Senin, 03 Juli 2017

Guru, Pahlawan Dan Pengabdi Yang Terpinggirkan

Pendidikan merupakan hal yang fundamental dalam membangun setiap invidu masyarakat di negara manapun di dunia ini. Dari pendidikan tersebut setiap individu bisa belajar mengenai nilai, norma, dan ilmu pengetahuan. Pendidikan tentu mempunyai suatu sistem yang terdapat beberapa stakeholder di dalamnya, salah satunya tenaga pengajar, tenaga pengajar biasanya memiliki sebutan yang berbeda - beda tergantung level atau jenis pendidikan yang ada. 
Bila di level sekolah formal tenaga pengajar di Indonesia biasa disebut guru. Bila di perguruan tinggi atau kampus tenaga pengajar disebut dosen. Sementara tenaga pendidik di pendidikan informal berbasis keagamaan terdapat banyak macamnya, di agama Islam bisa disebut ustadz untuk pengajar laki - laki, ustadzah untuk pengajar perempuan, di agama Kristen misalnya pengajar disebut pendeta.

Kembali lagi ke istilah guru atau tenaga pendidik formal di Indonesia. Istilah guru berasal dari bahasa sanskerta  गुरू yang berarti guru, tetapi arti secara harfiahnya adalah "berat", atau artinya seorang pengajar suatu ilmu. Berdasarkan kosakata bahasa Indonesia, guru umumnya merujuk pada pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi anak didiknya.

Pada arti secara umum, guru merupakan pendidik dan pengajar pada pendidikan  anak usia dini jalur sekolah atau pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah. Guru-guru seperti ini harus mempunyai semacam kualifikasi formal. Dalam definisi yang lebih luas, setiap orang yang mengajarkan suatu hal yang baru dapat juga dianggap seorang guru.

Begitu vitalnya, peran pendidikan di pundak guru Ir Soekarno presiden pertama Indonésia sekaligus sempat memberikan pernyataannya mengenai guru melalui pidato yang ia sampaikan.

"Pemimpin! Guru! Alangkah hebatnya pekerjaan menjadi pemimpin di dalam sekolah, menjadi guru di dalam arti yang spesial, yakni menjadi pembentuk akal dan jiwa anak-anak! Terutama sekali di zaman kebangkitan! Hari kemudiannya manusia adalah di dalam tangan guru itu, menjadi manusia” ujar Soekarno sebagaimana dikutip dari buku Dibawah Bendera Revolusi.

Guru merupakan profesi yang mulia mengingat di tangannya masa depan suatu bangsa akan ditentukan. Baik buruknya pendidikan, bergantung salah satunya pada guru yang memberikan pengajaran. Guru dianggap sebagai pahlawan pembangunan, mengingat dari tangannya lahir putra - putri yang kelak mengisi pembangunan bangsa di beberapa bidang di ruang publik yang ada. Guru yang ideal bukan hanya menjadi seorang guru yang mengajar di dalam kelas, bergolat dengan silabus, RPP, dan lembar evaluasi siswa. Namun lebih dari itu seorang guru harus mampu menjadi holding of social atau cermin kasta sosial untuk membangun suatu peradaban di masyarakatnya. Maka peran sebagai agent of change sebagaimana status seorang mahasiswa juga layak disematkan kepada seorang guru.

Seorang guru juga harus bisa menghadirkan inspirasi, keteladanan, dan profèsionalitas kepada anak didiknya. Menurut National Board For Proffesional Teaching Standar, dalam bonds. Ada 13 Kriteria Standar Guru Inspiratif dan Professional yakni menguasai materi pelajaran dengan baik, mampu menggunakan dengan tepat kemampuan, dalam mengajar dan belajar, mampu memecahkan masalah yang berkaitan dengan instruksional pembelajaran, mampu melakukan improvisasi dalam mengajar, mampu melakukan manajemen kelas dengan baik, memiliki kepekaan dalam menanggapi situasi selama pembelajaran berlangsung, memiliki sensitivitas terhadap konteks, mampu memonitor pembelajaran, selalu bertindak berdasarkan data, respek terhadap orang lain, mempunyai jiwa yang mendidik, mampu memfasilitasi murid agar mencapai prestasi tertinggi, serta mampu memfasilitasi murid agar lebih memahami kompleksitas.
Untuk membentuk guru yang inspiratif, profesional, berintegritas, dan berkualitas salah satunya melalui output perguruan tinggi berbasis kependidikan dan keguruan. Perguruan tinggi merupakan sarana pembentukan karakter, teori, dan pengalaman seorang individu sebelum mentas ke kawah candradimuka yang sesungguhnya. Melalui output dari perguruan tinggi ini pulalah peran krusial guru bagi pendidikan di emban. Perguruan tinggi dituntut mencetak potensi SDM calon guru yang berkualitas sesuai bidang keilmuannya.

Celakanya, saat ini banyak calon mahasiswa perguruan tinggi berbasis kependidikan atau keguruan tersebut hanya 'terjerumus' dalam lembah kampus tersebut. Hal - hal tersebut bisa karena faktor paksaan orang tua, saran dari seorang guru pula di SMA sederajatnya, ikut - ikutan teman, atau karena kuota yang banyak sehingga diperkirakan mudah memasuki jurusan - jurusan yang langsung berafiliasi dengan tenaga pengajar guru.

Memang masih banyak teman - teman kita, adik - adik kita, individu - invidu bangsa ini yang memang terpanggil memasuki dunia perguruan mengabdi untuk pendidikan dengan upah yang kadang masih jauh dari kata layak. Maka karena cita - cita itulah mereka mau belajar dan terpanggil ke perguruan tinggi berbasis kependidikan, atau bagaimana kita melihat program 'Indonesia Mengajar' yang dicetuskan Gubernur Jakarta terpilih 2017, Anies Baswedan ternyata juga dibanjiri pendaftar untuk mengabdi di pelosok negeri untuk mengajar keilmuan tanpa melihat seseorang tersebut dari jurusan yang berbasis keguruan atau kependidikan.

Memang benar ketika lulus dari perguruan tinggi beragam profesi siap menanti, bahkan jurusan berbasis keguruan atau kependidikan pun bisa merambah dunia perbankan menjadi pegawai bank, atau bahkan merambah dunia perpolitikan menjadi seorang politisi. Tuntutan hidup yang keras ditambah semakin tingginya harga kebutuhan pokok menjadikan setiap individu bisa berpikir pragmatisme. Hal ini juga dialami seorang calon guru dari jurusan - jurusan perguruan tinggi berbasis keguruan dan seorang guru, mereka dituntut untuk lebih peka 'menggali' sumber uang baru disamping pekerjaan pokok mereka mengajar.

Baiklah jika pekerjaan tersebut masih berkaitan dengan dunia pendidikan, misalnya menambah pekerjaan menjadi pengajar les privat sehingga ada pemasukan tambahan, atau menjadi konsultan pendidikan di NGO tertentu, atau menjadi penulis artikel membedah sistem pendidikan di media massa tertentu. Namun bagaimana bila pekerjaan sampingan tersebut mengorbankan pekerjaan utama sebagai seorang guru, tidak mengajar dan hanya memberi tugas lalu dikumpulkan sedangkan dianya sibuk mengurusi bisnisnya atau pekerjaan lainnya.
Kemampuan mencari sumber penghasilan mengorbankan profesi utama sebagai seorang guru. Bahkan dulu ada idiom ketika masih mengeyam pendidikan di SMP dan SMA "Guru enak ya tinggal masuk kelas, kasih tugas, keluar lagi, atau kalau tidak begitu mencatat sampai jam pelajaran selesai". Mungkin idiom atau gurauan seperti itu masih ada hingga kini.

Bisa dibayangkan bagaimana kehidupan seorang guru, pemerataan ekonomi yang masih susah dilakukan pemerintah sampai detik ini sekalipun. Kita lihat potret bagaimana sekolah - sekolah di pedalaman terutama di luar Pulau Jawa yang hanya memiliki 2 atau bahkan 1 guru yang harus mengajar keseluruhan siswa - siswi dari bermacam kelas. Itulah mengapa awalnya Anies Baswedan menggerakkan 'Gerakan Indonesia Mengajar' supaya sekolah - sekolah di pedalaman bisa mendapat tenaga pengajar yang berkualitas dan berkuantitas dengan 'harga terjangkau'.
Lalu apa bila di perkotaan terutama di Pulau Jawa, guru sudah 'merdeka' secara ekonomi? Lupakan saja itu. Kami pernah mendengar tawaran seseorang untuk mengajar di SMA Swasta memang di daerah yang katanya kaya akan sumber daya alamnya, nyatanya mengajar mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan (PKN) dihargai 400 ribu sebulan dengan ijazah S1.

Tentu bagi mereka yang sudah menempuh S1 di perguruan tinggi ternama menghabiskan uang ratusan juta selama pendidikan pendapatan segitu seakan jauh dari kata layak. Itu yang membuat tenaga - tenaga calon guru dari perguruan tinggi berkualitas yang ditempa dengan keras berpikir ulang. Salahkah itu? Bila dilihat dari persepsi keilmuan dan panggilan hati benarnya, ada stratifikasi sosial yang menyebutkan guru sebagai seorang yang mulia dan dihormati terutama di pedesaan masyarakat Jawa. Idiom ini pulalah yang biasanya orang menuntut anaknya untuk menjadi seorang guru. Terlebih berpenghasilan seperti itu tidak selamanya, hanya mungkin melihat momen yang tepat untuk mencari penghasilan sambil mencari pengalaman terlebih dahulu. Namun di sisi lain, ditinjau dari segi ekonomi, tuntutan hidup, dan beban pekerjaan bukanlah hal yang mudah. Pekerjaan yang dianggap mulia hanya dihargai materi 400 ribu, bila berprospek untuk keuangan pilihan itu tentu akan ditinggalkan para calon guru. Namun, masih ada pula beberapa tenaga pengajar yang bahkan tak dibayar sekalipun, itu menjadikan kita merinding melihat bagaimana negara ini memperlakukan tenaga pengajar macam guru sekalipun guru swasta sekalipun.


Maka jika kamu terpanggil menjadi seorang guru, jangan mencari materiil, negara ini sudah lelah bergulat dengan pemerataan ekonomi, pembangunan infrastruktur di beberapa daerah, peningkatan kualitas SDM, dan peningkatan kualitas pendidikan. Guru merupakan salah satu pilar dari pembangunan dari segi keilmuan dan karakter, maka mengajarkan karakter dan keilmuan harus diniati hanya karena pengabdian mencerdaskan kehidupan bangsa. Namun di sisi lain pemerintah harus lebih peka jangan sampai membiarkan tenaga pengajar terkatung - katung secara ekonomi. Pemerintah harus lebih memperhatikan utamanya sekolah - sekolah swasta dan sekolah di pedalaman di seluruh Indonesia yang biasanya tingkat kuantitas guru dan gajinya yang rendah. Pilihannya hanya dua pemerintah mengontrol kebutuhan pokok sampai semurah - murahnya atau memberikan reward yang lebih kepada guru. Jangan sampai panggilan jiwa mencerdaskan kehidupan anak negeri ini sia - sia hanya karena tidak ada penghargaan dari negara.