Sebagaimana diamanatkan
dalam UU No 18 tahun 2001 mengenai Otonomi Khusus Bagi Provinsi Daerah Istimewa
Aceh Sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam ada perbedaan dari sistem tata pemerintahan, keuangan, hukum,
serta politik. Dimana dalam keuangan pada pasal 4 UU No. 18 tahun 2001 sumber
pendapat asli daerah Aceh pada poin c. zakat, sumber pendapat daerah inilah
yang tidak didapatkan di daerah lain berdasarkan undang - undang yang berlaku.
Perbedaan lain tentu angka besaran bagi hasil pajak dan sumber daya alam pada
pasal 4 ayat 3 (a), dimana Aceh menerima 80% dari pertambangan umum, perikanan,
dan kehutanan, 30% dari hasil gas alam, serta 15% dari pertambangan minyak
bumi.
Dalam hal sistem
pemerintahan di Aceh, terdapat yang namanya Wali Nanggroe dan Tuha Nanggroe
sebagaimana tercantum dalam Pasal 10 UU No. 18 tahun 2001. Keduanya adalah
lembaga yang merupakan simbol bagi pelestarian penyelenggaraan kehidupan adat,
budaya, dan pemersatu masyarakat di Aceh. Namun di sisi lain Wali Nanggroe dan
Tuha Nanggroe ini bukan merupakan lembaga politik dan lembaga pemerintahan di
Aceh. Adapun penjabaran dari Wali Nanggore ini terdapat pada pasal 96, dimana
lembaga Wali Nanggroe bersifat personal dan independen, tak terkait lembaga
politik dan lembaga pemerintahan di Aceh. Lembaga Wali Nanggroe ini merupakan
kepemimpinan adat sebagai pemersatu masyarakat yang independen, berwibawa, dan
berwenang membina dan mengawasi penyelenggaraan kehidupan lembaga-lembaga adat,
adat istiadat, dan pemberian gelar/derajat dan upacara-upacara adat lainnya.
Istilah DPRD Provinsi Aceh
menyebutnya dalam UU No. 11 tahun 2006 pasal 23 sebagai Dewan Perwakilan Rakyat
Aceh (DPRA) yang dipilih langsung oleh rakyat melalui pemilu. Sedangkan istilah
DPRD Kabupaten/Kota di Aceh disebut dengan Dewan Perwakilan Rakyat
Kabupaten/Kota (DPRK) berdasarkan pasal 24 undang - undang yang sama, dimana
anggotanya dipilih melalui pemilu.
Dari sisi pembagian
administrasi wilayahnya terdiri dari Kabupaten/Sagoe, Kota/Banda,
Kecamatan/Sagoe Cut. Sementara kecamatan terdiri dari beberapa mukim, dan mukim
terdiri dari gambong sebagaimana dijelaskan dalam UU No. 18 tahun 2001 Pasal 2
dan UU No. 11 tahun 2006 pasal 2 mengenai Pemerintahan Aceh.
Dalam bidang hukum
selain ada kepolisian dan kejaksaan sebagaimana lazimnya di daerah lain, ada
satu lagi tambahan yang ada di Aceh yang dinamakan Mahkamah Syari’ah
sebagaimana disebutkan dalam pasal 25 UU No. 18 tahun 2001, wewenangnya
didasarkan atas syari’at islam dengan sistem hukum nasional yang berlaku dan
ini berlaku bagi semua pemeluk agama islam. Pada UU No. 11 tahun 2006 mengenai
Pemerintahan Aceh, Majelis Syari’ah ini lebih dijelaskan secara rinci pada
pasal 128 hingga pasal 137. Adapun Majelis Syari’at ini memiliki wewenang memeriksa,
mengadili, memutus, dan menyelesaikan perkara yang meliputi bidang ahwal al-syakhsiyah
(hukum keluarga), muamalah (hukum perdata), dan jinayah (hukum pidana) yang
didasarkan atas syari’at Islam.
Di samping itu selain
berpedoman pada sistem hukum nasional yang berlaku. Aceh juga mengedepankan
pelaksanaan syari’at islam dalam kehidupan sehari - hari sebagaimana diatur
pada pasal 125 sampai pasal 127. Adapun cakupan dalam pelaksanaan syari’at
islam sebagai yang terdapa pada pasal 125 ayat 2 meliputi ibadah, ahwal
alsyakhshiyah (hukum keluarga), muamalah (hukum perdata), jinayah (hukum pidana),
qadha’ (peradilan), tarbiyah (pendidikan), dakwah, syiar, dan pembelaan Islam.
Dalam urusan
pemerintahan sebagaimana tercantum dalam UU No. 11 tahun 2006 pasal 16 ayat 2
urusan wajib kewenangan pemerintah Aceh yang merupakan bentuk keistimewaan Aceh
dimana mengedepankan budaya islaminya, termasuk dalam peran ulama dalam
penetapan kebijakan yang tersebut pada Pasal 16 ayat 2 poin d. Maka dari
sanalah undang - undang pemerintahan Aceh menyebutkan lembaga Majelis
Permusyawaratan Ulama sebagaimana menindaklanjuti pasal 16 ayat 2 poin d,
dimana mulai pasal 138 hingga pasal 140 UU No. 11 tahun 2006 dijelaskan
bagaimana posisi lembaga Majelis Permusyawaratan Ulama dan apa saja wewenang
yang diembannya.
Adapun fungsi dari
Majelis Permusyawaratan Ulama yaitu menetapkan fatwa yang dapat menjadi salah
satu pertimbangan terhadap kebijakan pemerintahan daerah dalam bidang
pemerintahan, pembangunan, pembinaan masyarakat, dan ekonomi sebagaimana
dijelaskan dalam pasal 139 ayat 1. Dari wewenang tersebut MPU memiliki tugas
yang telah diatur dalam UU No. 11 tahun 2006 pasal 140 ayat 1 yaitu memberi
fatwa baik diminta maupun tidak diminta terhadap persoalan pemerintahan,
pembangunan, pembinaan masyarakat, dan ekonomi serta memberi arahan terhadap
perbedaan pendapat pada masyarakat dalam masalah keagamaan.
Pada urusan politik,
keistimewaan Aceh melalui otonomi khususnya juga mewadahi politik masyarakat
dengan diperkenankannya partai politik local. Dimana ini sesuai dengan UU No.
11 tahun 2006 pasal 75 ayat 1 berbunyi “penduduk Aceh dapat membentuk partai
politik lokal”. Penjelasan mengenai partai politik dalam undang - undang
pemerintahan Aceh terdapat mulai pasal 75 - hingga pasal 88 UU No. 11 tahun
2006.
Selain keistimewaan
yang telah disebutkan di atas, ada beberapa keistimewaan lainnya yang sampai
saat ini mengundang kontroversi di masyarakat Aceh sendiri, bahkan masyarakat
Indonesia. Hal tersebut terkait dengan penggunaan bendera Aceh yang mirip
dengan bendera Gerakan Aceh Merdeka sebuah gerakan separatis yang berusaha
memisahkan Aceh dari NKRI. Memang dalam UU No. 11 tahun 2006 yang notabenenya
berdasarkan dari perjanjian Helsinki antara pemerintah Indonesia dengan GAM,
Aceh berhak memiliki bendera, lambing, dan himne. Adapun terkait hal itu
dijelaskan pada pasal 246 ayat 2 dimana pemerintah Aceh dapat menentukan
dan menetapkan bendera Aceh sebagai
lambang yang mencerminkan keistimewaan dan kekhususan, ini dijabarkan kembali
pada ayat 3 yang berbunyi Bendera daerah Aceh sebagai lambang sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) bukan merupakan simbol kedaulatan dan tidak diberlakukan
sebagai bendera kedaulatan di Aceh.
Dua pasal inilah yang
mengundang kontroversi karena belum ada kejelasan seperti apa bendera Aceh
tersebut yang lantas ditetapkan bendera Aceh yang mirip dengan bendera milik
GAM. Selain itu pada pasal 247 juga disebutkan pemerintah Aceh dapat menetapkan
lambang sebagai simbol keistimewaan dan kekhususan daerah Aceh. Pendek kata
kewenangan menentukan bendera, lambang, dan himne sebagaimana pada pasal 246,
247, dan 248 perlu ada kejelasan seperti apa, dikarenakan bukan tidak mungkin
kejadian seperti bendera Aceh yang mirip bendera GAM ini akan terulang pada
lambang dan himne Aceh.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar