Rabu, 05 Juni 2013

Landasan Ilmu Pengetahuan

Menurut Jujun S. Suriasumantri (1996), bahwa semua ilmu pengetahuan sosial-budaya dan ilmu pengetahuan alam, pada dasarnya memiliki tiga landasan utama, yaitu: Pertama, Ontologi, yaitu membahas tentang hakikat objek yang dikaji atau membahas tentang apa yang ingin diketahui atau merupakan suatu kajian mengenai teori tentang hakikat ada. Berdasarkan objek yang telah ditelaahnya, maka ilmu dapat disebut sebagai pengetahuan empirik (nyata) yang berbeda dengan agama. Aspek ontology inilah yang membedakan antara objek disiplin ilmu pengetahuan satu dengan ilmu pengetahuan  lainnya.

Kedua, Epistemologi, yaitu membahas secara mendalam proses atau prosedur dalam memperoleh ilmu pengetahuan atau suatu ilmu pengetahuan yang diperoleh melalui proses tertentu yang dinamakan metode keilmuan. Diantara metode keilmuan adalah bersifat terbuka, objektif, logis dan menjunjung kebenaran data di atas segala-galanya. Pada aspek epistemologi inilah letak kegiatan dari penelitian ilmiah (scientific research).

Ketiga, Aksiologi, yaitu membahas tentang manfaat (pragmatis) yang diperoleh dari pengetahuan bagi kehidupan manusia, atau bagaimana keterkaitan antara pengetahuan dengan kaidah-kaidah moral dalam kehidupan di masyarakat.  Jadi, aspek aksiologi lebih menyangkut dimensi fungsional suatu ilmu pengetahuan bagi kehidupan. Menurut para ahli fungsi ilmu pengetahuan antara lain (a) fungsi praktis, yaitu melakukan penyingkapan, mempelajari fakta, memajukan pengetahuan guna melakukan berbagai perbaikan; (b) menetapkan hukum-hukum umum yang meliputi perilaku kejadian dan objek oleh ilmu yang bersangkutan, sehingga dapat mengkaitkan antara ilmu pengetahuan dengan beragam kejadian untuk membuat prediksi ke depan secara benar, sehingga mempunyai manfaat yang tinggi bagi kehidupan (Kerlinger, F., 2002). Jadi, untuk membedakan jenis ilmu pengetahuan sosial satu dengan yang lain dapat dilihat dari tiga aspek yaitu: Ontologi, Epistemologi dan Aksiologi.

Sedangkan tujuan ilmu pengetahuan, baik ilmu pengetahuan sosial-budaya dan ilmu pengetahuan alam  meliputi: (1) tujuan dasar ilmu, yaitu menjelaskan fenomena-fenomena kehidupan, baik fenomena sosial  atau alam secara sistematis, objektiv, logis atau rasional; (2) tujuan lebih khusus, yaitu memberikan penjelasan, pemahaman, prediksi atau peramalan dan kontrol atau pengendalian. (Kerlinger, F., 2002); dan (3) untuk memahami fenomena alam dan sosial secara objektif (menurut apa adanya, bukan menurut apa seharusnya), sistematis, dan terbuka untuk diuji kembali melalui proses penelitian ilmiah (Hooever, 1980).

Berdasarkan uraian di atas maka beberapa konsep penting yang dapat dipahami tentang hakikat ilmu pengetahuan (science), baik ilmu pengetahuan sosial-budaya maupun ilmu pengetahuan alam adalah: (1) science dimulai dari kesangsian atau keragu-raguan terhadap beragam fenomena hidup, tidak dimulai dari kepastian seperti dalam ajaran agama; (2) science tidak bersinggungan dengan hal-hal yang gaib, melainkan berkaitan dengan data-data empirik; (3) penjelasan  science bersifat detail, sistematis, objektif dan praktis tentang beragam fenomena hidup, baik sosial-budaya maupun alam; (4) kebenaran science bersifat relatif, berubah dari waktu ke waktu tergantung pada hasil penelitian ilmiah berikutnya (Agus, B., 1999). Menurut Comte dalam Wibisono, K., (1983), bahwa perkembangan pola pemikiran manusia atau masyarakat adalah melalui tiga tahap, yaitu dari tahap teologis (fiktif), kemudian berkembang ketahap metafisik (abstrak) dan terakhir ke tahap positif, dan pada tahap positif inilah letak perkembangan ilmu pengetahuan (science); (5) kebenaran science terbuka bagi siapapun untuk menguji ulang dan membuka kesempatan bagi siapapun untuk menolak atau bahkan merevolusi ilmu pengetahuan atau teori yang telah ada (Kuhn, T., 1970); dan (6) kebenaran pandangan science tergantung pada orientasi filosofis yang dijadikan pedoman dalam pengembangan teori-teori science dan metode penelitiannya, misalnya makna kebenaran teori ilmu pengetahuan yang berorientasi filosofis positivisme, rasionalisme akan berbeda interpretasinya dengan teori ilmu pengetahuan yang berorientasi filosofis idealisme, konstruktivisme (Suriasumantri, J.S. 1996; Keraf.S dan Dua, M.,2001). Sesuatu dianggap benar menurut paham positivisme adalah ‘sesuatu itu harus ada kesesuaian dengan proposisi, teori, dalil, hipotesis sebelumnya’, hal ini dikenal dengan istilah kebenaran koherensi, dan pendekatan penelitiannya adalah penelitian kuantitatif. Sedangkan sesuatu dianggap benar menurut paham konstruktivisme atau interpretatif adalah ‘sesuatu itu harus sesuai dengan realitas atau fakta-fakta dalam kehidupan sehari-hari (kenyataan empiris) atau dikenal dengan kebenaran korespondensi’, dan pendekatan penelitiannya adalah penelitian kualitatif.

DAFTAR PUSTAKA

Arifin, 2011. Diktat Konsep Sistem Sosial dan Budaya. Malang

Tidak ada komentar:

Posting Komentar