Sabtu, 18 Agustus 2012

Indonesia (Enggan) Merdeka



Memasuki bulan Agustus setiap setahun sekali tepat diperingati momentum kemerdekaan Indonesia. Momentum yang memang memiliki arti historis panjang di perjalanan Indonesia menjadi sebuah negara. Tahun ini 67 tahun negeri kita ini bertambah usia, tak terasa usia yang semakin tua jika ukurannya usia manusia pada umumnya. Namun di usia yang semakin tua kematangan dan kedewasaan negara masih menjadi pekerjaan rumah dan mimpi semu yang belum sepenuhnya terwujud. Kemerdekaan secara fisik masih mendominasi keberadaan Indonesia saat ini di tengah hegemoni globalisasi dan negara asing.
Kemerdekaan memang telah kita raih dan telah genap berumur 67 tahun namun secara tidak sadar penjajahan terus berlangsung dalam kurun waktu tersebut. Penjajahan tersebut memang tak kasat mata kita lihat, tapi terasa jika kita pandangi secara saksama. Kemiskinan masih belum enggan keluar dari masalah negara Indonesia ini, belum lagi dibarengi dengan semakin pesatnya pertumbuhan budaya korupsi, kolusi, dan nepotisme juga menjadi masalah baru yang sebelumnya budaya korupsi tidak begitu kental.
Korupsi, kolusi, dan nepotisme menjadi tugas bersama untuk diberantas di tengah pekik teriakan merdeka. Sebagai negara yang berlandaskan asas hukum hal ini mutlak untuk digalangkan. Betapa budaya KKN telah menggerogoti badan negara kita bahkan hingga ke tingkat masyarakat bawah alias rakyat biasa. Korupsi masih dianggap sebagai suatu hal yang dianggap wajar ketika masyarakat memilih jalan pintas untuk menembus dinding tebal bernama pragmatisme.
Korupsi ini pulalah yang secara tidak langsung mengakibatkan dampak kemiskinan masih tampak. Anggaran - anggaran yang seharusnya dialokasikan untuk kepentingan masyarakat hanya diambil oleh beberapa individu dan golongan saja. Mahatma Gandhi mengemukakan kemiskinan adalah bentuk terburuk dari kekerasan”, memang pernyataan mantan Presiden India itu tidak ada hubungannya langsung dengan korupsi. Namun jika ditelusuri panjang akan korelasi di dalamnya, sehingga dari korupsi ini menjadi kemiskinan yang mengakibatkan beberapa gejolak sosial di masyarakat.
Globalisasi yang tengah melanda dengan ditunggangi kepentingan demokrasi juga semakin terasa dimana - mana, hal ini pulalah yang serasa Indonesia masih enggan beranjakan untuk merdeka sepenuhnya. Esensi pasal 33 UUD 1945 ayat 2 dan 3 berbunyi cabang - cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara, dan Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Hal yang terjadi tampak sebaliknya dimana segala kekayaan alam dan isinya dikuasai oleh negara lain dan kelompok untuk kepentingannya sendiri.
Atas nama demokrasi, negara lain menjajah perekonomian kita, memaksa kita menyusu kepadanya. Lihatlah bagaimana begitu berkibarnya perusahaan - perusahaan asing di Indonesia, ada Freeport dan Newmont yang mengeruk emas, Exxon Mobile, Chevron, Petro China dan Shell yang mengeruk minyak bumi dan gas alam, belum lagi ekspansi Danone dengan perusahaan Aqua- nya yang merampas air bersih yang sebenarnya dalam UUD 1945 sudah jelas disebutkan bahwa negara seharusnya yang menguasai itu. Namun negara Indonesia belum juga terbangun dari tidur pulasnya dan bahkan semakin bergantung dengan negara lain untuk menyusu.
Memang tak selamanya penanaman modal asing di negara kita ini  buruk, namun ketika mengacu pada realita yang ada di lapangan masyarakatlah yang banyak menjadi korban. Peran negara tampak belum terlihat dalam menjaga rakyatnya. Ketika Immanuel Kant mengatakan bahwa negara berperan sebagai penjaga malam bagi warganya yang ada saat ini negara tak dapat mengemban peran tersebut.
Simbiosis yang saling menguntungkan belum terjadi antara negara dengan swasta dalam hal ini perusahaan asing, dan perusahaan asing dengan masyarakat sipil. Padahal ketika mengacu pada pembangunan pemerintahan yang baik harus ada simbiosis mutualisme dan sinkronisasi yang baik di tiga sektor yaitu negara, swasta, dan masyarakat sipil.
Indonesia boleh bangga dengan negara penghasil migas dan kekayaan alam lainnya, namun alangkah lebih bangganya jika kita berani untuk keluar dari “penjajahan” dari perusahaan - perusahaan asing. Jika dahulu Bung Karno pernah ngotot untuk me-nasionalisasi salah satu perusahaan minyak bumi asing di Indonesia, namun kini para pemimpin kita seakan terbuai dengan kibasan triliyun uang yang dihasilkan oleh proyek - proyek perusahaan tersebut yang belum bisa dinikmati masyarakat luas.
Kemerdekaan yang penuh menjadi suatu hal perlu diperjuangkan bukan untuk diperdebatkan atas nama golongan maupun individu ini dikarenakan akhir - akhir ini banyak sekali klaim kebenaran atas golongannya masing - masing. Masyarakat Indonesia seolah lupa bahwa perjungan dengan dilandasi golongan dan kelompok itu yang menyebabkan kita terjajah fisik begitu lamanya hingga kurun waktu 350 tahun. Masih ingatkah ketika pemuda - pemuda Indonesia kala itu berikrar satu kesatuan untuk berjuang melalui momentum sumpah pemuda tanggal 28 oktober 1928.
Lalu kita kembalikan ke sekarang masih adakah semangat kemerdekaan yang satu tanah air Indonesia tanpa dilandasi embel - embel partai, ormas, LSM dan lain sebagainya. Jika takarannya semangat persatuan seperti yang dicita - citakan Pancasila butir ke - 3 tampaknya masih jauh dari mimpi, kekerasan atas nama golongan partai, ormas, LSM, bahkan agama masih kerap terjadi di seantero negeri ini.
Terlebih yang menggelikan mereka yang terlibat di dalamnya seakan tidak merasa berdosa dan bahkan mengatasnamakan demi kepentingan umat, demi kepentingan rakyat. Lalu apakah dengan kekerasan yang dilandasi kepentingan golongan itu kita bisa merdeka sepenuhnya? Tidak. Tidak akan terjadi, karena jika ekslusivisme masih mewabah di negara kita yang ada kita akan semakin tertinggal dengan negara - negara lain bahkan negara - negara di kawasan region Asia Tenggara yang dahulu jauh berada di bawah kita secara ekonomi, pendidikan, sosial, dan teknologi.
Memang masih banyak pekerjaan rumah lain selain kemiskinan, korupsi, dan ketergantungan pada perusahaan asing. Kesemuanya ini perlu penekanan yang maksimal dari masyarakat, swasta, dan utamanya peran negara. Rasa kemerdekaan ini harus diiringi dengan semangat untuk terus mengawal pembangunan negara Indonesia dan mengawasinya dari virus KKN. Pemimpin yang bijaksana yang membawa negara Indonesia ke arah yang lebik baik mutlak dibutuhkan. Selain itu, peran pemuda juga akan terasa dalam kotribusinya 5 - 10 tahun ke depan, jika pemuda ini dimaksimalkan maka jangan heran prediksi para ekonom jika Indonesia akan menjadi negara ekonomi terkuat pada tahun 2033 terjadi.
Pemahaman mengenai semangat persatuan dan kesatuan bagi seluruh warga Indonesia juga perlu diperhatikan, karena kemajuan tersebut tidak akan terjadi jika diiringi perpecahan konflik yang mengatasnamakan golongan parpol, ormas, LSM, dan SARA. Sudah sangat malu kita disibukkan dengan konflik yang mengatasnamakan golongan itu, dan meng-klaim hanya dirinyalah yang paling benar dan atas nama kebenaran itu mereka melakukan tindakan kekerasan menebar terror yang meresahkan masyarakat.
Semangat kemerdekaan, persatuan, kesatuan, pemahaman pancasila, peningkatan ilmu pengetahuan, dan sumber daya manusia yang melimpah merupakan modal utama negara kita melakukan pembangunan dan merdeka sepenuhnya. Jika semua itu sudah bisa dikelola, maka sumber daya alam yang melimpah di Indonesia bisa kita kelola sendiri untuk kemakmuran negara sendiri. Pada akhirnya pekik merdeka akan lebih berkumandang sepenuhnya di berbagai bidang.