Selasa, 01 Januari 2013

Menguji Keseriusan Keterwakilan Perempuan di Politik



Gerakan perempuan dan dinamika perpolitikan saat ini tak bisa dilepaskan begitu saja. Politik merupakan salah satu alat menyejahterakan masyarakat, sedangkan melihat realitas di lapangan jumlah populasi perempuan lebih banyak daripada laki - laki. Hal ini belum diimbangi dengan kesempatan perempuan memasuki dunia politik, Tak Cuma di politik, perempuan acap kali hanya dijadikan “nomor dua” di berbagai bidang lain. Hal ini yang memunculkan kerentatan sosial lebih tinggi dibandingkan dengan kaum laki - laki.
Usaha untuk melakukan itu bukan tidak ada, gerakan - gerakan perempuan untuk memberikan porsi yang lebih adil untuk perempuan masih terus dilakukan. Namun proses ini tak bisa dibayangkan mudah, menerobos norma agama, adat, dan sosial yang sudah turun temurun dimana perempuan adalah makhluk “nomor dua”. Belum lagi kesadaran para perempuan sendiri yang belum menyadari makna dari gerakan perempuan itu sendiri.
Di era reformasi ini, dimana kebebasan melaksanakan hak sudah mulai diusung salah satunya melalui gerakan perempuan tersebut. Para perempuan sudah mulai perlahan muncul, meskipun jumlahnya tak banyak dan terus masih mendapat cap “nomor dua”. Situasi ini kian runyam ketika keterwakilan perempuan di legislatif belum sesuai dengan yang diharapkan. Hal ini dibuktikan bahwa masih setengah hatinya para elite politik di eksekutif dan legislatif untuk menyusun suatu draf undang - undang tentang hak perpolitikan perempuan. Dari teori affermatif action dimana perempuan mewakili 30% suaranya di legislatif hal itu masih berjalan setengah hati. Dinamika perpolitikan kian runyam dikarenakan banyak parpol yang belum siap untuk kaderisasi perempuan, sehingga penempatan perempuan sebagai legislatif tampak asal - asalan dan terkesan “memaksa”. Perlu adanya perbaikan kualitas secara bertahap pada kader - kader perempuan dimana nantinya itu akan mewakili suara perempuan ketika duduk di legislatif.
Namun dibalik itu semua di eksekusinya undang - undang tentang keterwakilan perempuan sudah menjadi sesuatu yang dikatakan maju satu langkah untuk menyeterakan kesamaan hak perempuan dalam memperoleh kehidupan yang layak melalui kebijakan - kebijakan di tingkat elite politik. Dari kehadiran wakil - wakil perempuan di jajaran legislatif dan eksekutif inilah diharapkan dapat meningkatkan derajat dan menyuarakan keseteraan gender di tengah isu demokrasi saat ini.

Sebab Akibat Munculnya Gerakan Perempuan

Gender sebagai alat analisis umumnya dipakai oleh penganut aliran ilmu sosial konflik yang justru memusatkan perhatian kepada ketidakadilan struktural dan sistem yang disebabkan oleh gender. Gender, sebagaimana dituturkan oleh Oakley, gender and society berarti perbedaan yang bukan biologis dan bukan kodrat Tuhan. Perbedaan biologis yakni perbedaan jenis kelamin adalah kodrat Tuhan dan oleh karenanya secara permanen berbeda. Sedangkan gender adalah perbedaan antara laki - laki dan perempuan yang dikonstruksikan secara sosial, yakni perbedaan yang bukan kodrat atau bukan ketentuan Tuhan melainkan diciptakan oleh manusia melalui proses sosial dan kultural yang panjang. Caplan mengurai bahwa perbedaan perilaku antara laki - laki dan perempuan tidaklah sekedar biologi, namun melalui proses sosial dan kultural. Oleh karena itu gender berubah dari waktu ke waktu, dari tempat ke tempat bahkan dari kelas ke kelas, sedangkan jenis kelamin biologis akan tetap tidak berubah.
Perbedaan gender pada proses berikutnya melahirkan peran gender dan dianggap tidak menimbulkan masalah. maka tak pernah digugat. Jadi kalau secara biologis kaum perempuan dengan organ reproduksinya bisa hamil, melahirkan dan menyusui dan kemudian mempunyai peran gender sebagai perawat, pengasuh dan pendidik anak, sesungguhnya tidak ada masalah dan tidak perlu digugat. Dari studi yang menggunakan analisis gender ini ternyata banyak ditemukan perbagai manifestasi ketidakadilan gender.
Pertama, terjadi marginalisasi (pemiskinan ekonomi) terhadap kaum perempuan. Meskipun tidak setiap marginalisasi perempuan disebabkan oleh ketidakdilan gender, namum yang dipersoalkan dalam analisis gender adalah marginalisasi yang disebabkan oleh perbedaan gender. Misalkan banyak perempuan desa tersingkirkan dan menjadi miskin akibat program pertanian revolusi hijau yang hanya memfokuskan diri pada petani laki - laki. Di luar dunia perempuan seperti “guru taman kanak - kanak” atau “sekretaris” yang dinilai lebih rendah dibandingkan pekerjaan laki - laki dn seringkali berpengaruh terhadap perbedaan gaji antara kedua jenis pekerjaan tersebut.
Kedua, terjadinya subordinasi pada salah satu jenis kelamin, umumnya kepada kaum perempuan. Dalam rumah tangga, masyarakat maupun negara, banyak kebijakan dibuat tanpa ‘menganggap penting’ kaum perempuan. Misalnya anggapan perempuan hanya boleh mengurusi uruan dapur, mengapa harus sekolah tinggi - tinggi, adalah bentuk subordinasi yang dimaksudkan. Bentuk dari mekanisme proses subordinasi tersebut dari waktu ke waktu dari tempat ke tempat berbeda. Misalnya karena anggapan bahwa perempuan memiliki pembawaan emosional sehingga dianggap tidak tepat tampil sebagai pemimpin partai atau menjadi manager. Proses tersebut merupakan subordinasi dan diskriminasi berdasarkan gender.
Ketiga, pelabelan negatif (streotipe) terhadap jenis kelamin tertentu, dan akibat dari streotipe itu terjadi diskriminasi serta berbagai ketidakadilan lainnya. Dalam masyarakat, banyak sekali streotipe yang dilekatkan kepada kaum perempuan yang berakibat membatasi, menyulitkan, memiskinkan dan merugikan kaum perempuan. Karena adanya keyakinan masyarakat bahwa kaum laki - laki adalah pencari nafkah misalnya, maka setiap pekerjaan yang dilakukan oleh perempuan dinilai hanya sebagao “tambahan” dan oleh karenanya boleh saja dibayar lebih rendah.
Keempat, kekerasan terhadap jenis kelamin tertentu, umumnya perempuan, karena perbedaan gender. Kekerasan ini mencakup kekerasan fisik seperti pemerkosaan dan pemukulan, sampai kekerasan dalam bentuk yang lebih halus lagi seperti pelecehan seksual dan penciptaan ketergantungan. Banyak sekali kekerasan terhadap perempuan yang terjadi karena adanya streotipe gender. Bahwa karena perbedaan gender dan sosialisasi gender yang amat lama, sehingga mengakibatkan kaum perempuan secara fisik lemah dan laki- laki umumnya lebih kuat maka hal itu tidak menimbulkan masalah sepanjang anggapan lemahnya perempuan tersebut mendorong laki - laki boleh dan bisa seenaknya memukul dan memperkosa perempuan. Banyak unsur kecantikan, namun karena kekuasaan dan streotipe gender yang dilekatkan pada kaum perempuan.
Kelima, karena peran gender perempuan adalah mengelola rumah tangga. Maka banyak perempuan menanggung beban kerja domestik lebih banyak dan lebih lama. Dengan kata lain, peran gender perempuan mengelola, menjaga, dan memelihara kerapian tersebut, telah mengakibatkan tumbuhnya tradisi dan keyakinan masyarakat bahwa mereka harus bertanggungjawab atas terlaksananya keseluruhan pekerjaan domestik. Sosialisasi peran gender tersebut menimbulkan rasa bersalah dalam diri perempuan jika tidak menjalankan tugas - tugas domestik tersebut. Sedangkan bagi kaum laki - laki, tidak ada merasa bukan tanggungjawabnya, bahkan dibanyak tradisi secara adat laki - laki dilarang terlibat dalam pekerjaan domestik. Beban kerja tersebut menjadi dua kali lipat bagi kaum perempuan yang juga bekerja di luar rumah.
Semua manifestasi ketidakadilan gender tersebut saling terkait dan secara dialektika saling mempengaruhi. Manifestasi itu tersosialisasi kepada kaum laki - laki dan perempuan secara mantap, yang lambat laun akhirnya baik laki - laki maupun perempuan menjadi terbiasa dan akhirnya dipercaya bahwa peran gender itu seolah - olah merupakan kodrat. Hal demikianlah yang melatarbelakangi gerakan perempuan yang ada di beberapa belahan dunia, termasuk di Indonesia.



Memahami Arti Gerakan Perempuan

Pada umumnya orang berprasangka bahwa feminism adalah gerakan pemberontakan terhadap kaum laki - laki, upaya melawan pranata sosial yang ada, misalnya institusi rumah tangga. Gerakan perempuan dapat dilihat sebagai spektrum menyeluruh dari perbuatan individu atau kolektif secara sadar dan tidak sadar, kegiatan, kelompok atau organisasi yang berperhatian terhadap berkurangnya berbagai aspek subordinasi gender yang dipandang sebagai berjalinan dengan penindasan lainnya, seperti misalnya yang didasarkan atas kelas, ras, etnik, umur dan seks.
Menurut Melluci, gerakan perempuan bisa berupa jaringan kerja yang tak nampak dari kelompok kecil yang timbul ditengah kehidupan sehari-hari, di dalam ”laboratoriumnya” yang tak menampak itu, gerakan akan mempertanyakan atau menentang aturan hidup sehari-hari. Gerakan perempuan seperti gerakan feminisme memandang perempuan sampai saat ini selalu dalam posisi tertindas, subordinat secara sistem dan terpenjara secara ideologis.
Ayu Ratih dalam bukunya mengemukakan definisi gerakan perempuan sebagai usaha untuk  menerobos batasan yang memisahkan persoalan ketertindasan perempuan dan ketertindasan manusia secara keseluruhan. Ini berarti gerakan perempuan harus menyusun strategi tentang bagaimana memberi warna perempuan pada setiap gerakan pembebasan yang bertujuan untuk menghapuskan segala bentuk diskriminasi dan ketidaksetaraan dalam tata hubungan antar manusia yang beradab.
Basis teori dari gerakan pembebasan perempuan sesungguhnya adalah feminisme. Gerakan feminisme melihat terjadi penindasan terhadap kaum perempuan. Penindasan bersifat tidak adil. Dan pembebasan, mewujudkan pembatasan atas penindasan. 
Kelahiran gerakan pembebasan perempuan merefleksikan perubahan struktural dalam kehidupan sebagian besar perempuan. Gerakan feminis berhasil membangun karakter sosial atas situasi kaum perempuan dan mendapatkan pengakuan gender perempuan. Gerakan pembebasan perempuan merupakan gerakan yang heterogen dengan berbagai teori dan pandangan politik yang berbeda.
Kalau gerakan perempuan yang terjadi pada akhir abad ke-18 sampai awal abad ke-20 banyak memusatkan perhatiannya pada upaya memperoleh ruang publik yang lebih luas dengan keterlibatan perempuan di dalam wilayah politik dan ekonomi, maka belakangan ini tuntutan yang memuncak dan meluas adalah penghilangan batasan wilayah publik dan pribadi dalam masalah perempuan. Gerakan perempuan yang terjadi saat ini lebih kritis memandang asal-usul munculnya penindasan terhadap mereka.

Gerakan Perempuan dan Dinamika Politik

Berawal dari adanya diskriminasi gender dimana peran perempuan dipandang sebelah mata terutama dalam hal kepemimpinan. Maka kaum marxis menyumbangkan gagasan yang sangat besar kepada gerakan perempuan. Dimana kaum marxis memberikan sumbangan paham personal is political yang memberi peluang politik bagi kaum perempuan.
Feminisme marxis beranggapan penindasan perempuan adalah bagian dari penindasan kelas dalam hubungan produksi, sehingga persoalan perempuan selalu diletakkan dalam kerangka kritik atas kapitalisme. Fredick Engels menganggap bahwa terpuruknya status perempuan bukan karena perubahan teknologi, melainkan karena perubahan organisasi kekayaan.
Bagi Perempuan, Konsep ‘Demokrasi‘ dapat dikatakan sesuatu hal yang menjadi idaman yang juga merupakan mimpi buruk. Sejak Demokrasi yang diwariskan dari tradisi Yunani, dimana Perempuan dan budak tidak dilibatkan dalam demokrasi. Bahkan tidak ada dilibatkan sebagai pemilih dalam pemilu.
Di Indonesia, Keterwakilan perempuan dalam politik  membawa dua persoalan yaitu: pertama, masalah keterwakilan Perempuan yang sangat rendah di ruang publik dan kedua, masalah belum adanya platform partai yang secara konkrit membela kepentingan perempuan. Hal ini menjadi momen bagi aktivis wanita Indonesia untuk memperjuangkan hak publik perempuan terutama di politik.
Penetapan terhadap kuota 30 persen bagi perempuan Indonesia dalam politik merupakan satu bentuk akses politik. Menurut Galnoor (Nimmo, 2005) akses politik diartikan kepada seberapa besar kesempatan yang didapat dan dimiliki oleh seseorang terhadap politik.  Lebih lanjut Galnoor mengatakan bahwa  yang dimaksud akses  adalah kesempatan seseorang untuk mengirimkan pesan politik dari bawah ke atas, dari “pinggiran “ ke pusat, dan dari individu– individu kepada para pemimpin. 
Secara de jure pengakuan akan pentingnya perempuan dalam pembangunan telah tersurat secara jelas dalam GBHN 1993,2000. Namun pada kenyataannya perempuan berkecenderungan dijadikan objek dalam program pembangunan. Perempuan belum dapat berperan secara maksimal baik sebagai pelaku maupun sebagai penikmat pembangunan. Hal ini disebabkan pemahaman perempuan hanya sebatas peran domestik (private) sehingga kurang diperhatikan dalam pengambilan kebijakan. Di samping itu juga diperjelas dengan berkembangnya budaya patriarkhi yang menempatkan peran laki-laki sebagai makhluk yang berkuasa dengan berangkat pada pelabelan terhadap dirinya. Kondisi ini secara tidak langsung akan mempengaruhi kesenjangan perempuan sebagai warga bangsa  untuk ikut akses dalam politik dan program pembangunan.
Untuk memenuhi pasal 65 ayat (1) UU no.12 tahun 2003 tersebut ada pasal 65 ayat ( 2 ) yang berbunyi: Setiap Partai Peserta Pemilu dapat mengajukan calon sebanyak-banyaknya 120 persen (seratus dua puluh persen) jumlah kursi yang ditetapkan pada setiap Daerah Pemilihan. Dalam pasal 65 ayat (2) ini terkandung makna bahwa partai boleh melakukan spekulatif terhadap harapan untuk mendapatkan kursi di parlemen tersebut. Untuk pemenuhan kuota 30 persen, setiap partai juga diharapkan mempunyai perhitungan spekulatif untuk pemenuhan kursi kuota 30 persen keterwakilan perempuan tersebut.
Dalam pasal 65 ayat (2) ini lebih membuka peluang kepada perempuan untuk berpartisipasi dalam politik. Menurut sensus yang dilaksanakan Badan Pusat Statistik(BPS 2002) jumlah perempuan di Indonesia adalah 101.625.816 jiwa atau 51% dari seluruh Populasi atau lebih banyak dari total jumlah penduduk di ketiga Negara Malaysia, Singapura dan Filipina. Namun Jumlah yang besar tersebut tidak tampak dalam jumlah keterwakilan perempuan di lembaga lembaga pembuat keputusan/pengambilan keputusan politik di Indonesia.
Mengapa perempuan perlu partisipasi dan ikut menjadi pembuat keputusan politik adalah karena; perempuan memiliki kebutuhan–kebutuhan khusus yang hanya dapat dipahami paling baik oleh perempuan sendiri. Kebutuhan–kebutuhan ini meliputi: a) Isu-isu kesehatan reproduksi, seperti cara KB yang aman. b) Isu-isu kesejahteraan keluarga, seperti harga sembilan bahan pokok yang terjangkau, masalah kesehatan dan pendidikan anak. c) Isu-isu kepedulian terhadap anak, kelompok usia lanjut dan tuna daksa, d) Isu-isu kekearasan seksual.
Keikutsertaan perempuan sebagai pembuat keputusan politik dapat mencegah diskriminasi terhadap perempuan yang selama ini terjadi dalam masyarakat, seperti : a) Diskriminasi di tempat kerja yang menganggap pekerja laki-laki lebih tinggi nilainya daripada perempuan. Misalnya penetapan upah yang berbeda antara laki-laki dan perempuan untuk beban kerja yang sama. Diskriminasi dihadapan hukum yang merugikan posisi perempuan misalnya : kasus perceraian. b) Hanya dalam jumlah yang signifikan, perempuan dapat menghasilkan perubahan berarti, seperti: 1) Perubahan cara pandang dalam menyelesaikan masalah-masalah politik dengan mengutamakan perdamaian dan cara–cara ahli kekerasan. 2) perubahan kebijakan dan peraturan undang-undang yang ikut memasukkan kebutuhan–kebutuhan khusus perempuan sebagai bagian dari agenda nasional.
Langkah yang harus dilakukan untuk meningkatkan jumlah perempuan sebagai pembuat keputusan politik adalah memahami pentingnya keterwakilan perempuan dalam lembaga politik dan mendukung upaya meningkatkan jumlah perempuan yang duduk dalam lembaga–lembaga politik hingga  mencapai jumlah yang signifikan agar dapat mempengaruhi proses pembuatan keputusan keputusan politik. Mendukung penerapan pemilu dengan sistem campuran sebab sistem ini membuka kesempatan yang lebih besar bagi perempuan untuk mencalonkan diri.
Ada 3 sistem pemilu yang dapat dilakukan yaitu: a) Sistem Distrik;-Dalam sistem ini pemilih memilih sendiri nama calon anggota legislatif (caleg) di unit pemilihannya. Sistem ini memungkinkan pemilih mengenal baik caleg pilihannya sehingga caleg bertanggungjawab langsung kepada pemilih. Hal yang didapat dalam sistem ini: caleg perempuan akan lebih sulit terpilih karena ia harus bersaing dengan caleg lain yang umumnya lebih unggul dalam hal dana, dukungan masyarakat, media massa, keluarga serta norma budaya yang telah sekian lama mengistimewakan peran laki-laki dalam bidang politik. Dengan alasan itu, partai politik jarang mencalonkan caleg perempuan secara terbuka karena dianggap tidak dapat memenangkan persaingan suara dengan partai lain. b) Proporsional;- Dalam sistem ini pemilih memilih partai politik. Partai politik menentukan daftar nama caleg di setiap unit pemilihan. Sistem ini juga memungkinkan terpilihnya caleg dari luar daerah pemilihan karena penentuan daftar nama dilakukan sepenuhnya oleh parpol. Hal yang didapat dalam sistem ini: sistem ini membuka kesempatan lebih luas bagi perempuan karena caleg tidak perlu menghadapi pemilih secara langsung. Dengan demikian caleg juga tidak harus bersaing secara tajam dengan caleg lain, yang seringkali membutuhkan pengalaman berpolitik yang belum banyak dimiliki perempuan karena sosialisasi yang dialaminya sejak kecil. c) Sistem campuran;-Dalam sistem ini pemilih memilih sebagian caleg dengan cara distrik dan sebagian lagi dengan cara proporsional. Sistem ini membuka kesempatan yang luas bagi caleg perempuan sekaligus mengharuskan caleg untuk bertanggungjawab langsung kepada pemilihnya.





Penutup : Arah Gerakan Perempuan

Sebagai penutup tulisan ini, maka kami mencoba menyimpulkan beberapa hal dan memberikan sedikit solusi bagi gerakan perempuan di dinamika politik.Dari Undnag - Undang tentang pemilu nomor 10 tahun 2008 dalam hal penyertaan kuota 30% bagi perempuan di kepengurusan tingkat pusat ini memang masih belum sesuai dengan jumlah perempuan. Seharusnya jika memang berniat untuk memberikan affermatif action tak hanya di tingkat pusat tetapi juga hingga ke tingkat daerah dan cabang sekalipun. Memang kendala dari ini yaitu minimnya sumber daya manusia yang berkualitas yang memang dapat diandalkan oleh masing - masing parpol hingga tingkat daerah.
Namun jika kaderisasi di internal, melalui rekrutmen politik yang bagus, sosialisasi atau pendidikan politik yang berjenjang dan berkualitas sebagaimana merupakan bagian dari fungsi parpol itu sendiri. Akan tetapi hal yang lebih penting bagaimana caranya gerakan perempuan dapat berdampak secara kualitas bagi perempuan di Indonesia sendiri. Jika menilik partisipasi perempuan dalam pengambilan keputusan di tingkat lokal seperti desa masih terbilang minim, bahkan program - program yang secara khusus didesain untuk mengakomodasi kepentingan perempuan masih tampak begitu bias.
Pemerintah sebagai pelaksana kebijakan tampaknya harus berpikir berulang kali mengenai kebijakan, karena tak memadainya sumber daya manusia di daerah dapat berakibat kebutuhan dari masyarakat itu sendiri yang tidak tertangkap. Inilah yang memunculkan program mercu suar yang tidak disertai studi kelayakan sehingga mubazir karena sebenarnya tidak dibutuhkan baik untuk jangka pendek maupun jangka panjang bagi kaum perempuan sendiri.









DAFTAR PUSTAKA

Buku

Aristiani, Agnes. 2011. Korupsi Yang Memiskinkan,. Jakarta : PT Kompas Media Nusantara
Ayu Ratih,2004. Mata Rantai Yang Hilang Dalam Pemberadaban Manusia. Yogyakarta : Pustaka Pelajar
Fakih, Mansour. 1987. Analisis Gender dan Transformasi Sosial. Yogyakarta : Pustaka Pelajar,

Jurnal Ilmiah

Sari, Afrina.. Perempuan dan Politik di Kota Bekasi. Jakarta, 2009
Subono, Nur Iman.. ilmu Politik, Bias Gender, dan Penelitian Feminis. Jakarta, 2006


Senin, 24 Desember 2012

Save and Return The Beauty of Heaven Under Sea


Indonesia is one of the biggest archipelago in this world - islands that extend outward from Sumatra, Java, Kalimantan, Sulawesi, Irian Jaya, and others small islands that provide the land for humans animals and plants life. Indonesia has the big waters area that less of border saving. That problem can cause lawsuit threatening of border area with beside countries. Others that, in utilization of resource that over and the wrong processing cause the ecosystem of sea life will be threatened.
Natural wealth of Indonesia, it’s so much. From natural resources are minerals cancering plants, and an animals. All of that potenhal to make economy in Indonesia will be better. Actually, all of resources in Indonesia that more have potential is sea resource. It have many kinds of sea plant and animal. One of them is coral reef, coral reef in Indonesia marine is very popular in this world.  It is very beautiful and interesting. So itu be heaven for the fish life. Beside that, coral reef also as filter for sea fresh ness by threatening. The coral feef in a half Indonesia marine area, how their condition are so bad. Majority of them have a damaging. It is caused by the bad human manner, like use the wrong of catching technic. So, that can make coral reef ecosystem be damaged. Just in the east of Indonesia that the beauty of coral reef stil saved. So it is very appropriate if there be object destination for local or foreign tourism.
The less of publics realize and knowledgement about the important of coral reef for sea ecosystem, that cause marine waters be damaged. The coral reef is the place for fish life and now be bad because humans responsible. Automatically, the life of fish will be threatened. Therefore, we must save and return the coral reef as heaven under sea.

Model Proses Menurut Smith


Menurut Smith (1973) dalam model prosesnya, pembentukan kebijakan yang ideal dapat berhasil diterapkan jika didukung oleh 3(tiga) faktor utama, yaitu organisasi yang menerapkannya (implementing organization), kelompok yang menjadi target kebijakan tersebut (target group), serta faktor-faktor lingkungan (environmental factors) nya. Salah satu saja dari faktor tersebut tidak memenuhi, maka tidak akan tercapai suatu kebijakan ideal yang dapat terlaksana.
Dengan mengetahui model proses Smith ( 1973 ) dapat disimpulkan bahwa penjelasan Smith ( 1973 ) tentang model proses, ada 3 faktor utama yang diterapkan yaitu : implementing organization ( organisasi yang menerapkannya ) yaitu ada sekelompok organisasi dalam masalah Kemacetan lalu lintas tersebut, diantaranya adalah Kelompok yang menjadi target tersebut ( target group ) yaitu. Dan yang terakhir adalah faktor lingkungan (environment factor ) yaitu keadaan lingkungan yang menunjang permasalah model proses Kebijakan tersebut.
Setelah kita mengidentifikasi masalah, kita mengetahui masalah apa saja dari individu atau kelompok masyarakat. Lalu, agenda setting dari media massa oleh publik yang memfokuskan masalah khusus kebijakan pemerintah.  Dari siklus kebijakan aktivitas politik model proses kemudian perumusan kebijakan (policy formulation ) yakni proses pengesahan yang dirancang secara khusus untuk mengatasi atau mengurangi masalah yang terjadi di masa lalu atau untuk mencegah terjadinya kembali masalah kebijakan publik yang kurang lebih sama di masa yang akan datang.
Lalu, policy legitimation ( pengesahan kebijakan ) yang memilih suatu usulan dan membentuk politik dan disahkan dalam hukum undang – undang. Kemudian, policy implementation ( implementasi kebijakan ) menurut sementara ahli, implementasi dapat dirumuskan sebagai suatu proses, suatu output ( keluaran ), dan suatu hasil akhir ( outcome ). Proses siklus yang terakhir adalah evaluasi kebijakan ( evaluation policy ) yakni  menganalisis tentang program-program, evaluasi hasil-hasil dan pengaruhnya, dan menyarankan perubahan-perubahan dan penyesuaian-penyesuaian.
Evaluasi kebijakan pada hakikatnya mempersoalkan apa yang sesungguhnya telah terjadi sebagai hasil dari sebuah kebijakan atau apa yang terjadi sesudah kebijakan tertentu diimplementasikan. Dengan begitu evaluasi akan mempersoalkan dampak nyata dari sebuah proses legislasi atau seberapa jauh kebijakan tertentu senyatanya mencapai hasil yang diinginkan. Sebagai contoh, studi evaluatif mungkin akan tertarik pada pertanyaan seperti ‘apakah pengadaan Bus Way secara signifikan memang terbukti mengurangi kemacetan lalu lintas di Ibu Kota Jakarta ? ( Salah satu fenomena masalah tipikal pertanyaan yang umumnya ingin dijawab oleh studi evaluasi kebijakan ).
Perubahan kebijakan ( policy change ) boleh dikatakan merupakan konsep terbaru yang dikembangkan dan kemudian dimasukkan dalam model proses aktivitas kebijakan publik. Konsep ini yang sebagian besar berasal dari hasil karya Paul Sabatier dkk pada pertengahan 1980 –an mencakup berbagai tahapan dai model proses kebijakan. 

Metode Analytic Hierarchy Process (AHP)


Metode Analytic Hierarchy Process (AHP) dikembangkan oleh Prof. Thomas Lorie Saaty dari Wharston Business school untuk mencari ranking atau urutan prioritas dari berbagai alternatif dalam pemecahan suatu permasalahan. Dalam kehidupan sehari-hari, seseorang senantiasa dihadapkan untuk melakukan pilihan dari berbagai alternatif. Disini diperlukan penentuan prioritas dan uji konsistensi terhadap pilihan-pilihan yang telah dilakukan. Dalam situasi yang kompleks, pengambilan keputusan tidak dipengaruhi oleh satu faktor saja melainkan multifaktor dan mencakup berbagai jenjang maupun kepentingan.
Pada dasarnya AHP adalah suatu teori umum tentang pengukuran yang digunakan untuk menemukan skala rasio baik dari perbandingan berpasangan yang diskrit maupun kontinu. Perbandingan-perbandingan ini dapat diambil dari ukuran aktual atau skala dasar yang mencerminkan kekuatan perasaan dan preferensi relatif. AHP memiliki perhatian khusus tentang penyimpangan dari konsistensi, pengukuran dan ketergantungan di dalam dan di luar kelompok elemen strukturalnya.
Analytic Hierrchy Process (AHP) mempunyai landasan aksiomatik yang terdiri dari:
1.      Resiprocal Comparison, yang mengandung arti bahwa matriks perbandingan berpasangan yang terbentuk harus bersifat berkebalikan. Misalnya, jika A adalah k kali lebih penting dari pada B maka B adalah 1/ k kali lebih penting dari A.
2.      Homogenity, yang mengandung arti kesamaan dalam melakukan perbandingan. Misalnya, tidak dimungkinkan membandingkan jeruk dengan bola tenis dalam hal rasa, akan tetapi lebih relevan jika membandingkan dalam hal berat.
3.      Dependence, yang berarti setiap jenjang (level) mempunyai kaitan (complete hierarchy) walaupun mungkin saja terjadi hubungan yang tidak sempurna (incomplete hierarchy).
 Expectation, yang artinya menonjolkan penilaian yang bersifat ekspektasi dan preferensi dari pengambilan keputusan. Penilaian dapat merupakan data kuantitatif maupun yang bersifat kualitatif

Manajemen Pelayanan Publik


Negara dan sistem pemerintahan menjadi tumpuan pelayanan warga negara dalam memperoleh jaminan atas hak - haknya. Maka peningkatan kualitas pelayanan menjadi semakin penting. Sebab, manajemen publik sejak tahun 1980-an telah berubah oleh fenomena internasional, yang diantara lain dipicu dengan lahirnya kompetisi global dalam sektor pelayanan.
Davidow menyebutkan bahwa pelayanan adalah hal - hal yang jika diterapkan terhadap suatu produk akan meningkatkan daya atau nilai terhadap pelanggan. Sebab, pelayanan yang baik membutuhkan instruktur pelayanan yang sangat baik pula. Hal yang paling penting adalah membuat setiap orang dalam organisasi berorientasi pada kualitas.
Meminjam terminologinya Crosby yang dimaksud dengan kualitas pelayanan ialah penyesuaian terhadap perincian - perincian dimana kualitas ini dipandang sebagai derajat keunggulan yang ingin dicapai, dilakukannya kontrol terus menerus dalam mencapai keunggulan tersebut dalam rangka memenuhi kebutuhan pengguna jasa.
Pelayanan merupakan respons terhadap kebutuhan manajerial yang hanya akan terpenuhi kalau pengguna jasa mendapatkan produk yang mereka inginkan. Jika demikian halnya, maka apa yang menjadi perumpamaan bahwa pembeli adalah raja adalah sangat penting dan menjadi konsep yang mendasar bagi peningkatan manajemen pelayanan.
Untuk mewujudkan manajemen pelayanan yang efektif dibutuhkan perubahan focus, yakni dari menciptakan produk berkualitas dan bermanfaat menjadi kualitas keseluruhan yang daya manfaatnya meliputi setiap aspek hubungan dengan pengguna jasa. Dengan begitu, adagium pelayanan yang baik merupakan bisnis yang menguntungkan menjadi kenyataan yang tak bisa dielakkan.
Pada tingkat kompetisi yang akan semakin terbuka di era globalisasi mendatang, maka dorongan untu membangun pemerintahan yang digerakkna oleh pelanggan semakin strategis. Perbaikan manajemen pelayanan menjadi variable penentu dalam memenangkan kompetisi. Oleh karena itu, perlu adanya perubahan perspektif manajemen pelayanan yang mengubah focus manajemen baik dalam perusahaan jasa maupun perusahaan manufaktur. Perubahan perspektif yang dimaksud, menurut Gronroos adalah sebagai berikut :
1)      Dari berdasarkan daya manfaat produk menjadi daya manfaat total dalam hubungan dengan pengguna jasa.
2)      Dari transaksi jangka pendek menjadi hubungan jangka panjang.
3)      Dari kualitas inti (baik barang maupun jasa) kualitas teknis dari suatu produk pada kualitas yang diharapkan dan dipersepsikan para pengguna jasa dalam mempertahankan hubungan dengan pengguna jasa.
4)      Dari menghasilkan solusi teknis sebagai proses kunci dalam organisasi menjadi pengembangan daya manfaat dan kualitas keseluruhan sebagai proses kuncinya.
Dapatlah dimengerti bahwa kualitas pelayanan menjadi faktor yang menentukan dalam menjaga keberlangsungan suatu organisasi birokrasi pemerintah maupun organisasi perusahaan. Pelayanan yang baik dan sesuai dengan kebutuhan pengguna jasa publik, sangat penting dalam upaya mewujudkan kepuasan pengguna jasa publik.
Pada saat lingkungan bisnis bergerak ke suatu arah persaingan yang semakin ketat dan kompleks, maka sebagai kata kuncinya adalah memenangkan persaingan pasar melalui orientasi strategi pada manajemen pelayanan prima. Kata kunci inilah yang sangat dibutuhkan. Sebab, saat ini titik tolak strategi bersaing selalu diarahkan kepada asumsi bahwa kondisi pasar sudah bergeser dari “sellers market” ke “buyers market”.
Berkaitan dengan hal ini, telah muncul slogan “reinveting” dan “reengineering government”. Konsep reengineering government” diprakarsai oleh David Osborne dan Ted Gaebler, pada intinya diorientasikan pada penciptaan suatu nilai. Sehingga para pengguna jasa publik dapat terpuaskan, misalnya dari segi kualitas, harga yang kompetitif maupun penyediaannya yang cepat.
Untuk mewujudkan kondisi sebagaimana disebutkan di atas, diperlukan pemahaman terhadap faktor kunci eksternal dengan cara :
1)      Memulai mengenali dinamika customers need and wants
2)      Mengembangkan suatu kerangka pendekatan ke arah pencapaian kepuasan pelanggan.
3)      Pertemukan tujuan badan usaha dalam rangka pencapaian kepuasan pelanggan.

Faktor - faktor eksternal tersebut perlu direspons setiap pucuk pimpinan, baik pimpinan dalam organisasi birokrasi maupun perusahaan. Tentu dengan mengintegrasikan berbagai unsur atau elemen guna menghasilkan produk layanan yang dapat memuaskan pengguna jasa. Semua ini dimaksudkan demi perbaikan kinerja organisasi yang diorientasikan pada keseluruhan proses untuk menciptakan “value to customer” yang terkait dengan aspek mutu produk dan jasa, waktu pembuatan dan penyerahan, biaya rendah serta produktivitas yang sangat tinggi.
Begitu pentingnya pelayanan yang berkualitas, Richard Normann mengilustrasikan pelayanan sebagai sebuah proses sosial, sedangkan manajemen merupakan kemampuan untuk mengarahkan proses - proses sosial itu. Dilihat dari aspek hubungannya dengan pengguna jasa, Groones menyatakan bahwa manajemen pelayanan bertujuan untuk :
1)      Memahami nilai daya manfaat pelayanan yang diterima pengguna jasa yang memanfaatkan atau menggunakan pelayanan yang ditawarkan organisasi serta bagaimana pelayaan itu sendiri atau hak lain yang bersifat fisik mempengaruhi pelayanan tersebut. Dengan kata lain, manajemen pelayanan adalah memahami bagaimana kualitas keseluruhan dipahami dalam hubungannya dengan pengguna jasa dan bagaimana pelayanan itu berubah sesuai waktu.
2)      Memahami bagaimana suatu organisasi (personal, teknologi, sarana fisik, sistem dan pengguna jasanya) mampu menghasilkan atau memberikan daya manfaat atau kualitas.
3)      Memahami bagaimana suatu organisasi sebaiknya dikembangkan dan di manage sehingga tujuan dan kualitas yang dimaksud akan tercapai.
4)       Membuat fungsi organisasi untuk mencapai daya manfaat atau kualitas tersebut, serta tujuan organisasi dan orang - orangnya dapat dilibatkan (organisasi, pengguna jasa, dan masyarakat).
Yang menjadi pertanyaan sekarang ialah bagaimana manajemen menciptakan suatu sistem nilai atau moral untuk melayani, bukan untuk dilayani (to serve not to be served). Dalam hal ini, kekuatan process public policy making merupakan salah satu jalan guna menciptakan manajemen pelayanan yang prima (excellent service management).
Peningkatan kemampuan manajemen sektor publik dalam pencapaian tujuan tingkat pekerjaan yang tinggi, seperti kegiatan waktu, keunggulan mutu produk, pengurangan biaya untuk memperoleh pelayanan, serta perlakuan yang semakin menempatkan konsumen atau rakyat sebagai pihak yang memiliki martabat adalah penting dalam rangka mewujudkan kualitas pelayanan itu sendiri. Sebab menempatkan konsumen pada tingkat yang terhormat, merupakan kekuatan penting dalam memenangkan kompetisi di tingkat global.
Dalam mengembangkan organisasi yang berorientasi konsumen (customers oriented), semua kegiatan harus berbasis pada kebutuhan dan keinginan pelanggan. Persepsi konsumen terhadap nilai dan mutu suatu produk (barang dan jasa) juga banyak dipengaruhi oleh prima sebagai atribut yang melekat pada produk itu sendiri.
Konsumen masa depan menurut Kotler, menginginkan proses yang lebih cepat, profesionalisme, dan praktis. Christopher Lovelock juga mengatakan jangan hanya mengikuti kemajuan teknologi, tetapi bagaimana kita mampu merespons (sebagai bentuk jawaban) atas permintaan konsumen yang menginginkan informasi yang lebih baik, pelayanan yang lebih cepat dan variasi penunjukkan produk inti yang lebih memikat.
Namun dalam tingkat operasional, masalah - masalah yang akan timbul biasanya berupa :
1)      bagaimana fungsi pelayanan konsumen ini diaktifkan untuk memenuhi kebutuhan konsumen.
2)      Orang - orang sistem apa yang dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan konsumen.
3)      Bagaimana mendesain suatu fungsi pelayanan yang baik serta bagaimana menjalankannya secara efektif.

Solusi yang dipandang tepat untuk mengatasi masalah tersebut ialah perlunya penyediaan pelayanan yang tepat dan konsisten pada saat dibutuhkan. Hal ini pada gilirannya akan menimbulkan rasa puas pada pemakai jasa.
Akan tetapi harus diakui bahwa kesulitan mendapatkan pelayanan yang berkualitas akan mengakibatkan munculnya take and give, yaitu antara client atau customer dan yang memberi pekerjaan. Jika hal ini terjadi, maka akan memunculkan uang suap, kelambatan pelayanan dapat diatasi dengan mudah. Kecepatan pekerjaan yang didasarkan atas suatu imbalan kepada pejabat atau pegawai yang melayani mereka, hanya akan mengakibatkan kurangnya rasa hormat pengguna jasa terhadap organisasi.
Hal lain yang perlu dipertimbangkan dalam peningkatan kualitas pelayanan (service quality) ialah pembagian kerja atau deferensiasi. Dalam konteks ini, I.J. Gordon (1993 : 498 - 504) menyebutkan :
1)      Dalam hal pembagian kerja agar berdasarkan diferensiasi horizontal yang menekankan diferensiasi personal.
2)      Dalam hal option for coordination agar dikembangkan central adjustment dengan standardization of work process, standardization of ouput and standardi-zation of skill.
3)      Dalam hal information procession, agar didasarkan pada organic structure yang memiliki a high information processing yaitu kapasitas yang cepat dan akurat.

Ketika mengembangkan organisasi yang berorientasi kepada konsumen, maka semua kegiatan harus berbasis pada konsiderasi tentang kebutuhan dan keinginan pengguna jasa. Sebab, kesalahan dalam pengindetifikasikan kebutuhan dan harapan pengguna jasa akan menyebabkan pelayanan menjadi tidak berarti dan sia - sia.

Sabtu, 15 Desember 2012

Narsis Bersama HMIP UI dan HIMAPOLITIK UB

Kunjungan Ilmu Politik UB ke Ilmu Politik UI. Tampak rekan - rekan Himapolitik dan HMIP UI akrab foto bersama.

Sabtu, 17 November 2012

Pengertian Pejabat Negara


Pada kamus besar bahasa Indonesia W.J.S. Poerwadarminta pejabat negara dapat diartikan sebagai orang yang bekerja pada bagian pemerintahan, pegawai pemerintahan. Pada beberapa pengertian lain dari KPK dan Hoge Raad pejabat negara diartikan luas salah satunya yaitu pegawai negeri atau penyelenggara negara. Menurut Hoge Raad pejabat negara atau pegawai negeri atau penyelenggara negara adalah barangsiapa yang oleh kekuasaan umum diangkat untuk menjabat pekerjaan umum untuk melakukan sebagian tugas dari tugas pemerintahan atau alat perlengkapannya. Jadi pengertian pegawai negeri menurut Hoge Raad mdengandung 3 unsur pokok, yaitu
1. dia diangkat oleh kekuasaan umum
2. untuk menjabat pekerjaan umum, dan
3. melaksanakan sebagian tugas pemerintahan atau alat perlengkapannya
Pada Pasal 92 KUHP juga dikatakan macamnya pegawai negeri yaitu
1)      orang - orang yang dipilih dalam pemilihan yang diadakan berdasarkan aturan - aturan umum
2)      orang - orang yang bukan karena pemilihan menjadi anggota badan pembentuk undang - undang, badan pemerintahan, atau badan perwakilan rakyat yang dibentuk oleh pemerintah atau atas nama pemerintah
3)      semua anggota dewan subak (waterschap)
4)      semua kepala rakyat Indonesia asli
5)      semua kepala golongan Timur Asing yang menjalankan kekuasaan sah.
Pegawai negeri menurut Mahkamah Agung RI merupakan setiap orang yang diangkat oleh penguaa yang dibebani dengan jabatan umum untuk melaksanakan sebagian tugas negara. Pengertian itu tercantum dalam pertimbangan putusan - putusan Mahkamah Agung RI (22-12-1953, 1-12-1962).
Menurut UU. No. 8 tahun 1974 pegawai negeri adalah mereka yang setelah memenuhi syarat - syarat berlaku, ditentukan dalam peraturan perundang - undangan yang berlaku, diangkat oleh pejabat yang berwenang dan diserahi tugas dalam suatu jabatan negeri atau diserahi tugas negara lainnya yang ditetapkan berdasarkan suatu peraturan perundang - undangan dan digaji menurut perundang - undangan yang jelas.
Pada UU No. 31 tahun 1999 pada pasal 1 butir ke - 2 dirumuskan bahwa pegawai negeri dirumuskan sebagai berikut
a.       Pegawai negeri sebagaimana dimaksud dalam undang - undang tentang kepegawaian
b.      pegawai negeri sebagaimana dimaksud dalam Kitab  Undang - Undang Hukum Pidana
c.       orang yang menerima gaji atau upah dari keuangan negara atau daerah
d.      orang yang menerima gaji atau upah dari suatu korporasi yang menerima bantuan dar keuangan negara atau daerah
e.       orang yang menerima gaji atau upah dari korporasi lain yang mempergunakan modal atau fasilitas dari negara atau masyarakat.

REFERENSI

Tim KPK, 2011. Buku Panduan Buat Melawan Korupsi. Jakarta : KPK
Poerwadarminta, W. J.S. ,1976. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta : Balai Pustaka
Chazawi, Adami, 2005. Pelajaran Hukum Pidana 2. Jakarta : PT RajaGrafndo Pustaka
Chazawi, Adami, 2007. Pelajaran Hukum Pidana 1. Jakarta : PT RajaGrafndo Pustaka