Di dunia
ini ada beberapa ideologi yaitu ideologi liberalisme, kapitalisme, sosialisme,
marxisme dan lain - lain. Negara Indonesia sendiri menganut ideologi tersendiri
dan berbeda dibandingkan negara - negara lain. Ideologi pancasila merupakan
reaksi terhadap ideologi yang ada di barat maupun timur pada waktu itu, yang
menurut pengamatan para pembentuk Undang - Undang Dasar 1945 tidak sesuai
dengan bagi bangsa Indonesia, melihat pengalaman nyata dari praktik ideologi
tersebut di tempat asalnya masing - masing. Ideologi pancasila bersumber pada
cara pandang integralistik (Indonesia) yang mengutamakan gagasan tentang negara
(staatsidee) yang bersifat persatuan.
Pancasila merupakan salah satu ideologi yang berasal dari cerminan budaya
bangsa.
Sila - sila
yang ada di pancasila merupakan cerminan budaya bangsa yang sudah ada sejak
ratusan tahun lalu. Dari lima sila yang ada sila terakhir yang berbunyi
keadilan sosial bagi seluruh Indonesia, memang begitu terkait akan permasalahan
pada bidang perekonomian termasuk kaitannya dengan memasuki era perdagangan
bebas ASEAN - China melalui penandatangan CAFTA.
Disinilah pentingnya
relavansi pembangunan berasaskan ideologi pancasila. Mengedepankan ekonomi
pancasila sebagai media untuk mengenali bekerjanya paham dan moral ekonomi yang
akhir - akhir ini cenderung bercirikan neoliberal kapitalistik. Profesor
Mubiyanto merumuskan ekonomi pancasila sebagai sistem ekonomi yang bermoral
pancasila, dengan lima platform sebagai manifestasi sila - sila pancasila yaitu
moral agama, moral kemerataan sosial, moral nasionalisme ekonomi, moral
kerakyatan, dan moral keadilan sosial. Ekonomi pancasila merupakan prinsip -
prinsip moral (ideologi) ekonomi yang berasal dari etika dan falsafah
pancasila. Oleh karena itu, selain berisi cita - cita visioner terwujudnya
keadilan sosial, beliau juga mengangkat realitas sosio- kultur ekonomi rakyat
Indonesia, sekaligus rambu - rambu yang bernilai sejarah untuk tidak terjerumus
pada paham liberalism dan kapitalisme.
Lalu, apa bukti
platform Ekonomi Pancasila relevan dengan kondisi sosial-ekonomi kita saat
ini? Di tengah pesatnya perkembangan
ilmu (ideologi) ekonomi global yang sudah semakin mengarah pada ‘keyakinan’
layaknya agama (Nelson, 2001), rasanya tidak sulit mengamati ekses dari
kecenderungan global tersebut di Indonesia. Relevansi Ekonomi Pancasila
dapat ‘dideteksi’ dari tiga kontek yang
berkaitan yaitu cita-cita ideal pendiri bangsa, praktik ekonomi rakyat, dan
praktek ekonomi aktual yang ‘menyimpang’ karena berwatak liberal, individualis,
dan kapitalistik. Semua itu terangkum dalam kajian lima platform Ekonomi
Pancasila yang bersifat holistik dan visio-revolusioner (Mubyarto,Ekonomi
Pancasila, 2003).
Platform pertama
Ekonomi Pancasila yaitu moral agama, yang mengandung prinsip “roda kegiatan ekonomi
bangsa digerakkan oleh rangsangan ekonomi, sosial, dan moral”. Pada awalnya
founding fathers kita merumuskan ‘politik kemakmuran’, ‘keadilan sosial’, dan ‘pembangunan karakter’ (character building)
bangsa yang dilandasi semangat penerapan ajaran moral dan agama. Itu berarti pembangunan ekonomi harus
beriringan dengan pembangunan moral atau karakter bangsa, dan ditujukan untuk
menjamin keadilan antar sesama makhluk ciptaan Allah, tidak sekedar pembangunan
materiil semata. Inilah moral ekonomi rakyat yang tidak sekedar mencari untung,
melainkan memperkuat silaturahmi, menegakkan hukum-hukum Allah (syari’ah), dan
memperhatikan kepentingan sosial.
Platform kedua adalah
“kemerataan sosial, yaitu ada kehendak kuat warga masyarakat untuk mewujudkan
kemerataan sosial, tidak membiarkan terjadi dan berkembangnya ketimpangan
ekonomi dan kesenjangan sosial”. Gagasan ini sudah lama tertuang dalam bagian
penjelasan Pasal 33 UUD 45 yang sudah diamandemen dalam konsep ‘kemakmuran
masyarakatlah yang diutamakan, bukan kemakmuran orang-seorang’. Sampai saat ini
masih sulit meyakini realisasi semangat tersebut karena setiap upaya
‘memakmurkan ekonomi’ ternyata yang lebih merasakan dampaknya tetap saja ‘orang
besar’ baik pengusaha ataupun pejabat pemerintahan. Masih saja ketimpangan
sosial-ekonomi susah untuk diperkecil.
Platform ketiga adalah
“nasionalisme ekonomi; bahwa dalam era globalisasi makin jelas adanya urgensi
terwujudnya perekonomian nasional yang kuat, tangguh, dan mandiri”. Platform
ini sejalan dengan konsep founding fathers kita, khususnya Bung Karno dan Bung
Hatta, perihal ‘politik-ekonomi
berdikari’ yang bersendikan usaha mandiri (self-help), percaya diri (self
reliance), dan pilihan kebijakan luar negeri bebas-aktif. Kemandirian bukan
saja menjadi cita-cita akhir pembangunan nasional, melainkan juga prinsip yang
menjiwai setiap proses pembangunan itu sendiri. Ini mensyaratkan bahwa
pembangunan ekonomi haruslah didasarkan pada kekuatan lokal dan nasional untuk
tidak hanya mencapai ‘nilai tambah ekonomi’ melainkan juga ‘nilai tambah
sosial-kultural’, yaitu peningkatan martabat dan kemandirian bangsa (Swasono,
2003). Oleh karena itu pokok perhatian seharusnya diberikan pada upaya
pemberdayaan ekonomi rakyat sebagai tulang punggung ekonomi nasional. Ekonomi
rakyatlah yang bersifat mandiri, tidak ‘menyusahkan’ atau ‘membebani’ ekonomi
nasional di saat krisis, sehingga ‘daya tahan’ekonomi mereka tidak perlu
diragukan lagi.
Platform keempat adalah
“demokrasi ekonomi berdasar kerakyatan dan kekeluargaan; koperasi dan
usaha-usaha kooperatif menjiwai perilaku ekonomi perorangan dan masyarakat”.
Prinsip ini dijiwai oleh semangat Pasal 33 UUD 1945 yang kini sudah berganti
menjadi UUD 2002 (amandemen keempat).
Perubahan ini telah menghilangkan seluruh penjelasan UUD 1945 termasuk
penjelasan Pasal 33 yang berisikan prinsip-prinsip demokrasi ekonomi dan
landasan konstitusional koperasi. Oleh karena itu, upaya penegakan demokrasi
ekonomi nampaknya berhadapan dengan upaya-upaya untuk memperjuangkan pasar
bebas, yang menjadi senjata penganut paham liberalisme dan kapitalisme. Isu-isu
yang kemudian dicuatkan diantaranya adalah privatisasi BUMN dan liberalisasi
impor.
Platform kelima (terakhir) adalah
“keseimbangan yang harmonis, efisien, dan adil antara perencanaan nasional
dengan desentralisasi ekonomi dan otonomi yang luas, bebas, dan
bertanggungjawab, menuju pewujudan keadilan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia”. Tujuan keadilan sosial juga mencakup keadilan antar wilayah
(daerah), yang memungkinkan seluruh wilayah di Indonesia berkembang sesuai
potensi masing-masing. Oleh karena itu pengalaman pahit sentralisasi
politik-ekonomi era Orde Baru dapat kita jadikan pelajaran untuk menyusun
strategi pembangunan nasional. Inilah substansi Negara Kesatuan yang tidak
membiarkan terjadinya ketimpangan sosial-ekonomi antardaerah melalui pemusatan
aktivias ekonomi oleh pemerintah pusat, dan di pusat pemerintahan. Paradigma
yang kemudian dibangun adalah pembangunan Indonesia, bukannya pembangunan di
Indonesia seperti yang dilakukan Orde Baru dengan pahamdevelopmentalism yang
netral visi dan misi (Swasono, 2003).
Gagasan para pendiri
bangsa kita yang sejalan dengan praktek ekonomi rakyat dan menentang keras
praktek ekonomi yang neo-liberal-kapitalistik kiranya menyadarkan kita akan
perlunya perombakan sistem ekonomi tersebut. Inilah relevansi lima platform ekonomi
pancasila yang dapat menjadi panduan (guidance) bagi pergantian sistem dan
ideologi ekonomi menjadi ekonomi yang lebih bermoral, berkerakyatan, dan
berciri ‘ke- Indonesia-an’, sehingga lebih menjamin upaya pewujudan keadilan
sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Sentosa, Awan, 2004. Relevansi Platform Ekonomi Pancasila Menuju Penguatan Peran Ekonomi
Rakyat. Jurnal Ekonomi Rakyat
Wahjono, Padmo, 2008. Pengantar ilmu Politik. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada
bu maaf saya achlis aulia ingin mengkoi artikel ibu, apakahibu mengijinkan? sebelumnya terima kasih ibu, artikelnya bagus.
BalasHapussilakan... :)
Hapus