Di tengah isu - isu
nasional yang meruncing dan semakin hangat seperti kenaikan harga BBM dan carut
marut pelaksanaan UN Presiden SBY membuat gempar bukan karena kebijakan untuk
mengatasi keduanya, namun isu politik yang terkait parpolnya. Jabatan sebagai
Ketua Umum, Ketua Majelis Tinggi, Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat sekaligus
Presiden tampaknya benar - benar menguras tenaga dan menjadi “alat” untuk
beralasan tak dapat focus di dalamnya. Keterangan SBY di Istana Kepresidenan di
tengah isu kenaikan harga BBM dan permasalahan UN akan sangat dinantikan,
mengapa demikian karena beliau selaku kepala negara sekaligus kepala
pemerintahan secara penuh harus bertanggungjawab di dalamnya. Namun yang
terjadi justru sebaliknya, di tengah isu tersebut hal yang disampaikan Presiden
justru permasalahan mengenai Parpol dimana isu tentang Yenny Wahid, putri
Almarhum Gus Dur, dimana desas desusnya Yenny bergabung ke Demokrat dan ingin
menjabat sebagai Wakil Ketua Umum.
Presiden sebagai Kepala
Pemerintahan mempunyai tugas untuk menjalankan pemerintahan sebagaimana yang
telah tercantum dalam konstitusi. Sebagai pemimpin tentu merupakan milik semua
golongan yang ada, tidak etis tentunya ketika Presiden berbicara mengenai
permasalahan kelompok atau golongannya di tempat atau fasilitas milik negara
seperti Istana Kepresidenan. Dalam kasus tersebut dapat dianalisis dari dua
disiplin ilmu, ilmu politik dan ilmu pemerintahan.
Namun sebelum melangkah
jauh mengenai analisis dua ilmu tersebut, kami akan menjelaskan terkait
pemerintahan, karena ini berkaitan dengan tugas dan wewenang seorang Presiden
sebagai Kepala Pemerintahan. Pemerintahan berasal dari kata “perintah” yang
setelah ditambah awalan “pe” menjadi pemerintah, dan ketika ditambah akhiran
“an” menjadi pemerintahan, dalam hal ini beda antara “pemerintah” dengan
“pemerintahan” adalah karena pemerintah merupakan badan atau organisasi yang
bersangkutan, sedangka pemerintahan berarti perihal ataupun hal ikhwal
pemerintahan itu sendiri.
Menurut Soemendar
pemerintahan sebagai badan yang penting dalam rangka pemerintahannya,
pemerintah harus memperhatikan pula ketentraman dan ketertiban umum, tuntutan,
dan harapan serta pendapat rakyat, kebutuhan dan kepentingan masyarakat,
pengaruh - pengaruh lingkungan, pengaturan - pengaturan, komunikasi peran serta
seluruh lapisan masyarakat dan organisasi.
Jadi dari sini
disimpulkan makna Presiden sebagai Kepala Pemerintahan dimana Presiden menjadi
pemimpin untuk melayani masyarakat dengan aturan - aturan hukum yang ada serta
partisipasi dari masyarakat itu sendiri.
Ilmu politik mengkaji
input sistem politik karena para aparat eksekutif dan legislatif merupakan para
actor partai politik. Presiden SBY termasuk di dalamnya merupakan actor politik
dikarenakan beliau berasal dari sebuah parpol untuk menuju jabatannya sebagai
Presiden. Namun di sisi lain sebagai Presiden tentu beliau merupakan Kepala
Pemerintah. Sebagaimana kita ketahui menurut Ponsioen, pemerintah memegang
peranan penting dalam pembangunan nasionalnya, yaitu dalam menentukan
kebijaksanaan tersebut. Pada proses penetapan kebijaksanaan umum itulah yang
disebut pemerintah. Dengan demikian
telah terlihat bahwa penetapan kebijaksanaan adlah fungsi politik yang
dijalankan pemerintah, pelaksanaannya adalah fungsi adminstrasi yang dijalankan
oleh pemerintah.
Dari sini proses
keterangan SBY yang menyangkut berita Yenny Wahid bergabung Demokrat merupakan
suatu proses politik dimana ini hanya terkait beberapa golongan saja. Namun
menyampaikannya di fasilitas negara seperti Istana Kepresidenan merupakan
konflik status antara Presiden dengan jabatan di Parpol. Sebagai seorang
Presiden yang menyampaikan keterangan di Istana Kepresidenannya, sebaiknya
tidak menyinggung parpolnya. Sangat bertolak belakang tentunya ketika
keterangan yang disampaikan SBY yang terkait Parpol, kekuasaan sebagaimana
objek forma dari ilmu politik disampaikan pada Istana Kepresidenan dengan
status “masih” Kepala Pemerintahan yang seharusnya mengedepankan objek forma
hubungan pemerintahan, gejala - gejala pemerintahan, peristiwa pemerintahan,
termasuk di dalamnya peristiwa isu kenaikan harga BBM dan carut marut UN.
Dr. Inu Kencana Syafiie
M.Si mengatakan bahwa pemerintahan tidak hanya memiliki disiplin ilmu, tetapi
juga harus memiliki disiplin akan moral, etika, dan seni kepemimpinan. Apa
jadinya pemerintah kalau pada pemimpin pemerintahannya melakukan kesewenangan,
penyalahgunaan kekuasaan karena pada setiap kepemimpinan pasti akan
dipertanggungjawabkan di hadapan Tuhan Yang Maha Esa kelak.
Analisis kedua tentu
membedahnya dari pendekatan institusionalisme dalam ilmu politik. Seperti kita
ketahui pemerintah merupakan sebuah insititusi yang hadir karena adanya sistem
politik dimana di dalamnya. Nah dalam pendekatan institusionalisme baru menurut
Peters 1999 salah satunya institusionalis normative dimana ini mempelajari
norma dan nilai yang dikandung dalam suatu insititusi politik maupun institusi
yang terbentuk akibat perilaku politik (pemerintah, negara). Di dalamnya
terdapat suatu etika, dimana etika tersebut berbicara mengenai pantas atau
tidak pantasnya seseorang actor politik terlebih merupakan seorang Kepala
Pemeritahan atau pemimpin negara yang “lupa” akan etikanya.
Disini tentu pendekatan
institusionalisme ala Peters ini dapat dijadikan analisis untuk membedahnya.
Jika kembali pada dua disiplin yang disampaikan sebelumnya dimana disiplin ilmu
politik dan ilmu pemerintahan yang mana di dalamnya mengatur objek forma dan
sebagainya, tentu dapat dikatakan apa yang dilakukan SBY salah tempat.
Mengingat saat itu beliau masih merupakan “Presiden” selaku Pimpinan
pemerintahan bukan sebagai politisi.
Berkaitan dengan etika
seorang politisi Alfan Alfian mengatakan politisi bukanlah profesi seperti
halnya dokter, akuntan, pengacara, atau pengebor sumur pompa. Politisi
merupakan pejuang yang memperjuangkan visi dan misi politik yang diyakininya.
Dimana politisi berjuang meraih dan mempertahankan kekuasaan, dimana menurut
filsuf Yunani Plato, kekuasaan itu yang ideal adalah alat untuk menyejahterakan
masyarakat.
Kaitanya dengan dari
analisis keterangan SBY tadi disini sebagai seorang politisi juga tentu jika
memiliki visi misi yang cakap dimana saat itu rakyat dibingungkan dengan
berbagai isu terkait kenaikan harga BBM dan carut marut UN sudah seharusnya
beliau tampil untuk mengedepankan kepentingan masyarakat daripada kepentingan
golongannya untuk meraih kekuasaan.
Analisis ketiga dari
kasus SBY ini bisa jadi merupakan pengalihan isu yang ada. Mungkin tidak benar
100% jika SBY tidak dapat membedakan posisinya sebagai Presiden atau jabatannya
di parpol saat itu. Mengapa demikian? Jika kita telaah di saat ada persoalan
yang tengah hangat dibicarakan bukan kali pertama hal itu terjadi, alih isu
dari sebelumnya membahas mengenai kenaikan harga BBM dan carut marut UN menjadi
isu Parpol Demokrat sangat lumrah terjadi di bidang politik.
Peristiwa pidato
menyampaikan keterangan kepada pers dalam hal yang wajar dan terkesan lumrah.
Namun hal ini baru dikatakan istimewa ketika yang menyampaikannya adalah orang
- orang yang memiliki kekuasaan dan wewenang di negara termasuk Presiden SBY
sendiri. Terlebih itu disampaikan melalui beberapa media dan diulang - ulang.
Menurut Dan Nimmo pengalihan isu dalam komunikasi politik sangatlah lumrah
terjadi, bagaimanapun media juga harus dituntut objektif tak hanya “menjual”
berita baru yang dirasa lebih diminati orang, dibandingkan memproposisikan
berita yang sebelum ada isu tersebut. Karena selama ini di Indonesia ketika ada
isu - isu yang belum terselesaikan dan belum ada jalan keluarnya selalu ada isu
publik lain yang menjadi konsumsi dan seakan melupakan isu yang lama.
Di akhir analisis ini
kami selaku penulis ingin menarik kesimpulan dari beberapa pandang sudut
analisis di atas. SBY merupakan pemimpin pemerintahan Indonesia sudah
seharusnya tidak terjebak dalam konflik status dimana selain menjadi Presiden
di sisi lain menjadi Ketua Umum, Ketua Majelis Tinggi dan Ketua Dewan Penasehat
Partai Demokrat. Terlebih ketika masih berada di ranah negara menggunakan
fasilitas negara seperti Istana Kepresidenan alangkah beretikanya seorang
pemimpin memberi contoh menggunakannya untuk kepentingan negara bukan
kepentingan parpolnya. Supaya apa yang beliau lakukan tidak dicontoh oleh para
pejabat eksekutif dan legislatif lainnya.
Pada akhirnya memang
ketika “pelanggaran” etika yang dilakukan Presiden ini memang tak cukup kuat
untuk diteruskan ke jalur hukum, bahkan tak kan bisa untuk dijerat hukum. Tapi
ketika etika telah dilanggar maka sanksi sosial-lah yang akan berbicara, bahkan
terkadang sanksi sosial itu lebih kejam dan lebih jera daripadi sanksi hukum
biasa.
DAFTAR
PUSTAKA
Alfian, Alfan, 2012.
Kekuatan Pemimpin. Jakarta : Kubah Ilmu
Marsh, David, Stoke, Gerry, 2010. Teori dan Metode
Dalam Ilmu Politik. Bandung : Nusa Media
Mondry,2010.
Diktat Pengantar Sosiologi. Malang
Nimmo, Dan, 1993. Komunikasi Politik :
Komunikator, Pesan, dan Media. Bandung : PT Remaja Rosdakarya
Poerwadarminta,
W.J.S, 1976. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta : Balai Pustaka
Syafiie, Inu Kencana, 2011. Etika Pemerintahan.
Jakarta : PT Rineka Cipta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar