Rabu, 05 Juni 2013

Konsep Kebudayaan Sebagai Suatu Sistem

  Dalam khasanah kajian ilmu pengetahuan sosial-budaya telah dijumpai beragam definisi tentang kebudayaan. Keberagaman definisi tentang kebudayaan tersebut disebabkan oleh: Keberagaman orientasi filosofis-teoritis para ahli dalam memahami hakikat kebudayaan; dan adanya keberagaman disiplin keilmuan yang dimiliki oleh masing-masing peminat studi kebudayaan. Bahkan pada tahun 1952 sudah ada seorang antropolog A.L. Kroeber dan C. Kluckhohn yang menulis buku dengan judul ’Culture, A Critical Review of Concepts and Definitions’, dalam buku tersebut dijelaskan paling sedikit ada 160 buah definisi tentang kebudayaan, kemudian mereka menganalisis dari segi latar belakang, prinsip, dan tipe atau intinya (Koentjaraningrat, 1989).

  Kata ‘kebudayaan’ adalah berasal dari bahasa sanskerta ‘buddhayah’ (buddhi/ budi atau akal dan daya atau kekuatan). Jadi, dalam arti bahasa ‘kebudayaan’ merupakan suatu hasil cipta, rasa dan karsa manusia dalam proses kehidupannya. Kebudayaan sebenarnya mempunyai arti yang sangat luas, tidak hanya sebatas konsep tentang hal-hal yang indah, seperti bangunan-bangunan arsitektur (candi, masjid, pura dsb); seni rupa, seni tari, seni suara atau kesusatraan, tetapi meliputi seluruh hasil cipta, rasa dan karsa manusia sepanjang usia hidupnya untuk memenuhi beragam kebutuhan hidup, baik secara individu atau kelompok (Gazalba, S.,1967) Dalam bahasa inggris kata kebudayaan adalah culture, yang berarti ‘segala daya upaya serta tindakan manusia untuk merubah alam.

  Kemudian apakah perbedaan makna ‘kebudayaan’ (culture) dengan ‘peradaban’ (civilization)?. Kebudayaan mempunyai makna yang lebih luas dari pada peradaban. Dalam beberapa kajian tentang kebudayaan, istilah peradaban (civilization) sering digunakan untuk menyebut bagian atau unsur-unsur dari karya budaya yang bersifat indah, halus dan maju. Contohnya: bangunan candi Borobudur; Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi ruang angkasa dan kemajuan Iptek bidang pertanian, kedokteran dan sebagainya; Keagungan seni rupa atau seni pahat; Kesusastraan; Pelaksanaan demokrasi dan hak azasi yang baik dalam suatu negara, dan sebagainya. Jadi, peradaban sebenarnya merupakan bagian dari kebudayaan yang mengandung unsur-unsur kemajuan (membanggakan), baik yang bersifat fisik maupun non fisik (Gazalba, S.,1967). 

Berdasarkan uraian singkat di atas, maka dapat disimpulkan bahwa pengertian kebudayaan adalah ‘seluruh sistem ide (gagasan atau cita-cita) yang ada dalam pikiran manusia, dan seluruh tindakan sosial dalam kehidupan sehari-hari serta seluruh hasil karya fisik manusia (sistem teknologi) yang diperoleh melalui proses pembelajaran, dalam rangka pemenuhan beragam kebutuhan hidup baik secara individu atau kelompok’. Berdasarkan kesimpulan definisi tentang kebudayaan tersebut, maka hakikat suatu kebudayaan itu mempunyai tiga wujud budaya, yaitu: (a) wujud ide atau gagasan atau cita-cita (sistem budaya); (b) wujud kelakuan berpola atau sistem tindakan sehari-hari (sistem sosial); dan (c) wujud teknologi atau peralatan (sistem teknologi). Jadi, hakikat makna kebudayaan itu mempunyai lingkup pengertian yang sangat luas, yaitu: (a) merupakan seluruh cipta, rasa dan karsa manusia yang sangat beraneka ragam potensi atau kemampuannya; (b) diperoleh dan diwariskan kepada generasi penerus melalui proses pembelajaran (bukan melalui kelahiran atau keturunan); (c) dijabarkan atau diwujudkan dalam bentuk gagasan, kelakuan atau kebiasaan-kebiasaan atau tata cara dan peralatan hidup;  (d)  bersifat dinamik dalam proses kehidupan kemasyarakatan diberbagai bidang dan bersifat nisbi atau relatif (Liliweri, A., 2003).

  Kedua, wujud kebudayaan. Menurut Koentjaraningrat (1982), pada dasarnya suatu kebudayaan itu mempunyai tiga wujud, yaitu: (1) wujud kebudayaan dalam bentuk kompleks ide, gagasan, nilai-nilai, cita-cita dan kemauan; (2) wujud kebudayaan dalam bentuk kompleks kelakuan berpola atau tata cara, atau kebiasaan sehari-hari; dan (3) wujud kebudayaan dalam bentuk fisik atau peralatan (sistem teknologi).
Wujud budaya ide atau gagasan ini sering disebut dengan ‘sistem budaya’. Sedangkan ciri-ciri wujud budaya ide adalah: (a) bersifat abstrak, sulit diraba dan dilihat bentuknya; (b) tempatnya ada di alam pikiran individu atau warga masyarakat; (c) menjadi acuan atau pedoman individu dalam bertingkah laku sehari-hari. Oleh karena itu wujud budaya ide atau gagasan sering dijadikan sebagai ’pedoman hidup’; dan (d) relatif lebih sulit untuk mengalami perubahan, apalagi wujud budaya ide tersebut sudah menjadi pandangan hidup warga masyarakat. Contoh wujud budaya ide atau gagasan yang bersifat ’kolektif’ adalah: nilai-nilai luhur Pancasila; Undang-Undang Dasar 1945 dan aturan perundangan atau hukum lainnya; Tujuan  pembangunan nasional; Visi dan missi suatu organisasi sosial, politik ekonomi dan sebagainya. Sedangkan contoh wujud budaya ide atau gagasan yang bersifat ’individu’ adalah: tujuan, cita-cita, keinginan, dan motivasi seseorang untuk melakukan sesuatu tindakan tertentu atau untuk meraih prestasi di bidang tertentu.

  Wujud budaya dalam bentuk kompleks kelakuan berpola sering disebut sebagai ’sistem sosial’. Sedangkan ciri-ciri sistem sosial (wujud budaya kelakukan berpola) adalah: (a) bentuknya lebih kongkrit dari pada wujud budaya ide atau gagasan; (b) merupakan penerapan atau perwujudan dari budaya wujud ide, yang berbentuk tata cara atau tingkah laku seseorang dalam kehidupan sehari-hari di masyarakat; (c) relatif mudah berubah, terutama yang berbentuk kebiasaan-kebiasaan sehari-hari dalam model berpakaian, berinteraksi sosial; dan (d) bisa diobservasi atau diamati pola-pola kegiatan sehari-hari dalam memenuhi beragam kebutuhan hidupnya. Contoh wujud budaya kelakuan berpola (sistem sosial) adalah: (a) wujud budaya ide dalam bentuk ’ingin melakukan pernikahan’, maka wujud kelakukan berpola (sistem sosial) adalah; rangkaian tahap-tahap kegiatan dalam upacara perkawinan; (b) wujud budaya ide dalam bentuk ’tujuan ingin mewujudkan pelaksanaan demokrasi  dalam pemilu yang Luber’, maka wujud kelakuan berpolanya adalah, beberapa rangkaian kegiatan pencoblosan di TPS oleh para pemilih dan panitia secara Luber. Jadi, perwujudan dari wujud budaya kedua (kelakuan berpola) adalah selalu berorientasi pada wujud budaya pertama (sistem ide atau gagasan).
  Wujud budaya ketiga ini sering disebut ’sistem teknologi’, ciri-ciri wujud budaya sistem teknologi adalah: (a) sangat kongkrit, dapat dilihat dan di raba wujudnya, berupa peralatan atau benda; dan (b) paling mudah terjadi perubahan bentuk, karena bisa rusak. Bentuk wujud budaya teknologi bisa berupa bangunan rumah atau pabrik atau bangunan tempat ibadah atau peralatan hidup lainnya  dari yang paling besar sampai  yang paling kecil, misalnya paku atau baut. Ketiga wujud budaya tersebut dalam kehidupan sehari-hari, baik secara individu atau kelompok (masyarakat) saling mengkait atau merupakan suatu sistem. Uraian tentang kebudayaan sebagai suatu sistem akan dijelaskan pada uraian berikutnya.
Ketiga, unsur-unsur kebuadayaan. Setiap karya budaya selalu mempunyai tiga wujud budaya (wujud ide, wujud kelakuan berpola, dan wujud teknologi), dalam aktifitas manusia sehari-hari ketiga wujud budaya tersebut saling berhubungan timbal balik (Kroeber (ed), 1953). Demikian juga setiap karya budaya suatu masyarakat mempunyai unsur-unsur budaya, dari unsur-unsur budaya yang mempunyai ruang lingkup luas sampai unsur-unsur budaya yang mempunyai ruang lingkup sangat kecil.

  Menurut antropolog C. Klukckhon dalam Kroeber (1953), bahwa karya budaya manusia itu mempunyai unsur-unsur budaya yang selalu dijumpai disetiap kehidupan masyarakat dimanapun di dunia ini, unsur-unsur budaya tersebut disebut ’unsur-unsur budaya universal’ (cultural universals), sedangkan menurut Koentjaraningrat (1982), bahwa unsur-unsur budaya universal tersebut disebut juga sebagai ’isi kebudayaan’. Isi kebudayaan ini selalu dijumpai disetiap kehidupan manusia, baik pada masyarakat terisolir sampai pada masyarakat metropolis (perkotaan modern). 

