pasti tak dapat
dilepaskan dari yang namanya kedaulatan baik secara de jure maupun de facto,
termasuk dalam hal kedaulatan atas sumber daya alam di negara sendiri. Dan itu
sudah saatnya dimulai saat ini dengan menyebarkan pesan - pesan dari buku ini
setelah kit abaca. Supaya kemerdekaan kita akan berjalan “sepenuhnya” tanpa
harus terjajah oleh kapitalisme dan globalisme dengan dalih “demokrasi”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar