Herbert
Alexander Simon (15 Juni 1916 – 9 Februari 2001) adalah
peneliti di bidang psikologi kognitif, ilmu komputer, administrasi umum,
ekonomi dan filsafat. Pada tahun 1975, Simon mendapat penghargaan Turing Award
dari ACM, bersama Allen Newell atas jasanya dalam memberikan kontribusi yang besar
di bidang kecerdasan buatan, psikologi manusia dan pengolahan senarai. Pada
tahun 1978 Simon juga mendapat penghargaan Nobel di bidang Ekonomi, atas
penelitiannya di bidang pengambilan keputusan pada organisasi ekonomi. Salah
satu konsep temuannya antara lain adalah istilah rasionalitas terbatas dan
keterpuasan (satisficing). Herbert Simon lahir di Milwaukee, Wisconsin pada
tahun 1916. Ia meraih gelar sarjananya pada tahun 1936 dari University of
Chicago. Kemudian ia meraih gelar Ph.D. di bidang Ilmu Politik dari universitas
yang sama pada tahun 1942, dengan disertasinya mengenai administrasi umum.
Disertasinya ini kemudian diterbitkan dengan judul Administrative Behavior, dan
konsep-konsep yang dikembangkan dalam buku inilah yang akhirnya membuat Simon
menerima penghargaan Nobel. Simon sempat bekerja di Berkeley dan di Illinois
Institute of Technology. Sejak tahun 1949, Simon bekerja di Carnegie Mellon
University hingga wafat. Pada tahun 1956, bersama Allen Newell, Simon
mengembangkan Logic Theory Machine dan program General Problem Solver (GPS)
pada tahun 1957. GPS adalah metode penyelesaian masalah dengan cara memisahkan
strategi pemecahan permasalahan dari informasi/data yang spesifik tentang
masalah itu sendiri. Kedua program ini dikembangkan dengan menggunakan bahasa
IPL (Information Processing Language) tahun 1956 yang dikembangkan oleh Newell,
Cliff Shaw dan Simon. Dalam buku The Art of Computer Programming vol 1, Donald
Knuth menyebutkan bahwa pengolahan senarai dalam IPL dengan senarai berkait awalnya
disebut sebagai "NSS memory", yang merupakan singkatan dari nama-nama
penemunya. Salah satu kiasan generatif untuk karya Herbert Simon yaitu
rasionalitas terbatas adalah maze
(tempat yang penuh dengan jalan dan lorong berliku-liku dan simpang siur). Kita
berada dalam maze, tidak melihatnya dari
atas helikopter untuk mensurvei semua pilihan dari sudut pandang seorang pemain
Olympiade. Seseorang tidak dapat melihat semua kemungkinan pada waktu orang
lain, seseorang tidak mengetahui probabilitas hasil yang diberikan dari pilihan
seseorang, dan seseorang tidak memiliki kapasitas komputasional untuk
menentukan suatu hasil yang optimal bahkan bila ia memiliki informasi mengenai
hal ini. Oleh karenanya, kapasitas kita untuk perilaku rasional sangatlah terbatas
dalam banyak dimensi. Saat Simon
tidak secara langsung mengarah kepada permasalahan pembangunan ekonomi,
karyanya telah merintis kritik terhadap pembuat keputusan rasional secara
substantif yang termanifestasi dalam model-model perencanaan, model-model
dorongan besar, dan lebih umum lagi, dalam ambisi alasan teknokrasi. Suatu
kontras dari berada dalam maze dibandingkan di atas maze merupakan suatu model
mental yang berguna untuk menjelaskan dan membandingkan strategi-strategi
pertumbuhan yang dalam kenyataannya tidak seimbang dengan mimpi-mimpi program
pembangunan komprehensif.
Kamis, 02 Mei 2013
Model Rasional Dalam Penentuan Kebijakan
Sebuah
model ideal pengambilan keputusan kebijakan publik secara rasional terdiri dari
‘seorang individu rasional’ yang menempuh aktifitas-aktifitas berikut ini
secara berurutan:
1.
Menentukan
sebuah tujuan untuk memecahkan sebuah masalah
2.
Seluruh
alternatif strategi untuk mencapai tujuan itu dieksplorasi dan didaftar
3.
Segala
konsekuensi yang signifikan untuk setiap alternatif diperkirakan dan
kemungkinan munculnya setiap konsekuensi diperhitungkan.
4.
Terakhir,
strategi yang paling dekat dengan pemecahan masalah atau bisa memecahkan
masalah dengan biaya paling rendah dipilih berdasarkan kalkulasi tersebut.
Model
rasional adalah ‘rasional’ daam pengertian bahwa model tersebut memberikan
preskripsi berbagai prosedur pengambilan keputusan yang akan menghasilkan
pilihan cara yang paling efisien untuk mencapai tujuan kebijakan. Teori-teori
rasionalis berakar dalam aliran-aliran pemikiran positifisme dan rasionalisme
jaman pencerahan yang berusaha untuk
mengembangkan pengetahuan yang ilmiah untuk meningkatkan kondisi hidup manusia.
Ide-ide ini didasarkan pada keyakinan bahwa berbagai permasalahan sosial
seharusnya diselesaikan melalui cara yang ‘ilmiah’ dan ‘rasional’, melalui
pengumpulan segala informasi yang relevan dan berbagai alternatif solusi, dan
kemudian memilih alternatif yang dianggap terbaik. Tugas analis kebijakan, di
sini, adalah mengembangkan pengetahuan yang relevan dan kemudian menawarkannya
pada pemerintah untuk diaplikasikan. Pembuat kebijakan diasumsikan sebagai
untuk bekerja sebagai teknisi atau manajer bisnis, yang mengidentifikasi suatu
masalah dan kemudian mengadopsi cara yang paling efektif dan efisien untuk
mengatasi masalah tersebut. Karena berorientasi pada ‘pemecahan masalah’ maka
pendekatan ini sering juga disebut sebagai pendekatan ‘ilmiah’, ‘rekayasa’ atau
‘manajerialis’[1].
Penilaian
Simon terhadap model rasional menyimpulkan bahwa berbagai keputusan publik pada
prakteknya tidak memaksimalkan manfaat di atas beban, tetapi hanya cenderung
untuk memenuhi kriteria yang ditetapkan oleh para pengambil keputusan untuk
diri mereka sendiri dalam masalah yang sedang menjadi perhatian. ‘Satisfying criterion’ ini adalah sesuatu
yang nyata, sebagai sesuatu muncul dari hakekat rasionalitas manusia yang
terbatas.
DAFTAR PUSTAKA
Howleet,
Michael, and Ramesh, M. 1995. Studying
Public Policy: Policy Cycles and Policy Subsystem. Journal Of Public Policy Decision-Making – Beyond
Rationalism, Incrementalism and Irrationalism, 7 : 4 - 5
Ideologi PKB
Menurut Dr. Hafidh
Shaleh, Ideologi adalah sebuah pemikiran yang mempunyai ide berupa konsepsi
rasional, yang meliputi akidah dan solusi atas seluruh problem kehidupan
manusia. Pemikiran tersebut harus mempunyai metode, yang meliputi metode untuk
mengaktualisasikan ide dan solusi tersebut, metode mempertahankannya, serta
metode menyebarkannya ke seluruh dunia.
Partai Kebangkitan
Bangsa yang kelahirannya dibidani oleh para kiai NU, mempunyai corak lain dari
sekian banyak partai modern yang ada di Indonesia. Secara Ideologi, PKB masih
memiliki kesamaan cara pandang dengan NU yang mengambil Ahlus Sunnah wal Jamaah sebagai ideologinya.
Ideologi PKB adalah inklusif, artinya meskipun
dilahirkan dari rahim NU keberadaannya terbuka untuk orang diluar NU dan
non-islam. Meskipun demikian, unsur NU tetap memegang kendali utama di PKB.
Mereka yang memiliki “darah biru” kyai menempati posisi strategis partai. Basis
sosial PKB berhimpitan dengan NU, yaitu kalangan islam tradisionalis dan kelas
menengah ke bawah[2].
Dari sini bisa
dijelaskan bahwa ideologi PKB adalah kebangsaan yang berorientasi pada
kerakyatan yang menjunjung tinggi nilai-nilai toleransi dan keadilan.
Berdasarkan ideologi kebangsaan ini, maka kehadiran PKB yang inklusif dan
moderat menjadi sangat relevan dengan perkembangan dan dialektika perubahan
ideologi.
Tujuan ideologi dalam
sebuah partai politik digunakan sebagai dasar atau landasan yang akan
memberikan arah terhadap perjuangan partai tersebut. Dalam hal ini PKB memiliki
ideologi yang berdasarkan kebangsaan yang berorientasi pada kerakyatan yang
menjunjung tinggi nilai-nilai toleransi dan keadilan, sehingga dengan adanya ideologi
tersebut dapat dipastikah bahwa nilai-nilai perjuangan yang di usung oleh PKB
akan berbanding lurus dengan ideologi yang dianut.
DAFTAR PUSTAKA
HM.
Lukman Edy, Reformulasi Gerakan PKB, (Jakarta:
Sekretariat Jendral DPP PKB, 2005),
hal. 54.
Sigit
Pamungkas, Partai Politik : Teori dan Praktik di Indonesia (Yogyakarta :
Institute for Democracy and Welfarim, 2011), hlm. 140 - 141.
Polemik KPK versus Pemerintah
Sebagai
bagian dari suatu negara hukum merupakan salah satu elemen yang penting, tanpa
adanya hukum manusia akan berbuat sesuai dengan kehendaknya masing - masing dan
berpotensi untuk merugikan orang lain. Hukum sendiri merupakan sistem yang
terpenting dalam pelaksanaan atas rangkaian kekuasaan dari bentuk
penyalahgunaan dalam bidang politik, ekonomi, dan masyarakat dalam berbagai
cara dan tindakan. Dari hukumlah semua kehidupan seseorang di atur, baik itu
berasal dari hukum agama, maupun hukum yang berkaitan dengan negara. Di negara
Indonesia mempunyai beberapa jenis hukum yang semuanya memiliki fungsi dan
tujuan yang berbeda, ada hukum perdata, hukum pidana, hukum tata negara, hukum
tata usaha negara, hukum acara perdata, hukum acara pidana, hukum adat, dan
hukum islam.
Pada
dewasa ini negara Indonesia disibukkan dengan para pejabat negara yang terkesan
nakal dan bertingkah laku tidak sesuai dengan kode etik pejabat, banyak dari
mereka yang melanggar hukum, baik melakukan korupsi, suap, pencucian uang dan
sebagainya. Sebenarnya pejabat negara bisa disamakan dengan pegawai negeri atau
penyelenggara negara, sedangkan pengertiannya menurut Hoge Raad yaitu barangsiapa yang oleh kekuasaan
umum diangkat untuk menjabat pekerjaan umum untuk melakukan sebagian tugas dari
tugas pemerintahan atau alat perlengkapannya.
Dari
kesekian banyak kasus hukum utamanya kasus hukum pidana yang menjerat pejabat
negara baik dari tingkat eksekutif, legislatif hingga yudikatif ke semuanya
belum mendapatkan sanksi yang sepadan dengan apa yang telah mereka lakukan.
Terakhir kita dihebohkan dengan kasus dugaan suap menyuap jama’ah yang
melibatkan anggota DPR RI pada kasus cek pelawat pemilihan gubernur deputi Bank
Indonesia Miranda Gultom, belum lagi kasus yang sedang panas saat ini yaitu
kasus mantan Bendahara Umum Partai Demokrat Muhammad Nazarrudin yang kabur ke
luar negeri dan diduga terjerat kasus korupsi pembuatan wisma atlet Sea Games
di Jakabaring, Palembang. Dari kalangan pejabat eksekutif yang terjerat tindak
pidana seperti M. Ma’ruf mantan Menteri Dalam Negeri yang terlibat kasus
korupsi proyek pemadam kebakaran, atau Menteri Sosial Bachtiar Chamzah yang
terlibat kasus korupsi pengadaan sapi impor dan mesin jahit. Kasus pejabat yang
melakukan korupsi itu belum termasuk kasus - kasus korupsi yang melibatkan para
pejabat negara di tingkat provinsi dan kabupaten atau kotamadya, seperti contoh
kasus Korupsi yang melibatkan mantan gubernur Kalimantan Timur, kasus korupsi
yang melibatkan mantan Bupati Bojonegoro M. Santoso, dan masih banyak lagi.
Dari sekian banyak kasus yang terdeteksi oleh KPK (Komisi Pemberantasan
Korupsi) semua proses pemeriksaan dan penyelidikan terkesan lamban. Ketika ada
laporan pengaduan dari masyarakat mengenai adanya indikasi pelanggaran hukum
penyidik terkesan lambat dalam menanggapinya, contoh kasus ketika Ketua MK
Mahfud MD yang melaporkan M. Nazarrudin yang diduga mencoba melakukan penyuapan
kepada Sekjen MK Djanedri M. Ghaffar pada bulan September 2010 lalu baru
diproses laporan dan baru heboh - hebohnya saat ini. Bandingkan dengan kasus
terbaru di Pamekasan seorang warga yang mencuri sehelai kain sarung dihukum 5
tahun penjara oleh hakim kejaksanaan negeri, atau kasus pencurian semangka yang
menghebohkan Kediri yang dihukum 5 bulan penjara. Kedua kasus itu langsung
secara cepat ditangani aparat hukum. Perbandingan hukuman yang amatlah mencolok
dan belum bisa dikatakan adil.
Reformasi
politik tahun 1998 membawa harapan baru terhadap bangsa ini termasuk
pemberantasan korupsi. Untuk pemberantasan korupsi yang sudah berurat berakar,
dibuatlah Undang - Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang berkali -
kali disempurnakan. Untuk melaksanakan undang - undang tersebut dibuat lembaga
baru bernama Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang bisa ditafsirkan sebagai
upaya melengkapi lembaga - lembaga penegak hukum yang sudah ada (Kepolisian dan
Kejaksaan), tetapi juga bisa diartikan sebagai ketidakpercayaan pada lembaga -
lembaga yang sudah ada, karena justru pada lembaga - lembaga penegakan hukum
yang sudah ada itulah korupsi tumbuh subur.
Keberadaan
KPK yang sering disebut sebagai lembaga “super body” karena kewenangannya yang
bisa melakukan apa saja telah membawa banyak “korban”. Dari mantan menteri,
Gubernur, anggota DPR hingga DPRD, Bupati dan Walikota, dan para pengusaha
besar berhasil dijebloskan ke dalam penjara karena kasus korupsi, sesuatu yang
sebelumnya sangat - sangat tidak mungkin terjadi. Sebuah surprise bagi sejarah
pemberantasan korupsi di Indonesia kalaulah bukan sejarah peradaban untuk
pertama kalinya besan Presiden SBY, yaitu Aulia Pohan masuk penjara meskipun
dengan hukuman yang termasuk sedikit “lebih ringan”. Itulah yang melengkapi
sekitar 500 pejabat publik Indonesia yang masuk penjara pasca reformasi.
Walaupun
banyak kritik yang ditujukan kepada KPK dengan mengatakan lembaga ini masih
mempraktikan kebijakan tebang pilih dalam menangani kasus - kasus korupsi,
tetapi tetaplah KPK merupakan insitusi yang paling ditakuti oleh para perampok
dan pencolong uang negara serta uang publik. Meskipun dalam prakteknya ada
beberapa serangan - serangan yang menyertai kinerja KPK, tentu kita masih ingat
dengan kasus hukum yang menimpa mantan Ketua KPK Antasari Azhar, dimana kala itu
Antasari begitu beraninya menebas para koruptor di Gedung DPR dan instansi
eksekutif, namun entah karena scenario atau karena memang benar - benar
bersalah harus mendekam di jeruji besi dengan tuduhan pembunuhan dimana bukti
di lapangan dengan fakta di persidangan adanya ketidak cocokan, misalkan dalam
hal peluru yang diduga digunakan pembunuhan yang berbeda dengan yang terjadi di
TKP dengan yang dihadirkan di persidangan. Beralih lagi ketika pimpinan KPK
lainnya Bibid Samad Rianto dan Chandra Hamzah yang terjerat kasus cicak buaya
jilid I.
Namun
akhir - akhir ini lembaga extra ordinary
crime yakni KPK tengah menjadi sorotan karena diobok - obok oleh oknum -
oknum yang tak bertanggungjawab. Setelah publik dibuat naik pitam dengan cicak
versus buaya jilid 1, muncul kembali cicak versus buaya jilid II. Dimana
diawali dari penarikan 20 penyidik Polri dari KPK hingga penangkapan secara
paksa penyidik andalan KPK Kompol Novel Baswedan pada jum’at 12 Oktober lalu
dikarenakan dugaan kasus pembunuhan pada tahun 2004. Kasus - kasus ini
melengkapi kasus sebelumnya dimana ada tarik ulur penanganan kasus dugaan
korupsi alat simulator SIM yang melibatkan Irjen Djoko Susilo seorang perwira
menengah POLRI.
Tak
hanya itu rencana revisi UU Keistimewaan KPK oleh DPR RI dengan menghilangkan
beberapa wewenang KPK diantaranya penyadapan dan penuntutan kian membuat KPK
terjepit dalam tekanan. Polemik antara KPK dan pemerintahan sendiri menjadi isu
yang sensitif selama 2 bulan ini. Di mulai dari penolakan anggaran pembangunan
gedung baru KPK hingga terakhir kasus cicak versus buaya jilid II. Memang
kejahatan korupsi merupakan musuh bersama tetapi dalam penanganannya tentu ada
pihak - pihak yang memang secara pencitraan dirugikan dan salah satunya dari
pihak pemerintahan itu sendiri.
Memang
membedah episentrum korupsi menurut Denny Indrayana sebelum menjadi Wakil
Menkumham mengatakan ada empat episentrum korupsi pertama di istana (dimana
meliputi eksekutif, legislatif, dan yudikatif), cendana (dimana keluarga
Suharto dan lingkarannya tidak pernah tersentuh), senjata (yaitu korupsi di
sekitar kekuasaan tentara dan polisi), dan pengusaha naga (para konglomerat dan
pengusaha yang hingga sekarang pun masih tetap ada). Profesor Amien Rais
sendiri menambahkan episentrum kelima pada perusahaan multi nasional
corporation yang menguras sumber - sumber kekayaan alam Indonesia dengan
menekuk tengkuk pemerintah sehingga selamanya Indonesia dibuat menjadi jongos.
Memang
korupsi di lembaga eksekutif, legislatif,dan yudikatif tidak isapan jempol
belaka, setidaknya ini dibuktikan dengan hasil survei kemitraan pada tahun 2010
di 27 provinsi di Indonesia pemerintah menempati urutan pertama sebesar 30%,
disusul parlemen dengan 18%, dan pengusaha 13%. Sedangkan kesimpulan dari
survei Kemitraan dalam hal tingkat korupsi di pada trias politica menunjukkan
lembaga Yudikatif di pusat 70%, 52% di daerah, eksekutif 32% di pusat, 44% di
daerah, dan legislatif 78% di pusat, serta 44% di daerah. Jadi bisa diambil
kesimpulan bahwa aktor dari tindakan korupsi dari pejabat negara (baik
eksekutif, legislatif,dan yudikatif), pegawai negeri (pusat dan daerah) serta
pengusaha.
Inilah
mungkin yang membuat pemerintah kelabakan karena KPK begitu leluasanya
mempreteli oknum - oknum pejabat pemerintahan yang terlibat korupsi sehingga
pemerintah seakan merasa perlu membuat pengawasan kepada KPK. Terlebih
pemerintah dibawah kendala Partai Demokrat dimana kadernya banyak yang terjerat
kasus korupsi pula. Hingga Juni 2010 berdasarkan penemuan ICW, terdapat 176
kasus korupsi di pusat dan daerah, dengan tersangka 411 orang, dan potensi
kerugian negara mencapai Rp 2.102.910.349.050. Bahkan jumlah kasus korupsi itu
meningkat menjadi 285 kasus hingga 2012 bulan Oktober ini.
Solusi
dari polemic antara KPK dan pemerintahan kami berpikir bahwa pemerintah selaku
penyelenggara negara harus berkomitmen untuk melaksanakan mandatnya dalam hal
pemberantasan korupsi. Dengan cara memberikan dukungan penuh kepada KPK untuk
melaksanakan tugasnya dan mengintervensi jika ada yang berniat menggembosi KPK
di tengah jalan. Sedangkan pada lembaga legislatif dukungan dalam hal pembuatan
peraturan yang mana memberikan keleluasaan bagi KPK untuk menjalankan tugasnya
merupakan bentuk dukungan nyata selaku lembaga yang berwenang dalam pembuatan
undang - undang. Sedangkan di yudikatif sinergisitas antar lembaga dengan KPK
sangat amat diperlukan, karena pemberantasan korupsi tidak sepenuhnya menjadi
tanggungjawab KPK, terutama dalam hal penyidik dan penuntutan.
Sedangkan
bagi masyarakat sipil seperti telah tercantum di dalam UU Tindak Pidana Korupsi
disebutkan bahwa korupsi adalah kejahatan extra ordinary, kejahatan luar biasa.
Maka melawannya juga harus dengan komitmen, semangat, dan upaya - upaya yang
luar biasa. Gerakan - gerakan sosial di jejaring sosial, aksi - aksi dukungan
di berbagai daerah merupakan dukungan secara moril bagi pelaksanaan tugas KPK
itu sendiri.
Diharapkan
dari dukungan moril dari masyarakat sipil ini maka pemerintah selaku induk dari
institusi - institusi juga lebih responsive dan memberikan win - win solution
bagi kemaslahatan bersama. Hal ini dikarenakan KPK lahir dari semangat
mereformasi birokrasi oleh rakyat yang sudah kecewa dalam kinerja lembaga -
lembaga hukum yang ada.
DAFTAR PUSTAKA
Hartiningsih,
Maria dkk, 2011. Korupsi yang Memiskinkan.
Jakarta : PT Kompas Gramedia
Supeno, Hadi, 2009. Korupsi
di Daerah. Yogyakarta : Total Media
Tim
KPK, 2011. Pahami Dulu Baru Lawan. Jakarta
Analisis Kompas 19 April 2013 Melalui Perspektif Pemerintahan dan Komunikasi Politik
Di tengah isu - isu
nasional yang meruncing dan semakin hangat seperti kenaikan harga BBM dan carut
marut pelaksanaan UN Presiden SBY membuat gempar bukan karena kebijakan untuk
mengatasi keduanya, namun isu politik yang terkait parpolnya. Jabatan sebagai
Ketua Umum, Ketua Majelis Tinggi, Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat sekaligus
Presiden tampaknya benar - benar menguras tenaga dan menjadi “alat” untuk
beralasan tak dapat focus di dalamnya. Keterangan SBY di Istana Kepresidenan di
tengah isu kenaikan harga BBM dan permasalahan UN akan sangat dinantikan,
mengapa demikian karena beliau selaku kepala negara sekaligus kepala
pemerintahan secara penuh harus bertanggungjawab di dalamnya. Namun yang
terjadi justru sebaliknya, di tengah isu tersebut hal yang disampaikan Presiden
justru permasalahan mengenai Parpol dimana isu tentang Yenny Wahid, putri
Almarhum Gus Dur, dimana desas desusnya Yenny bergabung ke Demokrat dan ingin
menjabat sebagai Wakil Ketua Umum.
Presiden sebagai Kepala
Pemerintahan mempunyai tugas untuk menjalankan pemerintahan sebagaimana yang
telah tercantum dalam konstitusi. Sebagai pemimpin tentu merupakan milik semua
golongan yang ada, tidak etis tentunya ketika Presiden berbicara mengenai
permasalahan kelompok atau golongannya di tempat atau fasilitas milik negara
seperti Istana Kepresidenan. Dalam kasus tersebut dapat dianalisis dari dua
disiplin ilmu, ilmu politik dan ilmu pemerintahan.
Namun sebelum melangkah
jauh mengenai analisis dua ilmu tersebut, kami akan menjelaskan terkait
pemerintahan, karena ini berkaitan dengan tugas dan wewenang seorang Presiden
sebagai Kepala Pemerintahan. Pemerintahan berasal dari kata “perintah” yang
setelah ditambah awalan “pe” menjadi pemerintah, dan ketika ditambah akhiran
“an” menjadi pemerintahan, dalam hal ini beda antara “pemerintah” dengan
“pemerintahan” adalah karena pemerintah merupakan badan atau organisasi yang
bersangkutan, sedangka pemerintahan berarti perihal ataupun hal ikhwal
pemerintahan itu sendiri.
Menurut Soemendar
pemerintahan sebagai badan yang penting dalam rangka pemerintahannya,
pemerintah harus memperhatikan pula ketentraman dan ketertiban umum, tuntutan,
dan harapan serta pendapat rakyat, kebutuhan dan kepentingan masyarakat,
pengaruh - pengaruh lingkungan, pengaturan - pengaturan, komunikasi peran serta
seluruh lapisan masyarakat dan organisasi.
Jadi dari sini
disimpulkan makna Presiden sebagai Kepala Pemerintahan dimana Presiden menjadi
pemimpin untuk melayani masyarakat dengan aturan - aturan hukum yang ada serta
partisipasi dari masyarakat itu sendiri.
Ilmu politik mengkaji
input sistem politik karena para aparat eksekutif dan legislatif merupakan para
actor partai politik. Presiden SBY termasuk di dalamnya merupakan actor politik
dikarenakan beliau berasal dari sebuah parpol untuk menuju jabatannya sebagai
Presiden. Namun di sisi lain sebagai Presiden tentu beliau merupakan Kepala
Pemerintah. Sebagaimana kita ketahui menurut Ponsioen, pemerintah memegang
peranan penting dalam pembangunan nasionalnya, yaitu dalam menentukan
kebijaksanaan tersebut. Pada proses penetapan kebijaksanaan umum itulah yang
disebut pemerintah. Dengan demikian
telah terlihat bahwa penetapan kebijaksanaan adlah fungsi politik yang
dijalankan pemerintah, pelaksanaannya adalah fungsi adminstrasi yang dijalankan
oleh pemerintah.
Dari sini proses
keterangan SBY yang menyangkut berita Yenny Wahid bergabung Demokrat merupakan
suatu proses politik dimana ini hanya terkait beberapa golongan saja. Namun
menyampaikannya di fasilitas negara seperti Istana Kepresidenan merupakan
konflik status antara Presiden dengan jabatan di Parpol. Sebagai seorang
Presiden yang menyampaikan keterangan di Istana Kepresidenannya, sebaiknya
tidak menyinggung parpolnya. Sangat bertolak belakang tentunya ketika
keterangan yang disampaikan SBY yang terkait Parpol, kekuasaan sebagaimana
objek forma dari ilmu politik disampaikan pada Istana Kepresidenan dengan
status “masih” Kepala Pemerintahan yang seharusnya mengedepankan objek forma
hubungan pemerintahan, gejala - gejala pemerintahan, peristiwa pemerintahan,
termasuk di dalamnya peristiwa isu kenaikan harga BBM dan carut marut UN.
Dr. Inu Kencana Syafiie
M.Si mengatakan bahwa pemerintahan tidak hanya memiliki disiplin ilmu, tetapi
juga harus memiliki disiplin akan moral, etika, dan seni kepemimpinan. Apa
jadinya pemerintah kalau pada pemimpin pemerintahannya melakukan kesewenangan,
penyalahgunaan kekuasaan karena pada setiap kepemimpinan pasti akan
dipertanggungjawabkan di hadapan Tuhan Yang Maha Esa kelak.
Analisis kedua tentu
membedahnya dari pendekatan institusionalisme dalam ilmu politik. Seperti kita
ketahui pemerintah merupakan sebuah insititusi yang hadir karena adanya sistem
politik dimana di dalamnya. Nah dalam pendekatan institusionalisme baru menurut
Peters 1999 salah satunya institusionalis normative dimana ini mempelajari
norma dan nilai yang dikandung dalam suatu insititusi politik maupun institusi
yang terbentuk akibat perilaku politik (pemerintah, negara). Di dalamnya
terdapat suatu etika, dimana etika tersebut berbicara mengenai pantas atau
tidak pantasnya seseorang actor politik terlebih merupakan seorang Kepala
Pemeritahan atau pemimpin negara yang “lupa” akan etikanya.
Disini tentu pendekatan
institusionalisme ala Peters ini dapat dijadikan analisis untuk membedahnya.
Jika kembali pada dua disiplin yang disampaikan sebelumnya dimana disiplin ilmu
politik dan ilmu pemerintahan yang mana di dalamnya mengatur objek forma dan
sebagainya, tentu dapat dikatakan apa yang dilakukan SBY salah tempat.
Mengingat saat itu beliau masih merupakan “Presiden” selaku Pimpinan
pemerintahan bukan sebagai politisi.
Berkaitan dengan etika
seorang politisi Alfan Alfian mengatakan politisi bukanlah profesi seperti
halnya dokter, akuntan, pengacara, atau pengebor sumur pompa. Politisi
merupakan pejuang yang memperjuangkan visi dan misi politik yang diyakininya.
Dimana politisi berjuang meraih dan mempertahankan kekuasaan, dimana menurut
filsuf Yunani Plato, kekuasaan itu yang ideal adalah alat untuk menyejahterakan
masyarakat.
Kaitanya dengan dari
analisis keterangan SBY tadi disini sebagai seorang politisi juga tentu jika
memiliki visi misi yang cakap dimana saat itu rakyat dibingungkan dengan
berbagai isu terkait kenaikan harga BBM dan carut marut UN sudah seharusnya
beliau tampil untuk mengedepankan kepentingan masyarakat daripada kepentingan
golongannya untuk meraih kekuasaan.
Analisis ketiga dari
kasus SBY ini bisa jadi merupakan pengalihan isu yang ada. Mungkin tidak benar
100% jika SBY tidak dapat membedakan posisinya sebagai Presiden atau jabatannya
di parpol saat itu. Mengapa demikian? Jika kita telaah di saat ada persoalan
yang tengah hangat dibicarakan bukan kali pertama hal itu terjadi, alih isu
dari sebelumnya membahas mengenai kenaikan harga BBM dan carut marut UN menjadi
isu Parpol Demokrat sangat lumrah terjadi di bidang politik.
Peristiwa pidato
menyampaikan keterangan kepada pers dalam hal yang wajar dan terkesan lumrah.
Namun hal ini baru dikatakan istimewa ketika yang menyampaikannya adalah orang
- orang yang memiliki kekuasaan dan wewenang di negara termasuk Presiden SBY
sendiri. Terlebih itu disampaikan melalui beberapa media dan diulang - ulang.