DAFTAR PUSTAKA

Arifin, 2011. Konsep Sistem Sosial dan Budaya. Malang

Landasan Ilmu Pengetahuan

Menurut Jujun S. Suriasumantri (1996), bahwa semua ilmu pengetahuan sosial-budaya dan ilmu pengetahuan alam, pada dasarnya memiliki tiga landasan utama, yaitu: Pertama, Ontologi, yaitu membahas tentang hakikat objek yang dikaji atau membahas tentang apa yang ingin diketahui atau merupakan suatu kajian mengenai teori tentang hakikat ada. Berdasarkan objek yang telah ditelaahnya, maka ilmu dapat disebut sebagai pengetahuan empirik (nyata) yang berbeda dengan agama. Aspek ontology inilah yang membedakan antara objek disiplin ilmu pengetahuan satu dengan ilmu pengetahuan  lainnya.

Kedua, Epistemologi, yaitu membahas secara mendalam proses atau prosedur dalam memperoleh ilmu pengetahuan atau suatu ilmu pengetahuan yang diperoleh melalui proses tertentu yang dinamakan metode keilmuan. Diantara metode keilmuan adalah bersifat terbuka, objektif, logis dan menjunjung kebenaran data di atas segala-galanya. Pada aspek epistemologi inilah letak kegiatan dari penelitian ilmiah (scientific research).

Ketiga, Aksiologi, yaitu membahas tentang manfaat (pragmatis) yang diperoleh dari pengetahuan bagi kehidupan manusia, atau bagaimana keterkaitan antara pengetahuan dengan kaidah-kaidah moral dalam kehidupan di masyarakat.  Jadi, aspek aksiologi lebih menyangkut dimensi fungsional suatu ilmu pengetahuan bagi kehidupan. Menurut para ahli fungsi ilmu pengetahuan antara lain (a) fungsi praktis, yaitu melakukan penyingkapan, mempelajari fakta, memajukan pengetahuan guna melakukan berbagai perbaikan; (b) menetapkan hukum-hukum umum yang meliputi perilaku kejadian dan objek oleh ilmu yang bersangkutan, sehingga dapat mengkaitkan antara ilmu pengetahuan dengan beragam kejadian untuk membuat prediksi ke depan secara benar, sehingga mempunyai manfaat yang tinggi bagi kehidupan (Kerlinger, F., 2002). Jadi, untuk membedakan jenis ilmu pengetahuan sosial satu dengan yang lain dapat dilihat dari tiga aspek yaitu: Ontologi, Epistemologi dan Aksiologi.

Sedangkan tujuan ilmu pengetahuan, baik ilmu pengetahuan sosial-budaya dan ilmu pengetahuan alam  meliputi: (1) tujuan dasar ilmu, yaitu menjelaskan fenomena-fenomena kehidupan, baik fenomena sosial  atau alam secara sistematis, objektiv, logis atau rasional; (2) tujuan lebih khusus, yaitu memberikan penjelasan, pemahaman, prediksi atau peramalan dan kontrol atau pengendalian. (Kerlinger, F., 2002); dan (3) untuk memahami fenomena alam dan sosial secara objektif (menurut apa adanya, bukan menurut apa seharusnya), sistematis, dan terbuka untuk diuji kembali melalui proses penelitian ilmiah (Hooever, 1980).

Berdasarkan uraian di atas maka beberapa konsep penting yang dapat dipahami tentang hakikat ilmu pengetahuan (science), baik ilmu pengetahuan sosial-budaya maupun ilmu pengetahuan alam adalah: (1) science dimulai dari kesangsian atau keragu-raguan terhadap beragam fenomena hidup, tidak dimulai dari kepastian seperti dalam ajaran agama; (2) science tidak bersinggungan dengan hal-hal yang gaib, melainkan berkaitan dengan data-data empirik; (3) penjelasan  science bersifat detail, sistematis, objektif dan praktis tentang beragam fenomena hidup, baik sosial-budaya maupun alam; (4) kebenaran science bersifat relatif, berubah dari waktu ke waktu tergantung pada hasil penelitian ilmiah berikutnya (Agus, B., 1999). Menurut Comte dalam Wibisono, K., (1983), bahwa perkembangan pola pemikiran manusia atau masyarakat adalah melalui tiga tahap, yaitu dari tahap teologis (fiktif), kemudian berkembang ketahap metafisik (abstrak) dan terakhir ke tahap positif, dan pada tahap positif inilah letak perkembangan ilmu pengetahuan (science); (5) kebenaran science terbuka bagi siapapun untuk menguji ulang dan membuka kesempatan bagi siapapun untuk menolak atau bahkan merevolusi ilmu pengetahuan atau teori yang telah ada (Kuhn, T., 1970); dan (6) kebenaran pandangan science tergantung pada orientasi filosofis yang dijadikan pedoman dalam pengembangan teori-teori science dan metode penelitiannya, misalnya makna kebenaran teori ilmu pengetahuan yang berorientasi filosofis positivisme, rasionalisme akan berbeda interpretasinya dengan teori ilmu pengetahuan yang berorientasi filosofis idealisme, konstruktivisme (Suriasumantri, J.S. 1996; Keraf.S dan Dua, M.,2001). Sesuatu dianggap benar menurut paham positivisme adalah ‘sesuatu itu harus ada kesesuaian dengan proposisi, teori, dalil, hipotesis sebelumnya’, hal ini dikenal dengan istilah kebenaran koherensi, dan pendekatan penelitiannya adalah penelitian kuantitatif. Sedangkan sesuatu dianggap benar menurut paham konstruktivisme atau interpretatif adalah ‘sesuatu itu harus sesuai dengan realitas atau fakta-fakta dalam kehidupan sehari-hari (kenyataan empiris) atau dikenal dengan kebenaran korespondensi’, dan pendekatan penelitiannya adalah penelitian kualitatif.

DAFTAR PUSTAKA

Arifin, 2011. Diktat Konsep Sistem Sosial dan Budaya. Malang

Hakikat Ilmu Pengetahuan Sosial Budaya

Manusia dalam hidup diberi kemampuan untuk memaksimalkan potensi cipta, rasa dan karsanya dalam rangka proses pemenuhan aneka macam kebutuhan hidup baik secara individu atau kelompok. Salah satu bagian yang paling penting dalam proses kehidupan manusia adalah kebutuhan mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi. Apabila dicermati secara mendalam, maka sebenarnya semua aktivitas hidup manusia di masyarakat tidak bisa lepas dari kontribusi perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, yang merupakan produk sejarah kehidupan manusia itu sendiri. Dengan ilmu pengetahuan yang dimiliki, manusia selalu ingin mencari kebenaran, kebahagiaan, selalu ingin melakukan perubahan dalam berbagai aspek kehidupan dan dengan ilmu pengetahuan manusia merasa tidak puas terhadap karya budaya yang telah dimiliki, selalu ingin melakukan inovasi atau pembaharuan kehidupan.  Oleh karena itu tidak ada masyarakat di dunia ini yang tidak berubah, perubahan sosial-budaya adalah suatu keniscayaan di masyarakat (Appelbaum, R.P. 1970; Lauer, R.H. 1978; Sztompka, P., 2004). Sejatinya inti kualitas kehidupan manusia adalah terletak pada kemampuan dalam menggunakan ilmu pengetahuan dan teknologinya untuk melakukan perubahan demi perubahan dalam berbagai aspek kehidupan yang lebih baik.

Menurut Suriasumantri, J.S., (1996), bahwa dilihat dari hakikat usaha mencari kebenaran, sebenarnya pengetahuan dapat dibedakan menjadi dua jenis, yaitu: (1) pengetahuan yang didapat dari hasil usaha aktif manusia, baik melalui penalaran ilmiah maupun melalui perasaan intuisi; dan (2) pengetahuan yang didapat bukan dari usaha manusia, yaitu dari wahyu Tuhan melalui para Malaikat dan Nabi.  Hakikat penalaran ilmiah adalah merupakan gabungan dari penalaran deduktif dan penalaran induktif. Penalaran atau logika deduktif berorientasi pada pandangan positivisme atau rasionalisme, sedangkan penalaran atau logika induktif berorientasi pada pandangan konstruktivisme atau empirisme atau interpretatif (Kattsoff, L.O., 1996). Penalaran deduktif adalah berpijak dari teori/ dalil ke contoh, sedangkan penalaran induktif adalah berpijak dari contoh ke teori atau dalil. Logika deduktif merupakan pola berpikir untuk mencari ilmu dari prinsip, teori ke contoh atau dari dalil ke contoh, sedangkan logika induktif adalah pola berpikir untuk mencari ilmu dari contoh ke dalil atau dari fakta-fakta khusus ke prinsip umum (Kerlinger, 2002; Sukardi, 2004). 

DAFTAR PUSTAKA

Arifin, 2011. Diktat Konsep Sistem Sosial dan Budaya. Malang 

Kamis, 02 Mei 2013

Tokoh Dalam Model Rasional


Herbert Alexander Simon (15 Juni 1916 – 9 Februari 2001) adalah peneliti di bidang psikologi kognitif, ilmu komputer, administrasi umum, ekonomi dan filsafat. Pada tahun 1975, Simon mendapat penghargaan Turing Award dari ACM, bersama Allen Newell atas jasanya dalam memberikan kontribusi yang besar di bidang kecerdasan buatan, psikologi manusia dan pengolahan senarai. Pada tahun 1978 Simon juga mendapat penghargaan Nobel di bidang Ekonomi, atas penelitiannya di bidang pengambilan keputusan pada organisasi ekonomi. Salah satu konsep temuannya antara lain adalah istilah rasionalitas terbatas dan keterpuasan (satisficing). Herbert Simon lahir di Milwaukee, Wisconsin pada tahun 1916. Ia meraih gelar sarjananya pada tahun 1936 dari University of Chicago. Kemudian ia meraih gelar Ph.D. di bidang Ilmu Politik dari universitas yang sama pada tahun 1942, dengan disertasinya mengenai administrasi umum. Disertasinya ini kemudian diterbitkan dengan judul Administrative Behavior, dan konsep-konsep yang dikembangkan dalam buku inilah yang akhirnya membuat Simon menerima penghargaan Nobel. Simon sempat bekerja di Berkeley dan di Illinois Institute of Technology. Sejak tahun 1949, Simon bekerja di Carnegie Mellon University hingga wafat. Pada tahun 1956, bersama Allen Newell, Simon mengembangkan Logic Theory Machine dan program General Problem Solver (GPS) pada tahun 1957. GPS adalah metode penyelesaian masalah dengan cara memisahkan strategi pemecahan permasalahan dari informasi/data yang spesifik tentang masalah itu sendiri. Kedua program ini dikembangkan dengan menggunakan bahasa IPL (Information Processing Language) tahun 1956 yang dikembangkan oleh Newell, Cliff Shaw dan Simon. Dalam buku The Art of Computer Programming vol 1, Donald Knuth menyebutkan bahwa pengolahan senarai dalam IPL dengan senarai berkait awalnya disebut sebagai "NSS memory", yang merupakan singkatan dari nama-nama penemunya. Salah satu kiasan generatif untuk karya Herbert Simon yaitu rasionalitas terbatas adalah  maze (tempat yang penuh dengan jalan dan lorong berliku-liku dan simpang siur). Kita berada dalam  maze, tidak melihatnya dari atas helikopter untuk mensurvei semua pilihan dari sudut pandang seorang pemain Olympiade. Seseorang tidak dapat melihat semua kemungkinan pada waktu orang lain, seseorang tidak mengetahui probabilitas hasil yang diberikan dari pilihan seseorang, dan seseorang tidak memiliki kapasitas komputasional untuk menentukan suatu hasil yang optimal bahkan bila ia memiliki informasi mengenai hal ini. Oleh karenanya, kapasitas kita untuk perilaku rasional sangatlah terbatas dalam banyak dimensi.  Saat Simon tidak secara langsung mengarah kepada permasalahan pembangunan ekonomi, karyanya telah merintis kritik terhadap pembuat keputusan rasional secara substantif yang termanifestasi dalam model-model perencanaan, model-model dorongan besar, dan lebih umum lagi, dalam ambisi alasan teknokrasi. Suatu kontras dari berada dalam maze dibandingkan di atas maze merupakan suatu model mental yang berguna untuk menjelaskan dan membandingkan strategi-strategi pertumbuhan yang dalam kenyataannya tidak seimbang dengan mimpi-mimpi program pembangunan komprehensif. 

Model Rasional Dalam Penentuan Kebijakan


Sebuah model ideal pengambilan keputusan kebijakan publik secara rasional terdiri dari ‘seorang individu rasional’ yang menempuh aktifitas-aktifitas berikut ini secara berurutan:
1.      Menentukan sebuah tujuan untuk memecahkan sebuah masalah
2.      Seluruh alternatif strategi untuk mencapai tujuan itu dieksplorasi dan didaftar
3.      Segala konsekuensi yang signifikan untuk setiap alternatif diperkirakan dan kemungkinan munculnya setiap konsekuensi diperhitungkan.
4.      Terakhir, strategi yang paling dekat dengan pemecahan masalah atau bisa memecahkan masalah dengan biaya paling rendah dipilih berdasarkan kalkulasi tersebut.

Model rasional adalah ‘rasional’ daam pengertian bahwa model tersebut memberikan preskripsi berbagai prosedur pengambilan keputusan yang akan menghasilkan pilihan cara yang paling efisien untuk mencapai tujuan kebijakan. Teori-teori rasionalis berakar dalam aliran-aliran pemikiran positifisme dan rasionalisme jaman pencerahan  yang berusaha untuk mengembangkan pengetahuan yang ilmiah untuk meningkatkan kondisi hidup manusia. Ide-ide ini didasarkan pada keyakinan bahwa berbagai permasalahan sosial seharusnya diselesaikan melalui cara yang ‘ilmiah’ dan ‘rasional’, melalui pengumpulan segala informasi yang relevan dan berbagai alternatif solusi, dan kemudian memilih alternatif yang dianggap terbaik. Tugas analis kebijakan, di sini, adalah mengembangkan pengetahuan yang relevan dan kemudian menawarkannya pada pemerintah untuk diaplikasikan. Pembuat kebijakan diasumsikan sebagai untuk bekerja sebagai teknisi atau manajer bisnis, yang mengidentifikasi suatu masalah dan kemudian mengadopsi cara yang paling efektif dan efisien untuk mengatasi masalah tersebut. Karena berorientasi pada ‘pemecahan masalah’ maka pendekatan ini sering juga disebut sebagai pendekatan ‘ilmiah’, ‘rekayasa’ atau ‘manajerialis’[1].
Penilaian Simon terhadap model rasional menyimpulkan bahwa berbagai keputusan publik pada prakteknya tidak memaksimalkan manfaat di atas beban, tetapi hanya cenderung untuk memenuhi kriteria yang ditetapkan oleh para pengambil keputusan untuk diri mereka sendiri dalam masalah yang sedang menjadi perhatian. ‘Satisfying criterion’ ini adalah sesuatu yang nyata, sebagai sesuatu muncul dari hakekat rasionalitas manusia yang terbatas.


DAFTAR PUSTAKA
Howleet, Michael, and Ramesh, M. 1995. Studying Public Policy: Policy Cycles and Policy Subsystem. Journal Of Public Policy Decision-Making – Beyond Rationalism, Incrementalism and Irrationalism, 7 : 4 - 5

Ideologi PKB


Menurut Dr. Hafidh Shaleh, Ideologi adalah sebuah pemikiran yang mempunyai ide berupa konsepsi rasional, yang meliputi akidah dan solusi atas seluruh problem kehidupan manusia. Pemikiran tersebut harus mempunyai metode, yang meliputi metode untuk mengaktualisasikan ide dan solusi tersebut, metode mempertahankannya, serta metode menyebarkannya ke seluruh dunia.
Partai Kebangkitan Bangsa yang kelahirannya dibidani oleh para kiai NU, mempunyai corak lain dari sekian banyak partai modern yang ada di Indonesia. Secara Ideologi, PKB masih memiliki kesamaan cara pandang dengan NU yang mengambil Ahlus Sunnah wal Jamaah sebagai ideologinya. Ideologi PKB adalah inklusif, artinya meskipun dilahirkan dari rahim NU keberadaannya terbuka untuk orang diluar NU dan non-islam. Meskipun demikian, unsur NU tetap memegang kendali utama di PKB. Mereka yang memiliki “darah biru” kyai menempati posisi strategis partai. Basis sosial PKB berhimpitan dengan NU, yaitu kalangan islam tradisionalis dan kelas menengah ke bawah[2].
Dari sini bisa dijelaskan bahwa ideologi PKB adalah kebangsaan yang berorientasi pada kerakyatan yang menjunjung tinggi nilai-nilai toleransi dan keadilan. Berdasarkan ideologi kebangsaan ini, maka kehadiran PKB yang inklusif dan moderat menjadi sangat relevan dengan perkembangan dan dialektika perubahan ideologi.
Tujuan ideologi dalam sebuah partai politik digunakan sebagai dasar atau landasan yang akan memberikan arah terhadap perjuangan partai tersebut. Dalam hal ini PKB memiliki ideologi yang berdasarkan kebangsaan yang berorientasi pada kerakyatan yang menjunjung tinggi nilai-nilai toleransi dan keadilan, sehingga dengan adanya ideologi tersebut dapat dipastikah bahwa nilai-nilai perjuangan yang di usung oleh PKB akan berbanding lurus dengan ideologi yang dianut.

DAFTAR PUSTAKA
HM. Lukman Edy, Reformulasi Gerakan PKB, (Jakarta: Sekretariat Jendral DPP PKB, 2005), hal. 54.
Sigit Pamungkas, Partai Politik : Teori dan Praktik di Indonesia (Yogyakarta : Institute for Democracy and Welfarim, 2011), hlm. 140 - 141.

Polemik KPK versus Pemerintah



Sebagai bagian dari suatu negara hukum merupakan salah satu elemen yang penting, tanpa adanya hukum manusia akan berbuat sesuai dengan kehendaknya masing - masing dan berpotensi untuk merugikan orang lain. Hukum sendiri merupakan sistem yang terpenting dalam pelaksanaan atas rangkaian kekuasaan dari bentuk penyalahgunaan dalam bidang politik, ekonomi, dan masyarakat dalam berbagai cara dan tindakan. Dari hukumlah semua kehidupan seseorang di atur, baik itu berasal dari hukum agama, maupun hukum yang berkaitan dengan negara. Di negara Indonesia mempunyai beberapa jenis hukum yang semuanya memiliki fungsi dan tujuan yang berbeda, ada hukum perdata, hukum pidana, hukum tata negara, hukum tata usaha negara, hukum acara perdata, hukum acara pidana, hukum adat, dan hukum islam.
Pada dewasa ini negara Indonesia disibukkan dengan para pejabat negara yang terkesan nakal dan bertingkah laku tidak sesuai dengan kode etik pejabat, banyak dari mereka yang melanggar hukum, baik melakukan korupsi, suap, pencucian uang dan sebagainya. Sebenarnya pejabat negara bisa disamakan dengan pegawai negeri atau penyelenggara negara, sedangkan pengertiannya menurut Hoge Raad yaitu barangsiapa yang oleh kekuasaan umum diangkat untuk menjabat pekerjaan umum untuk melakukan sebagian tugas dari tugas pemerintahan atau alat perlengkapannya.
Dari kesekian banyak kasus hukum utamanya kasus hukum pidana yang menjerat pejabat negara baik dari tingkat eksekutif, legislatif hingga yudikatif ke semuanya belum mendapatkan sanksi yang sepadan dengan apa yang telah mereka lakukan. Terakhir kita dihebohkan dengan kasus dugaan suap menyuap jama’ah yang melibatkan anggota DPR RI pada kasus cek pelawat pemilihan gubernur deputi Bank Indonesia Miranda Gultom, belum lagi kasus yang sedang panas saat ini yaitu kasus mantan Bendahara Umum Partai Demokrat Muhammad Nazarrudin yang kabur ke luar negeri dan diduga terjerat kasus korupsi pembuatan wisma atlet Sea Games di Jakabaring, Palembang. Dari kalangan pejabat eksekutif yang terjerat tindak pidana seperti M. Ma’ruf mantan Menteri Dalam Negeri yang terlibat kasus korupsi proyek pemadam kebakaran, atau Menteri Sosial Bachtiar Chamzah yang terlibat kasus korupsi pengadaan sapi impor dan mesin jahit. Kasus pejabat yang melakukan korupsi itu belum termasuk kasus - kasus korupsi yang melibatkan para pejabat negara di tingkat provinsi dan kabupaten atau kotamadya, seperti contoh kasus Korupsi yang melibatkan mantan gubernur Kalimantan Timur, kasus korupsi yang melibatkan mantan Bupati Bojonegoro M. Santoso, dan masih banyak lagi. Dari sekian banyak kasus yang terdeteksi oleh KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) semua proses pemeriksaan dan penyelidikan terkesan lamban. Ketika ada laporan pengaduan dari masyarakat mengenai adanya indikasi pelanggaran hukum penyidik terkesan lambat dalam menanggapinya, contoh kasus ketika Ketua MK Mahfud MD yang melaporkan M. Nazarrudin yang diduga mencoba melakukan penyuapan kepada Sekjen MK Djanedri M. Ghaffar pada bulan September 2010 lalu baru diproses laporan dan baru heboh - hebohnya saat ini. Bandingkan dengan kasus terbaru di Pamekasan seorang warga yang mencuri sehelai kain sarung dihukum 5 tahun penjara oleh hakim kejaksanaan negeri, atau kasus pencurian semangka yang menghebohkan Kediri yang dihukum 5 bulan penjara. Kedua kasus itu langsung secara cepat ditangani aparat hukum. Perbandingan hukuman yang amatlah mencolok dan belum bisa dikatakan adil.
Reformasi politik tahun 1998 membawa harapan baru terhadap bangsa ini termasuk pemberantasan korupsi. Untuk pemberantasan korupsi yang sudah berurat berakar, dibuatlah Undang - Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang berkali - kali disempurnakan. Untuk melaksanakan undang - undang tersebut dibuat lembaga baru bernama Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang bisa ditafsirkan sebagai upaya melengkapi lembaga - lembaga penegak hukum yang sudah ada (Kepolisian dan Kejaksaan), tetapi juga bisa diartikan sebagai ketidakpercayaan pada lembaga - lembaga yang sudah ada, karena justru pada lembaga - lembaga penegakan hukum yang sudah ada itulah korupsi tumbuh subur.
Keberadaan KPK yang sering disebut sebagai lembaga “super body” karena kewenangannya yang bisa melakukan apa saja telah membawa banyak “korban”. Dari mantan menteri, Gubernur, anggota DPR hingga DPRD, Bupati dan Walikota, dan para pengusaha besar berhasil dijebloskan ke dalam penjara karena kasus korupsi, sesuatu yang sebelumnya sangat - sangat tidak mungkin terjadi. Sebuah surprise bagi sejarah pemberantasan korupsi di Indonesia kalaulah bukan sejarah peradaban untuk pertama kalinya besan Presiden SBY, yaitu Aulia Pohan masuk penjara meskipun dengan hukuman yang termasuk sedikit “lebih ringan”. Itulah yang melengkapi sekitar 500 pejabat publik Indonesia yang masuk penjara pasca reformasi.
Walaupun banyak kritik yang ditujukan kepada KPK dengan mengatakan lembaga ini masih mempraktikan kebijakan tebang pilih dalam menangani kasus - kasus korupsi, tetapi tetaplah KPK merupakan insitusi yang paling ditakuti oleh para perampok dan pencolong uang negara serta uang publik. Meskipun dalam prakteknya ada beberapa serangan - serangan yang menyertai kinerja KPK, tentu kita masih ingat dengan kasus hukum yang menimpa mantan Ketua KPK Antasari Azhar, dimana kala itu Antasari begitu beraninya menebas para koruptor di Gedung DPR dan instansi eksekutif, namun entah karena scenario atau karena memang benar - benar bersalah harus mendekam di jeruji besi dengan tuduhan pembunuhan dimana bukti di lapangan dengan fakta di persidangan adanya ketidak cocokan, misalkan dalam hal peluru yang diduga digunakan pembunuhan yang berbeda dengan yang terjadi di TKP dengan yang dihadirkan di persidangan. Beralih lagi ketika pimpinan KPK lainnya Bibid Samad Rianto dan Chandra Hamzah yang terjerat kasus cicak buaya jilid I.
Namun akhir - akhir ini lembaga extra ordinary crime yakni KPK tengah menjadi sorotan karena diobok - obok oleh oknum - oknum yang tak bertanggungjawab. Setelah publik dibuat naik pitam dengan cicak versus buaya jilid 1, muncul kembali cicak versus buaya jilid II. Dimana diawali dari penarikan 20 penyidik Polri dari KPK hingga penangkapan secara paksa penyidik andalan KPK Kompol Novel Baswedan pada jum’at 12 Oktober lalu dikarenakan dugaan kasus pembunuhan pada tahun 2004. Kasus - kasus ini melengkapi kasus sebelumnya dimana ada tarik ulur penanganan kasus dugaan korupsi alat simulator SIM yang melibatkan Irjen Djoko Susilo seorang perwira menengah POLRI.
Tak hanya itu rencana revisi UU Keistimewaan KPK oleh DPR RI dengan menghilangkan beberapa wewenang KPK diantaranya penyadapan dan penuntutan kian membuat KPK terjepit dalam tekanan. Polemik antara KPK dan pemerintahan sendiri menjadi isu yang sensitif selama 2 bulan ini. Di mulai dari penolakan anggaran pembangunan gedung baru KPK hingga terakhir kasus cicak versus buaya jilid II. Memang kejahatan korupsi merupakan musuh bersama tetapi dalam penanganannya tentu ada pihak - pihak yang memang secara pencitraan dirugikan dan salah satunya dari pihak pemerintahan itu sendiri.
Memang membedah episentrum korupsi menurut Denny Indrayana sebelum menjadi Wakil Menkumham mengatakan ada empat episentrum korupsi pertama di istana (dimana meliputi eksekutif, legislatif, dan yudikatif), cendana (dimana keluarga Suharto dan lingkarannya tidak pernah tersentuh), senjata (yaitu korupsi di sekitar kekuasaan tentara dan polisi), dan pengusaha naga (para konglomerat dan pengusaha yang hingga sekarang pun masih tetap ada). Profesor Amien Rais sendiri menambahkan episentrum kelima pada perusahaan multi nasional corporation yang menguras sumber - sumber kekayaan alam Indonesia dengan menekuk tengkuk pemerintah sehingga selamanya Indonesia dibuat menjadi jongos.
Memang korupsi di lembaga eksekutif, legislatif,dan yudikatif tidak isapan jempol belaka, setidaknya ini dibuktikan dengan hasil survei kemitraan pada tahun 2010 di 27 provinsi di Indonesia pemerintah menempati urutan pertama sebesar 30%, disusul parlemen dengan 18%, dan pengusaha 13%. Sedangkan kesimpulan dari survei Kemitraan dalam hal tingkat korupsi di pada trias politica menunjukkan lembaga Yudikatif di pusat 70%, 52% di daerah, eksekutif 32% di pusat, 44% di daerah, dan legislatif 78% di pusat, serta 44% di daerah. Jadi bisa diambil kesimpulan bahwa aktor dari tindakan korupsi dari pejabat negara (baik eksekutif, legislatif,dan yudikatif), pegawai negeri (pusat dan daerah) serta pengusaha.
Inilah mungkin yang membuat pemerintah kelabakan karena KPK begitu leluasanya mempreteli oknum - oknum pejabat pemerintahan yang terlibat korupsi sehingga pemerintah seakan merasa perlu membuat pengawasan kepada KPK. Terlebih pemerintah dibawah kendala Partai Demokrat dimana kadernya banyak yang terjerat kasus korupsi pula. Hingga Juni 2010 berdasarkan penemuan ICW, terdapat 176 kasus korupsi di pusat dan daerah, dengan tersangka 411 orang, dan potensi kerugian negara mencapai Rp 2.102.910.349.050. Bahkan jumlah kasus korupsi itu meningkat menjadi 285 kasus hingga 2012 bulan Oktober ini.
Solusi dari polemic antara KPK dan pemerintahan kami berpikir bahwa pemerintah selaku penyelenggara negara harus berkomitmen untuk melaksanakan mandatnya dalam hal pemberantasan korupsi. Dengan cara memberikan dukungan penuh kepada KPK untuk melaksanakan tugasnya dan mengintervensi jika ada yang berniat menggembosi KPK di tengah jalan. Sedangkan pada lembaga legislatif dukungan dalam hal pembuatan peraturan yang mana memberikan keleluasaan bagi KPK untuk menjalankan tugasnya merupakan bentuk dukungan nyata selaku lembaga yang berwenang dalam pembuatan undang - undang. Sedangkan di yudikatif sinergisitas antar lembaga dengan KPK sangat amat diperlukan, karena pemberantasan korupsi tidak sepenuhnya menjadi tanggungjawab KPK, terutama dalam hal penyidik dan penuntutan.
Sedangkan bagi masyarakat sipil seperti telah tercantum di dalam UU Tindak Pidana Korupsi disebutkan bahwa korupsi adalah kejahatan extra ordinary, kejahatan luar biasa. Maka melawannya juga harus dengan komitmen, semangat, dan upaya - upaya yang luar biasa. Gerakan - gerakan sosial di jejaring sosial, aksi - aksi dukungan di berbagai daerah merupakan dukungan secara moril bagi pelaksanaan tugas KPK itu sendiri.
Diharapkan dari dukungan moril dari masyarakat sipil ini maka pemerintah selaku induk dari institusi - institusi juga lebih responsive dan memberikan win - win solution bagi kemaslahatan bersama. Hal ini dikarenakan KPK lahir dari semangat mereformasi birokrasi oleh rakyat yang sudah kecewa dalam kinerja lembaga - lembaga hukum yang ada.

DAFTAR PUSTAKA

Hartiningsih, Maria dkk, 2011. Korupsi yang Memiskinkan. Jakarta :  PT Kompas Gramedia
Supeno, Hadi, 2009. Korupsi di Daerah. Yogyakarta : Total Media
Tim KPK, 2011. Pahami Dulu Baru Lawan. Jakarta