Menurut Jujun S.
Suriasumantri (1996), bahwa semua ilmu pengetahuan sosial-budaya dan ilmu
pengetahuan alam, pada dasarnya memiliki tiga landasan utama, yaitu: Pertama,
Ontologi, yaitu membahas tentang
hakikat objek yang dikaji atau membahas tentang apa yang ingin diketahui atau
merupakan suatu kajian mengenai teori tentang hakikat ada. Berdasarkan objek
yang telah ditelaahnya, maka ilmu dapat disebut sebagai pengetahuan empirik
(nyata) yang berbeda dengan agama. Aspek
ontology inilah yang membedakan antara objek disiplin ilmu pengetahuan satu
dengan ilmu pengetahuan lainnya.
Kedua,
Epistemologi,
yaitu membahas secara mendalam proses
atau prosedur dalam memperoleh ilmu pengetahuan atau suatu ilmu pengetahuan
yang diperoleh melalui proses tertentu yang dinamakan metode keilmuan.
Diantara metode keilmuan adalah bersifat terbuka, objektif, logis dan
menjunjung kebenaran data di atas segala-galanya. Pada aspek epistemologi inilah
letak kegiatan dari penelitian ilmiah (scientific
research).
Ketiga, Aksiologi,
yaitu membahas tentang manfaat
(pragmatis) yang diperoleh dari pengetahuan bagi kehidupan manusia, atau
bagaimana keterkaitan antara pengetahuan dengan kaidah-kaidah moral dalam
kehidupan di masyarakat. Jadi, aspek
aksiologi lebih menyangkut dimensi fungsional suatu ilmu pengetahuan bagi
kehidupan. Menurut para ahli fungsi ilmu pengetahuan antara lain (a) fungsi
praktis, yaitu melakukan penyingkapan, mempelajari fakta, memajukan pengetahuan
guna melakukan berbagai perbaikan; (b) menetapkan hukum-hukum umum yang
meliputi perilaku kejadian dan objek oleh ilmu yang bersangkutan, sehingga
dapat mengkaitkan antara ilmu pengetahuan dengan beragam kejadian untuk membuat
prediksi ke depan secara benar, sehingga mempunyai manfaat yang tinggi bagi
kehidupan (Kerlinger, F., 2002). Jadi,
untuk membedakan jenis ilmu pengetahuan sosial satu dengan yang lain dapat
dilihat dari tiga aspek yaitu: Ontologi, Epistemologi dan Aksiologi.
Sedangkan tujuan ilmu
pengetahuan, baik ilmu pengetahuan sosial-budaya dan ilmu pengetahuan alam meliputi: (1) tujuan dasar ilmu, yaitu menjelaskan
fenomena-fenomena kehidupan, baik fenomena sosial atau alam secara sistematis, objektiv, logis
atau rasional; (2) tujuan lebih khusus,
yaitu memberikan penjelasan, pemahaman, prediksi atau peramalan dan kontrol
atau pengendalian. (Kerlinger, F., 2002); dan (3) untuk memahami fenomena alam dan sosial secara objektif (menurut apa
adanya, bukan menurut apa seharusnya), sistematis, dan terbuka untuk diuji
kembali melalui proses penelitian ilmiah (Hooever, 1980).
Berdasarkan uraian di atas
maka beberapa konsep penting yang dapat dipahami tentang hakikat ilmu
pengetahuan (science), baik ilmu
pengetahuan sosial-budaya maupun ilmu pengetahuan alam adalah: (1) science dimulai dari kesangsian atau keragu-raguan terhadap beragam fenomena
hidup, tidak dimulai dari kepastian seperti dalam ajaran agama; (2) science tidak bersinggungan dengan hal-hal yang gaib, melainkan berkaitan dengan data-data empirik; (3) penjelasan science
bersifat detail, sistematis, objektif
dan praktis tentang beragam fenomena hidup, baik sosial-budaya maupun alam;
(4) kebenaran science bersifat relatif, berubah dari waktu ke waktu
tergantung pada hasil penelitian ilmiah berikutnya (Agus, B., 1999).
Menurut Comte dalam Wibisono, K., (1983), bahwa perkembangan pola pemikiran
manusia atau masyarakat adalah melalui tiga tahap, yaitu dari tahap teologis
(fiktif), kemudian berkembang ketahap metafisik (abstrak) dan terakhir ke tahap
positif, dan pada tahap positif inilah letak perkembangan ilmu pengetahuan (science); (5) kebenaran science terbuka
bagi siapapun untuk menguji ulang dan membuka kesempatan bagi siapapun
untuk menolak atau bahkan merevolusi ilmu pengetahuan atau teori yang telah ada
(Kuhn, T., 1970); dan (6) kebenaran
pandangan science tergantung pada
orientasi filosofis yang dijadikan pedoman dalam pengembangan teori-teori science dan metode penelitiannya, misalnya makna kebenaran teori ilmu
pengetahuan yang berorientasi filosofis positivisme, rasionalisme akan berbeda
interpretasinya dengan teori ilmu pengetahuan yang berorientasi filosofis
idealisme, konstruktivisme (Suriasumantri, J.S. 1996; Keraf.S dan Dua,
M.,2001). Sesuatu dianggap benar
menurut paham positivisme adalah ‘sesuatu itu harus ada kesesuaian dengan
proposisi, teori, dalil, hipotesis sebelumnya’, hal ini dikenal dengan istilah
kebenaran koherensi, dan pendekatan penelitiannya adalah penelitian
kuantitatif. Sedangkan sesuatu dianggap benar menurut paham konstruktivisme
atau interpretatif adalah ‘sesuatu itu harus sesuai dengan realitas atau
fakta-fakta dalam kehidupan sehari-hari (kenyataan empiris) atau dikenal dengan
kebenaran korespondensi’, dan pendekatan penelitiannya adalah penelitian
kualitatif.
DAFTAR PUSTAKA
Arifin, 2011. Diktat Konsep Sistem Sosial dan Budaya. Malang
Tidak ada komentar:
Posting Komentar