Rabu, 05 Juni 2013

Pandangan Neofungsionalisme Dalam Memahami Fenomena Sosial

Diantara teoritikus sosial yang dapat dikatakan sebagai tokoh teori neofungsionalisme, antara lain: Jeffrey Alexander dan Paul Colomy. Neofungsionalisme  muncul di tahun 1980-an, sebagai bentuk upaya menghidupkan kembali teori fungsional struktural yang dianggap mulai redup sejak 1960-an hingga 1970-an. Neofungsionalisme didefinisikan oleh Colomy sebagai ‘rangkaian kritik diri (internal) terhadap teori fungsional struktural, dan ingin mencoba memperluas cakupan intelektual teori fungsionalisme yang sedang mempertahankan inti teorinya’. Jadi, teori fungsional struktural yang lama dianggap terlampau sempit dan kaku, dan tujuan Alexander dan Colomy adalah menciptakan teori sintesis yang disebut  ‘Neofungsionalisme’. Ada beberapa kelemahan (problem) yang dihadapi oleh teori fungsional struktural yang perlu dijawab oleh Neofungsionalisme, antara lain: (1) anti individualisme; (2) antagonistik terhadap perubahan; (3) konservatif;(4) idealisme; dan (5) bias antiempiris.
Berikut ini beberapa pokok pikiran atau pandangan teori  Neofungsionalisme  Alexander dan Colomy, dalam memahami beragam fenomena sosial-budaya  di masyarakat, antara lain
Pertama, neofungsionalisme, bekerja dengan model masyarakat deskriptif. Model ini melihat masyarakat tersusun dari unsur-unsur sosial yang saling berinteraksi menurut pola tertentu, hubungan antar unsur tersebut diistilahkan sebagai ‘hubungan secara simbiosis’, tidak ditentukan oleh satu kekuatan semata (misalnya, eksternal menentukan internal atau sebaliknya). Jadi, masyarakat dianggap lebih bersifat terbuka, dinamik dan pluralis (beragam).
Kedua, neofungsionalisme, memusatkan perhatian yang sama besarnya terhadap tindakan individu (mikro) dan keteraturan sosial (makro). Hal ini berbeda dengan teori fungsional struktural,  yang lebih menekankan pada aspek keteraturan sosial atau tradisional dan bersifat makro didalam memahami struktur sosial dan budaya). Sedangkan neofungsionalisme, selain memperhatikan tingkat makro juga pola tindakan individu ditingkat yang lebih mikro, juga tindakan rasional dan tindakan eskpresif individu dalam proses-proses sosial di masyarakat.
Ketiga, neofungsionalisme, tetap memperhatikan masalah integrasi, tetapi bukan dilihat sebagai fakta sempurna melainkan lebih dilihat sebagai ‘kemungkinan sosial’, sedangkan dalam pandangan teori fungsional struktural, kondisi integrasi atau equilibrium lebih dilihat sebagai fakta yang sempurna atau suatu keharusan dalam kehidupan kelompok. Neofungsionalisme  mengakui penyimpangan dan kontrol sosial sebagai realitas dalam sistem sosial yang sangat dinamik dan kompleks. Neofungsionalisme mengakui keseimbangan tetapi dalam konteks yang lebih luas (keseimbangan statis dan dinamik). Sedangkan dalam fungsional struktural keseimbangan bersifat statis.
Keempat, neofungsionalisme,  tetap menerima  penekanan Parsonian tradisional atas konsep kepribadian, konsep kultur, konsep sistem sosial dan organisme perilaku (dalam struktur tindakan) dalam kehidupan sehari-hari, tetapi neofungsionalisme juga menganggap interpenetrasi atas sistem sosial dapat menghasilkan ketegangan (konflik) dan perubahan sosial yang lebih dinamik.
Kelima, neofungsionalisme,  memusatkan perhatian pada perubahan sosial dalam proses diferensiasi di dalam sistem sosial, kultural dan kepribadian. Perubahan tidak hanya menghasilkan konsensus dan equilibrium (seperti pandangan teori fungsionalisme struktural), tetapi juga menimbulkan ketegangan antar individu dan kelompok. Hal ini berbeda dengan pandangan teori fungsional struktural yang memandang perubahan hanya menghasilkan kondisi equilibrium (keseimbangan dalam sistem). Jadi, bagi neofungsionalisme perubahan sosial dalam masyarakat bisa membawa pengaruh terjadinya ‘integrasi sosial’ dan ‘disintegrasi sosial’..
Keenam, Neofungsionalisme, secara tidak langsung menyatakan komitmennya terhadap kebebasan dalam menyusun dan mengonseptualisasikan teori berdasarkan analisis sosial-budaya  pada tingkat makro dan mikro. Bagi neofungsionalisme, menganalisis fenomena atau realitas sosial budaya di masyarakat, tidak cukup hanya menggunakan pendekatan makroskopik tetapi juga menggunakan pendekatan mikroskopik. Sedangkan dalam teori fungsional struktural proses analisis fenomena sosial-budaya hanya pada tingkat makro, oleh karena itu cakupan analisis neofungsionalnya lebih luas apabila dibandingkan dengan fungsional struktural.
Ketujuh, riset teori fungsional struktural, dipandu oleh skema konseptual tunggal dan mengikat  area-area riset khusus dalam satu paket yang ketat, bersifat positivistik dan realitas sosial eksternal (kondisi makro) sangat menentukan realitas internal (kondisi mikro), sedangkan karya empiris teori neofungsionalisme  diorganisasikan secara longgar, yaitu diorganisasikan di seputar logika umum dan memiliki sejumlah ‘cabang’ dan ‘variasi’ yang agak otonom pada tingkat dan domain empiris yang beragam, bisa bersifat makro dan mikro.

Jadi, teori neofungsionalisme, bagi Alexander dan Colomy, bukan hanya sekedar ‘elaborasi’ atau ‘revisi’ terhadap teori fungsional struktural Parsons dan Merton, tetapi lebih sebagai  ‘rekonstruksi  dramatis’ terhadap teori fungsional struktural, karena antara teori fungsional struktural dengan neofungsional pada aspek-aspek tertentu mempunyai perbedaan yang mendasar. Jadi, Alexander dan Colomy nampak memadukan fungsionalisme struktural dengan ide-ide teori pertukaran, interaksionisme simbolik, pragmatisme, fenomenologi. (Hamilton, 1990; Ritzer dan Goodman, 2004).

DAFTAR PUSTAKA

Arifin, 2011. Diktat Kuliah : Konsep Sistem Sosial dan Budaya. Malang

Tidak ada komentar:

Posting Komentar