Menurut Dan Nimmo pengalihan isu dalam komunikasi politik sangatlah lumrah
terjadi, bagaimanapun media juga harus dituntut objektif tak hanya “menjual”
berita baru yang dirasa lebih diminati orang, dibandingkan memproposisikan
berita yang sebelum ada isu tersebut. Karena selama ini di Indonesia ketika ada
isu - isu yang belum terselesaikan dan belum ada jalan keluarnya selalu ada isu
publik lain yang menjadi konsumsi dan seakan melupakan isu yang lama.
Di akhir analisis ini
kami selaku penulis ingin menarik kesimpulan dari beberapa pandang sudut
analisis di atas. SBY merupakan pemimpin pemerintahan Indonesia sudah
seharusnya tidak terjebak dalam konflik status dimana selain menjadi Presiden
di sisi lain menjadi Ketua Umum, Ketua Majelis Tinggi dan Ketua Dewan Penasehat
Partai Demokrat. Terlebih ketika masih berada di ranah negara menggunakan
fasilitas negara seperti Istana Kepresidenan alangkah beretikanya seorang
pemimpin memberi contoh menggunakannya untuk kepentingan negara bukan
kepentingan parpolnya. Supaya apa yang beliau lakukan tidak dicontoh oleh para
pejabat eksekutif dan legislatif lainnya.
Pada akhirnya memang
ketika “pelanggaran” etika yang dilakukan Presiden ini memang tak cukup kuat
untuk diteruskan ke jalur hukum, bahkan tak kan bisa untuk dijerat hukum. Tapi
ketika etika telah dilanggar maka sanksi sosial-lah yang akan berbicara, bahkan
terkadang sanksi sosial itu lebih kejam dan lebih jera daripadi sanksi hukum
biasa.
DAFTAR
PUSTAKA
Alfian, Alfan, 2012.
Kekuatan Pemimpin. Jakarta : Kubah Ilmu
Marsh, David, Stoke, Gerry, 2010. Teori dan Metode
Dalam Ilmu Politik. Bandung : Nusa Media
Mondry,2010.
Diktat Pengantar Sosiologi. Malang
Nimmo, Dan, 1993. Komunikasi Politik :
Komunikator, Pesan, dan Media. Bandung : PT Remaja Rosdakarya
Poerwadarminta,
W.J.S, 1976. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta : Balai Pustaka
Syafiie, Inu Kencana, 2011. Etika Pemerintahan.
Jakarta : PT Rineka Cipta
Teori New Public Service
Janet V. Denhardt dan
Robert B. Denhardt memberikan model alternatif yang disebut dengan new public
service, dimana model new public service ini menurut Janet dan Robert Dendhardt
menekankan pada empat pemikiran post - positivism, yaitu teori democratic citizenship, model of community and civil society
atau model komunitas dan masyarakat sipil (masyarakat madani), organizational humanism and new public
administration atau humanisme organisasi dan new public administration, dan terakhir post modern public
administration.
Model kewarganegaraan
demokratik memandang warga negara bukan sebagai entitas dan objek sistem hukum
yang diatur dan dikendalikan oleh hak dan kewajiban legal. Teori ini
menempatkan warga negara sebagai aktor politik aktif yang berpotensi
mempengaruhi sistem politik. Negara ada, menurut pandangan ini untuk menjamin
hak warga negara membuat pilihan sesuai dengan kepentingannya dengan aturan
tertentu.
Sementara model
community and civil society beragumen bahwa komunitas - komunitas yang plural
harus dijaga dari dominasi kelompok atau sistem, agar identitasnya tetap
terlindungi. Namun pluralism etnis misalnya, jangan pula menimbulkan konflik
sehingga untuk mengatasinya, diperlukan pembentukan koalisi besar, mediasi dan
negosiasi. Karena itu, menurut Gardner komunitas harus dicirikan dengan “caring, trust, and teamwork” (Denhardt
dan Denhardt, 2007 : 33). Dari sudut politik, mereka merasa tak berdaya karena
negara telah tersandera oleh kepentingan asing, pengusaha, dan politik atau
kepentingan partai, kelompok, dan birokrasi.
Pada organizational
humanism and new public administration, merupakan gerakan intelektual yang
tidak puas dengan asumsi dasar OPA dan NPM. Gerakan administrasi publik baru,
sangat dipengaruhi oleh paradigm kritis, konstruktivis, dan interpretif dalam
yang bermuara pada paradigma humanistic atau post-positivism. Mereka berasumsi,
ilmu - ilmu sosial berbeda dengan ilmu alam. Dari sudut aksiologis, ilmu tidak
bisa dilepaskan dari nilai. Realitas, secara epistimologis adalah hasil
konstruksi bersama antara peneliti dengan yang diteliti. Tujuan ilmu bukan
menjelaskan, mengontrol dan meramalkan melainkan pemahaman dan dengan tujuan
untuk melakukan transformasi sosial yang lebih adil dan demokratis. Karena itu,
administrasi publik baru ini disebut sebagai “dialectial organization” atau “consociated
model” dimana dijelaskan Denhardt dalam bukunya in shadow of organization.
Pemikiran berikutnya
dari paradigm NPS adalah “postmodernism” yang mengubah pandangan dari kajian
organisasi yang bebas nilai menjadi value-bound. Studi tentang administrasi
publik didekati dengan pendekatan yang kini lebih sensitif terhadap nilai,
bukan hanya fakta, sensitif terhadap makna subjektif manusia, bukan hanya
perilaku objektif dalam setting interaksi sosial yang dinamis. Cara pandangan
pendekatan ini adalah “government must
increasing be based on sincere and open discourse among all parties, including
citizens and administrators”, para pendukung teori posmo punya perhatian
yang menekankan pada wacana (discourse) yang membuka proses inter-subjektivitas
manusia dalam konteksi dinamika organisasi.
Paradigma NPS
mengandung karakteristik berikut, (1), helping
citizens articulate and meet their shared interests. (2), building a collective, shared notion of the
public interest. (3), acting
democratically through collective efforts and collaborative processes. (4),
serving citizens, not customers. (5),
paying attention to statutory and
constitutional law, community values, political norms, professional standars
and citizen interest. (6) Valuing
people, not just productivity. (7) valuing citizenship and public service above
entrepreneurship.
Sementara itu Denhardt
dan Denhardt mengajukan karakteristik NPS ke dalam tujuh prinsip. Pertama, serve citizen, not customers.
Kepentingan publik merupakan hasil dialog atas nilai yang dimiliki bersama
daripada agregasi kepentingan diri perseorangan. Karenanya, pelayanan publik
tidak hanya lagi berfokus pada hubungan kepercayaan merespons tuntutan
“pelanggan”, tetapi yang lebih penting dan kerja sama dengan dan di antara
warga negara.
Kedua, seek the public interest. Dimana
administrator publik harus mampu membangun ikatan kolektif dan pandangan
bersama tentang apa yang disebut kepentingan publik. Salah satu prinsip inti
dari Layanan Publik Baru adalah penegasan kembali sentralitas kepentingan
publik dalam pelayanan pemerintah. The New Public Layanan menuntut bahwa proses
pembentukan "visi" bagi masyarakat adalah bukan sesuatu yang hanya
untuk diserahkan kepada para pemimpin politik yang terpilih atau ditunjuk administrator
publik. Sebaliknya, aktivitas membangun visi atau arah, mendefinisikan
nilai-nilai bersama, adalah sesuatu yang luas dialog publik dan musyawarah
adalah pusat. Bahkan lebih penting, kepentingan umum tidak sesuatu yang hanya
"terjadi" sebagai hasil dari interaksi antara individu warga pilihan,
prosedur organisasi, dan politik pemilu. Sebaliknya, mengartikulasikan dan mewujudkan
kepentingan umum adalah salah satu utamaalasan pemerintah ada.
Ketiga, value citizenship over entrepreneurship.
Kepentingan publik lebih baik dikedepankan oleh pelayan publik dan warga neagra
yang berkomitmen memberi kontribusi yang berarti bagi masyarakat ketimbang
manajer entrepreneurial (wirausaha)
yang bertingkah seolah - olah uang publik adalah miliknya.
Keempat, think strategically, act democratically.
Kebijakan dan program memenuhi kebutuhan publik yang dicapai paling efektif dan
bertanggungjawab melaui proses dan usaha kerjasama kolektif.
Dalam layanan publik
yang baru, ide ini tidak hanya untuk membangun visi dan kemudian meninggalkan
pelaksanaannya kepada mereka dalam pemerintahan, melainkan untuk bergabung
bersama-sama semua pihak dalam proses baik merancang dan melaksanakan
program-program yang akan bergerak ke arah yang diinginkan. Melalui
keterlibatan dalam program sipil pendidikan dan dengan membantu untuk
mengembangkan berbagai pemimpin sipil, pemerintah dapat merangsang rasa baru
kebanggaan warga dan tanggung jawab sipil.
Kelima, recognize that accountability isn’t simple.
Pelayan publik harus lebih menarik daripada pasar. Mereka juga harus taat pada
undang - undang dan hukum, nilai yang dianut komunitas, norma politik, standar
etika professional dan kepentingan warga negara.
Keenam, serve rather than steer. Penting bagi
pelayan publik untuk berbagi, kepemimpinan berdasar nilai dalam membantu warga
negara untuk mengungkapkan dan memenuhi kepentingan mereka ketimbang mengontrol
mereka atau mengendalikan mereka menuju arah baru yang belum tentu menjadi
bagian dari kepentingan mereka.
Serta terakhir yang
ketujuh, value people, not just
productivity. Organisasi publik dan jaringannya yang partisipatif akan
lebih berhasil dalam jangka panjang bila mereka bekerja lewat proses kerjasama
dan mengacu pada kepemimpinan bersama berdasarkan saling menghormati tanpa
deskriminasi.
DAFTAR
PUSTAKA
Denhardt, Janet V. and Denhardt, Robert B. 2007. The New Public Service. London : M.E.
Sharpe Inc
Siswadi, Edi, 2012. Birokrasi Masa Depan : Menuju
Tata Kelola Pemerintahan yang Efektif dan Prima. Bandung : Mutiara Press
Ironi Pengelolaan Migas di Bawah BP Migas
Indonesia dianugerahi
oleh Tuhan sebagai negara yang kaya akan sumber alam baik yang terdapat di
dalam perut bumi maupun yang di luar bumi, baik di darat maupun di laut. Tengoklah
seberapa kekayaan Indonesia bahkan ada istilah di negara ini gemah rimah loh jinawe dengan segala
kekayaannya “harusnya” rakyat Indonesia berada di kecukupan. Di darat kita
punya kekayaan luar biasa hasil pertanian, perkebunan, hutan dengan kayunya, belum
lagi sumber daya alam lain yang bernilai
mahal seperti batu bara, minyak bumi, gas bumi, timah, emas, bahkan uranium
yang digunakan sebagai bahan pembuat nuklir merupakan beberapa di antaranya
dari kekayaan Indonesia di darat. Di laut kita punya hasil perikanan yang
begitu melimpah, beberapa spesies ikan langka ada di perairan nusantara
ini. Belum lagi keindahan pesona bawah
laut Indonesia dengan terumbu karangnya konon merupakan salah satu yang terbaik
di dunia, tak hanya itu di laut pun sumber minyak bumi juga di dapat. Pendek
kata Indonesia ini surga kecil di dunia.
Berbicara mengenai
kekayaan alam di Indonesia, ada salah satu komoditi utama penyumbang devisa dan
pendapat negara bernama minyak dan gas bumi. Tercatat Indonesia merupakan salah
satu negara penghasil minyak bumi di dunia dimana minyak bumi yang dihasilkan
dari eksplorasi dari tahun ke tahun tampak fluktuatif. Pada tahun 2010
berdasarkan data dari Kementerian ESDM, Indonesia memroduksi minyak bumi
sebesar 344.836 ribu barel per harinya, tahun 2011 mencapai 329.249 ribu barel
per hari, dan tahun 2012 di semester pertama mencapai 163.633 ribu barel per
hari. Dengan perkiraan cadangan minyak bumi mencapai 7,73 milyar barel di tahun
2011.
Bersama dengan itu
lembaga legislatif membuat suatu aturan hukum berbentuk undang – undang
sebagaimana tertuang dalam UU No. 22 tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi. Dimana
disebutkan pada Pasal 3 UU No. 22 tahun 2001 tersebut penyelenggaraan usaha
minyak dan gas bumi antara lain bertujuan untuk:
1. Menjamin
efisiensi dan efektivitas bahan minyak dan gas bumi sebagai sumber energi dan
bahan baku untuk kebutuhan dalam negeri
2. mendukung
dan menumbuhkembangkan kemampuan nasional untuk lebih mampu bersaing di tingkat
nasional, regional, dan internasional
3. meningkatkan
pendapatan negara untuk memberikan kontribusi yang sebesar-besarnya bagi
perekonomian nasional dan mengembangkan serta memperkuat posisi industri dan
perdagangan Indonesia
4. menciptakan
lapangan kerja, meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat yang adil dan
merata, serta tetap menjaga kelestarian lingkungan hidup
Dimana dalam
pengaplikasiannya menurut undang – undang tersebut, pemerintah membentuk suatu
badan pelaksana sebagai pengendalian kegiatan hulu minyak dan gas bumi, sebagaimana
tercantum pada Pasal 1 ayat 23. Adapun kegiatan usaha hulu berdasarkan UU No.
22 tahun 2001 pasal 6 ayat 1 meliputi kontrak kerjasama. Kontrak kerjasama ini
memuat persyaratan sebagaimana berikut
a. kepemilikan
sumber daya alam tetap di tangan Pemerintah sampai pada titik penyerahan
b. pengendalian
manajemen operasi berada pada Badan Pelaksana
c. modal
dan risiko seluruhnya ditanggung Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap
Sebagai implementasi
dari UU No. 22 tahun 2001 Pasal 1 ayat 23 ini maka pemerintah membuat badan
pelaksana hulu usaha minyak dan gas bumi yang dinamakan BP Migas melalui
Peraturan Pemerintah No 42 tahun 2002. Adapun tugas dari BP Migas sebagaimana
dalam PP No. 42 tahun 2002 pasal 11 antara lain
a. memberikan
pertimbangan kepada Menteri atas kebijaksanaannya dalam hal penyiapan dan
penawaran Wilayah Kerja serta Kontrak Kerja Sama;
b. melaksanakan
penandatanganan Kontrak Kerja Sama
c. mengkaji
dan menyampaikan rencana pengembangan lapangan yang pertama kali akan
diproduksikan dalam suatu Wilayah Kerja kepada Menteri untuk mendapatkan
persetujuan
d. memberikan
persetujuan rencana pengembangan lapangan selain sebagaimana dimaksud dalam
huruf c
e. memberikan
persetujuan rencana kerja dan anggaran
f. melaksanakan
monitoring dan melaporkan kepada Menteri mengenai pelaksanaan Kontrak Kerja
Sama
g. menunjuk
penjual Minyak Bumi dan/atau Gas Bumi bagian negara yang dapat memberikan
keuntungan sebesar-besarnya bagi negara
Dari tugas tersebut BP Migas memiliki wewenang
antara lain :
- membina kerja sama dalam rangka terwujudnya
integrasi dan sinkronisasi kegiatan operasional KKKS
- merumuskan kebijakan atas anggaran dan program
kerja KKKS
- mengawasi kegiatan utama operasional kontraktor KKKS
- membina seluruh aset KKKS yang menjadi milik negara
- melakukan koordinasi dengan pihak dan/atau
instansi terkait yang diperlukan dalam pelaksanaan Kegiatan Usaha Hulu
Adapun KKKS
merupakan Kontraktor Kontrak Kerja Sama terdiri dari perusahaan luar dan dalam
negeri, serta joint-venture antara perusahaan luar dan dalam negeri. Daftar ini
selalu berkembang, mengikuti dari tender konsesi yang dilakukan oleh BP Migas
setiap tahunnya.
Berdasarkan UU No. 22 tahun 2001 dari pasal Pasal 1 angka 23, Pasal 4 ayat (3), Pasal 41 ayat (2),
Pasal 44, Pasal 45, Pasal 48 ayat (1), Pasal 59 huruf a, Pasal 61, dan Pasal 63
UU Migas bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum
mengikat. Pada pasal 44 UU Migas dan dijabarkan kembali pada PP No. 42 tahun
2002 pasal 11 disebutkan salah satu tugas dari BP Migas yaitu menandatangani
kontrak kerjasama dan menunjuk penjual minyak dan gas bumi bagian negara yang
dapat memberikan keuntungan sebesar-besarnya bagi negara. Jelas hal itu
bertentangan dengan UUD 1945 Pasal 33 ayat dimana disebutkan “cabang – cabang
produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak
dan dikuasai oleh negara”. Serta ayat 3 disebutkan bumi dan air dan kekayaan
alam yang terkandung didalamnya
dikuasai oleh negara dan digunakan untuk sebesar – sebesar kemakmuran rakyat.
Maka dari itu dilakukan pengajuan
Judicial Review oleh 30 tokoh dan 12 organisasi kemasyarakatan (ormas), di
antaranya Ketua Umum PP Muhammadiyah Din Syamsuddin,
Lajnah Siyasiyah Hizbut Tahrir Indonesia, PP Persatuan Umat Islam, PP Syarikat
Islam Indonesia, PP Lajnah Tanfidziyah Syarikat Islam, PP Al-Irsyad
Al-Islamiyah, PP Persaudaraan Muslim Indonesia, Pimpinan Besar Pemuda Muslimin
Indonesia, Al Jamiyatul Washliyah, Solidaritas Juru Parkir, Pedagang Kaki Lima,
Pengusaha dan Karyawan (SOJUPEK), Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim
Indonesia, dan IKADI. Mereka menilai UU Migas membuka liberalisasi
pengelolan migas karena sangat dipengaruhi pihak asing. Para tokoh itu dibantu
oleh kuasa hukum Dr Syaiful Bakhri, Umar Husin, dengan saksi ahli Dr Rizal Ramli,
Dr Kurtubi dan lain-lain.
Sebagai langkah keluarnya putusan MK Nomor
36/PUU-X/2012 tanggal 13 November 2012, maka
pemerintah membuat suatu Keputusan Presiden No. 9 tahun 2013 untuk membentuk Satuan Kerja Sementara Pelaksana Kegiatan Usaha
Hulu Minyak dan Gas Bumi (SK Migas).
Wewenang dan Peran MK
Memang
pembubaran lembaga negara bernama BP Migas ini menuai pro kontra di kalangan
masyarakat khususnya bagi para pengusaha migas. Konon keberadaan BP Migas itu
menguntungkan mereka khususnya investor perusahaan migas asing. Jika ditelisik
memang keputusan pembubaran BP Migas oleh MK sendiri tak asal ngawur, sebagai
lembaga yudikatif yang diberikan wewenang untuk menegakkan konstitusi.
Sebagaimana
tercantum pada Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 memberikan empat wewenang kepada
Mahkamah Konstitusi, yaitu: a. Memutus pengujian undang-undang terhadap
Undang-Undang Dasar; b. Memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang
kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar; c. Memutus pembubaran partai
politik; dan d. Memutus perselisihan hasil Pemilu.
Sesuai
dengan wewenang MK maka dapat dijabarkan bahwa peranan MK antara lain
1) pengawal
konstitusi (the guardian of the constitution);
2) penafsir
final konstitusi (the final interpreter of the constitution);
3) pengawal
demokrasi (the guardian of the democracy);
4) pelindung hak konstitusional warga
negara (the protector of the citizen’s constitutional rights) dan hak asasi
manusia (the protector of human rights).
Wewenang
Mahkamah Konstitusi menguji undang-undang dapat dilihat sebagai upaya
melindungi hak asasi manusia dan hak konstitusional warga negara yang dijamin
UUD 1945 agar tidak dilanggar oleh ketentuan undang-undang. Jika ketentuan
suatu undang-undang telah melanggar hak konstitusional warga negara, maka dapat
dipastikan tindakan penyelenggara negara atau pemerintahan yang dilakukan
berdasarkan ketentuan tersebut juga akan melanggar hak konstitusional warga
negara. Oleh karena itu, kewenangan pengujian tersebut sekaligus mencegah agar
tidak ada tindakan penyelenggara negara dan pemerintahan yang melanggar hak
konstitusional warga negara.
DAFTAR PUSTAKA
Akil Mochtar. 2011. Peran Mahkamah Konstitusi Dalam Negara yang
Demokratis. Jurnal Konstitusi, 13 (1) : 5-7
http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/
Terkoyaknya Kedaulatan Negara Akan Migas
Judul
Buku : Dibawah Bendera
Asing
Penulis : M. Kholid Syeirazi
Penerbit : LP3S
Tebal
halaman : 328 halaman
Edisi
cetak : Juli 2009
Resensator : Avirista Midaada
“Untuk mereka yang menjadi korban”
Sebuah kalimat yang
mengawali buku ini yang tentu membuat setiap orang yang membaca satu kalimat
tersebut merinding. Bagiamana tidak dari buku ini pembaca akan diajak terbang
untuk “di-brain wash” mengenai sumber
daya alam “emas hitam” yang selama ini menjadi tumpuan energi di berbagai
dunia, termasuk Indonesia.
Ketahanan energi merupakan komponen yang
fundamental untuk setiap Negara. Minyak merupakan salah satu sumber bahan bakar
serba guna yang pernah ditemukan manusia dan memacu jantung ekonomi industri
modern. Bahkan pada saat perang Arab-Israel 1973, Negara-negara Arab
menggunakan minyak sebagai sebagai senjata politik. Bangsa Arab dipimpin Arab
Saudi bersatu menjatuhkan sanksi embargo minyak kepada pihak-pihak yang memihak
Israel dalam perang Yon Kippur. Embargo tersebut membuat harga minyak dunia
menjadi lima kali lipat dari US$ 2,5 menjadi US$ 12 per barel, dan memicu
resesi ekonomi dunia.
Amerika Serikat adalah Negara yang paling
kecanduan akan minyak (addicted to oil). Sebagai konsumen
energi terbesar dunia, AS butuh jaminan pasokan (security
of supply) negara-negara pemilik cadangan minyak, karena cadangannya
sendiri semakin menipis (tersisia 29,4 miliar barel). Produksi menurun (tinggal
sekitar 5,1 juta bph) sementara konsumsi terus meningkat (mencapai 20,7 juta
bph) menempatkan AS harus merancang skenario Liberalisasi industri minyak
seluruh dunia, termasuk Indonesia.
Undang-undang Migas No 22/2001, berdasarkan
kesimpulan analisis penulis, dengan berbagai teori sosial dan berbagai
pengakuan terbuka lembaga-lembaga donor seperti USAID dan ADB dengan dukungan
Bank Dunia dan IMF, merupakan salah satu koleksi undang-undang liberal yang
mensibikan kedaulatan dan merelatifkan makna penguasaan Negara terhadap
cabang-cabang produksi yang penting bagi Negara dan menguasai hajat hidup orang
banyak. Dibaliknya terdapat kepentingan-kepentingan donor asing dan berdiri
tegap kartel-kartel raksasa minyak dunia yang berkepentingan terhadap liberalisasi
sektor migas Indonesia.
Arti penting liberalisasi industri migas
Indonesia bagi Amerika Serikat adalah “penguasaan asing”. Perusahaan-perusahaan
minyak berbendera Amerika Serikat mendominasi 85 persen di bisnis hulu minyak
bumi (eksplorasi dan ekslpoitasi) dan 70 persen di bisnis hulu gas bumi.
Kontrol tersebut makin paripurna jika bisnis di sketor hilir dibuka lebar. Pangsa
pasar BBM domestik sangat besar, sehingga pemain-pemain asing dapat
berpartisipasi menjual BBM eceran ke 220 juta penduduk Indonesia.
Pemerintah pun kala itu merupakan aktor besar
yang mengajukan RUU migas dengan berbagai macam dalih dan alasan. Beberapa
diantaranya adalah (1) Pertamina harus turut bersaing di industri minyak global
sehingga harus “disamaratakan” dengan industri migas global lainnya dengan cara
melepas monopoli kuasa terhadap sumber minyak dalam negeri dan (2) sudah
terlalu merajalelanya korupsi di internal Pertamina sehingga harus segera
digantikannya UU no 8/1971 dengan UU baru, yaitu UU migas. Padahal untuk dalih
yang pertama dengan melepas menopoli pertamina (1) masih tidak ada jaminan akan
kemanan pasokan minyak dalam negeri karena dengan masuknya perusahaan asing
dalam negeri, mereka lebih memilih mengekspor olahan minyaknya ke luar negeri
ketimbang Indonesia dikarenakan harga yang lebih mahal jika dijual ke luar
negeri. Kemudian dalih kedua (2) fakta menyatakan korupsi Pertamina yang
menggerogoti perusahaan minyak nasional telah berlangsung sejak Order baru
berkuasa, bukan setelah terbitnya UU 8/1971. Jadi akar masalah bukan pada UU
8/1971, tetapi struktur dan mental birokrasi yang kedap akan reformasi.
Beberapa implikasi dari diterapkannya UU 22/2001
tentang migas adalah
1. Implikasi paling
mendasar adalah, Negara kehilangan alat untuk menjami keamanan pasok (security of supply) BBM atau BBG dalam
negeri karena kontrol cadangan dan produksi migas sudah tidak berada di tangan
BUMN migas. Akibatnya krisis bahan bakar migas selalu membayangi sektor energi
nasional.
2. Pertamina dirombak
menjadi perusahaan skala usaha yang terpecah-pecah (unbundled), sementara
perusahaan-perusahaan minyak dunia lainnya makin terintegrasi secara vertical.
Mereka mencapai efisiensi dengan mengintegrasikan kegiatan sektor hulu
(eksplorasi dan eksploitasi) hingga sektor hilir (disitribusi, niaga,
pengolahan dsb)
3. Terjadinya
ketidakmenetukan iklim investasi sektor hulu migas karena kebijakan fiscal
yang mendukung. Bahasa simpelnya: investor harus membayar lebih untuk
eksplorasi wilayah cadangan minyak baru, padahal belum pasti ada atau tidak
minyaknya di wilayah tersebut. Indonesia satu-satunya Negara yang menerapkan
pembayaran pra-produksi
4. Dirombak Pertamina
sebagai PT (persero) lewat PP no 31 tahun 2003 juga memungkinkan privatisasi
Pertamina. Singkat kata Pertamina yang notanenenya merupakan perusahaan milik
negara dapat diperjualbelikan sesuka pemerintah.
5. Birokrasi baru semakin
ribet dan tidak investor friendly. Awalnya ketika UU
8/1971 diterapkan investor hanya perlu melewati satu instansi yaitu pertamina
sebelum eksplorasi, namun dengan adanya UU migas investor harus melewati
minimal 5 instansi sebelum melakukan pengeboran.
Masih banyak implikasi-implikasi nyata yang
ditimbulkan dengan diterapkannya UU No. 22 tahun 2001 tentang minyak dan gas
bumi yang tertuang dalam buku ini. Namun sebaiknya pembaca segera membaca
secara keseluruhan isi buku sehingga pengetahuan yang didapat bisa secara
holistik dan lebih komprehensif. Peresensi juga kemungkinan akan menuliskannya
dalam tulisan baru yang selengkapnya bisa dilihat di akhir dari tulisan ini.
Buku bersampul biru
dengan gambar cover desain tetesan minyak dengan lambang perusahaan-perusahaan asing
secara dominan dengan lambang pertamina yang dikecilkan sangat jelas
menggambarkan pengkerdilan Pertamina sebagai BUMN migas dalam negeri yang posisinya
semakin dilangkahi asing dalam menguasai sumber-sumber “emas hitam” dalam
negeri. Pemerintah sendiri yang seakan membiarkan Pertamina sebagai
perusahaan migas negara sendiri dilangkahi oleh asing. Bahkan negara seakan tak
mempunyai kedaulatan di negera sendiri pada sektor migas dengan lobi - lobi
politik yang dilakukan oleh perusahaan asing atas nama “demokrasi”.
Buku setebal 328 halaman ini memang terkesan
begitu berat ketika membacanya terlebih menjelaskan dari beberapa perspektif
ilmu seperti politik, ekonomi, kimia, administrasi, maupun hukum. Beberapa
perspektif keilmuan itu dijadikan oleh penulis menjadi satu buku yang berawal
dari sebuah tesis program pasca sarjana Ilmu Politik Universitas Indonesia.
Meski terkesan berisi ilmu - ilmu yang berat dan terkesan membosankan, namun
ketika dibaca bahasa penulis begitu sederhana dan terkesan santai sehingga
tidak membuat “ketegangan pada otak”. Hal ini tentu berimbas buku ini mudah
untuk dipahami oleh pembaca yang ingin belajar mengenai perminyakan nasional.
Alur yang digunakan cukup komprehensif dan
secara sistematis gampang dicerna oleh para pembaca terutama pelajar dan pemuda
yang haus akan pengetahuan kondisi Ibu Pertiwi kita saat ini. Kata-kata yang
digunakan juga tidak menjemukan dan data-fakta yang disajikan juga berasal dari
berbagai sumber terpercaya sehingga pembaca bisa memahami materi dari berbagai
sudut pandang.
Menurut resensator buku ini sangat
direkomendasikan bagi khususnya mahasiswa maupun masyarakat pada umumnya yang
tertarik membedah persoalan - persoalan tentang sumber daya alam minyak bumi
dan gas, pertambangan, politik, kebijakan publik, dan hukum terkait migas di
Indonesia ini. Alasannya, buku ini dapat dijadikan referensi untuk menumbuhkan
semangat belajar mengenai “kekayaan alam” Indonesia yang terkibiri di negeri
sendiri oleh kartel - kartel asing berkolaborasi dengan pemerintah
mengatasnamakan demokrasi untuk “kepentingan rakyat”. Berawal dari sinilah
semangat nasionalisme akan tumbuh yang nantinya akan menjadi modal kita untuk bersaing
dengan negara lain di tengah globalisasi ini, syukur - syukur mampu merebut
kembali kedaulatan negara yang terkoyak di sektor energi, pertambangan,
khususnya migas.
Berbicara mengenai kemerdekaan pasti tak dapat
dilepaskan dari yang namanya kedaulatan baik secara de jure maupun de facto,
termasuk dalam hal kedaulatan atas sumber daya alam di negara sendiri. Dan itu
sudah saatnya dimulai saat ini dengan menyebarkan pesan - pesan dari buku ini
setelah kit abaca. Supaya kemerdekaan kita akan berjalan “sepenuhnya” tanpa
harus terjajah oleh kapitalisme dan globalisme dengan dalih “demokrasi”.
Langganan:
Postingan (Atom)