Diantara teoritikus sosial
yang dapat dikatakan sebagai tokoh teori neofungsionalisme, antara lain: Jeffrey
Alexander dan Paul Colomy. Neofungsionalisme muncul di tahun 1980-an, sebagai bentuk upaya
menghidupkan kembali teori fungsional struktural yang dianggap mulai redup
sejak 1960-an hingga 1970-an. Neofungsionalisme didefinisikan oleh Colomy
sebagai ‘rangkaian kritik diri (internal)
terhadap teori fungsional struktural, dan ingin mencoba memperluas cakupan
intelektual teori fungsionalisme yang sedang mempertahankan inti teorinya’.
Jadi, teori fungsional struktural yang lama dianggap terlampau sempit dan kaku,
dan tujuan Alexander dan Colomy adalah menciptakan teori sintesis yang disebut ‘Neofungsionalisme’.
Ada beberapa kelemahan (problem) yang dihadapi oleh teori fungsional struktural
yang perlu dijawab oleh Neofungsionalisme, antara lain: (1) anti
individualisme; (2) antagonistik terhadap perubahan; (3) konservatif;(4)
idealisme; dan (5) bias antiempiris.
Berikut
ini beberapa pokok pikiran atau pandangan teori Neofungsionalisme Alexander dan Colomy, dalam memahami beragam
fenomena sosial-budaya di masyarakat,
antara lain
Pertama, neofungsionalisme, bekerja dengan ‘model masyarakat deskriptif’. Model ini melihat masyarakat tersusun dari unsur-unsur sosial yang
saling berinteraksi menurut pola tertentu, hubungan antar unsur tersebut
diistilahkan sebagai ‘hubungan secara simbiosis’, tidak ditentukan oleh
satu kekuatan semata (misalnya, eksternal menentukan internal atau sebaliknya).
Jadi, masyarakat dianggap lebih bersifat terbuka, dinamik dan pluralis (beragam).
Kedua, neofungsionalisme, memusatkan
perhatian yang sama besarnya terhadap
tindakan individu (mikro) dan keteraturan sosial (makro). Hal ini berbeda
dengan teori fungsional struktural, yang
lebih menekankan pada aspek keteraturan sosial atau tradisional dan bersifat
makro didalam memahami struktur sosial dan budaya). Sedangkan neofungsionalisme,
selain memperhatikan tingkat makro juga pola tindakan individu ditingkat yang
lebih mikro, juga tindakan rasional dan tindakan eskpresif individu dalam
proses-proses sosial di masyarakat.
Ketiga, neofungsionalisme, tetap
memperhatikan masalah integrasi, tetapi bukan dilihat sebagai fakta sempurna
melainkan lebih dilihat sebagai ‘kemungkinan sosial’, sedangkan
dalam pandangan teori fungsional struktural, kondisi integrasi atau equilibrium lebih dilihat sebagai fakta
yang sempurna atau suatu keharusan dalam kehidupan kelompok. Neofungsionalisme mengakui penyimpangan dan kontrol sosial
sebagai realitas dalam sistem sosial yang sangat dinamik dan kompleks. Neofungsionalisme
mengakui keseimbangan tetapi dalam konteks yang lebih luas (keseimbangan statis dan dinamik). Sedangkan dalam fungsional struktural
keseimbangan bersifat statis.
Keempat, neofungsionalisme, tetap menerima
penekanan Parsonian tradisional atas konsep kepribadian, konsep kultur, konsep
sistem sosial dan organisme perilaku (dalam struktur tindakan) dalam kehidupan
sehari-hari, tetapi neofungsionalisme juga menganggap interpenetrasi atas sistem sosial dapat menghasilkan
ketegangan (konflik) dan perubahan sosial yang lebih dinamik.
Kelima, neofungsionalisme, memusatkan perhatian pada perubahan sosial
dalam proses diferensiasi di dalam sistem sosial, kultural dan kepribadian.
Perubahan tidak hanya menghasilkan konsensus dan equilibrium (seperti pandangan teori fungsionalisme struktural),
tetapi juga menimbulkan ketegangan
antar individu dan kelompok. Hal ini berbeda dengan pandangan teori fungsional
struktural yang memandang perubahan hanya menghasilkan kondisi equilibrium (keseimbangan dalam sistem).
Jadi, bagi neofungsionalisme perubahan sosial dalam masyarakat bisa membawa
pengaruh terjadinya ‘integrasi sosial’ dan ‘disintegrasi sosial’..
Keenam, Neofungsionalisme, secara
tidak langsung menyatakan komitmennya terhadap kebebasan dalam menyusun dan mengonseptualisasikan
teori berdasarkan analisis sosial-budaya
pada tingkat makro dan mikro. Bagi
neofungsionalisme, menganalisis fenomena atau realitas sosial budaya di
masyarakat, tidak cukup hanya menggunakan pendekatan makroskopik tetapi juga
menggunakan pendekatan mikroskopik. Sedangkan dalam teori fungsional struktural proses analisis fenomena sosial-budaya hanya pada tingkat
makro, oleh karena itu cakupan
analisis neofungsionalnya lebih luas apabila dibandingkan dengan fungsional
struktural.
Ketujuh, riset teori fungsional
struktural, dipandu oleh skema konseptual tunggal dan mengikat area-area riset khusus dalam satu paket yang
ketat, bersifat positivistik dan realitas sosial eksternal (kondisi makro)
sangat menentukan realitas internal (kondisi mikro), sedangkan karya empiris teori
neofungsionalisme diorganisasikan secara longgar, yaitu diorganisasikan
di seputar logika umum dan memiliki sejumlah ‘cabang’ dan ‘variasi’ yang agak
otonom pada tingkat dan domain empiris yang beragam, bisa bersifat makro dan
mikro.
Jadi, teori neofungsionalisme,
bagi Alexander dan Colomy, bukan hanya sekedar ‘elaborasi’ atau ‘revisi’
terhadap teori fungsional struktural Parsons dan Merton, tetapi lebih sebagai ‘rekonstruksi
dramatis’
terhadap teori fungsional struktural, karena antara teori fungsional struktural
dengan neofungsional pada aspek-aspek tertentu mempunyai perbedaan yang
mendasar. Jadi, Alexander dan Colomy nampak ‘memadukan’ fungsionalisme
struktural dengan ide-ide teori pertukaran, interaksionisme simbolik, pragmatisme,
fenomenologi. (Hamilton, 1990; Ritzer dan Goodman, 2004).
DAFTAR PUSTAKA
Arifin, 2011. Diktat Kuliah : Konsep Sistem Sosial dan Budaya. Malang
Tidak ada komentar:
Posting Komentar