Rabu, 12 Juni 2013

Hilangnya Makrozoobentos Sebagai Produsen Primer Rantai Makanan di Perairan Akibat Pencemaran Lingkungan


Indonesia tampaknya sudah ditakdirkan menjadi negeri yang kaya akan sumber daya alam oleh Tuhan. Mulai dari daratan, hasil pertanian Indonesia melimpah, berbagai jenis flora dan fauna yang langka di dunia kita punya. Itu baru berbicara dari daratan saja, belum jika kita beranjak menuju lautan Indonesia. Sebagai negara dengan dua pertiga wilayahnya laut Indonesia dan memiliki garis pantai terpanjang kedua di dunia setelah Kanada, Indonesia memiliki kekayaan alam lautan yang luar biasa.
Sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, Indonesia memiliki potensi sumberdaya kelautan yang sangat potensial untuk dikembangkan guna meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Luas perairan Indonesia mencapai 5,8  juta km2 yang merupakan 75% dari seluruh wilayah, yang terdiri atas perairan nusantara 2,8 juta km2, perairan laut teritorial 0,3 juta km2, dan Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI) 2,7 juta km2 (Departemen Kelautan dan Perikanan, 2001).
Salah satu bagian terpenting dari kondisi geografis Indonesia sebagai wilayah kepulauan adalah wilayah pantai dan pesisir dengan garis pantai sepanjang 81.000 km. Wilayah pantai dan pesisir memiliki arti yang strategis karena merupakan wilayah interaksi/peralihan (interface) antara ekosistem darat dan laut yang memiliki sifat dan ciri yang unik, dan mengandung produksi biologi cukup besar serta jasa lingkungan lainnya. Kekayaan sumber daya yang dimiliki wilayah tersebut menimbulkan daya tarik bagi berbagai pihak untuk memanfaatkan secara langsung karena secara sektoral memberikan sumbangan yang besar dalam kegiatan ekonomi misalnya perikanan, kehutanan, industri, pariwisata dan lain-lain.
Laut inilah yang menghidupi jutaan petani di Indonesia. Namun ada pekerjaan rumah yang harus dilakukan oleh pemerintah, selain kesejahteraan nelayan yang masih jauh dari harapan belakangan ini juga hasil laut yang terkadang tak sesuai harapan. Satu yang menyebabkan ini terjadi karena adanya pencemaran lingkungan yang mempengaruhi rantai sistem kehidupan di laut.
Pengelolaan yang berlebihan terhadap sumber - sumber alam di daerah daratan akan memberikan pengaruh yang panjang dan mengakibatkan efek kerusakan yang hebat di lautan. Sebagai contoh, penebangan hutan - hutan yang tidak terkontrol akan menimbulkan erosi yang cepat dan hilangnya berjuta- juta ton lapisan permukaan tanah melalui aliran - aliran sungai dan kemudian akan masuk ke dalam laut. Sedimen - sedimen yang terbentuk ini mungkin akan mengendap luas di daerah - daerah yang berdekatan dengan mulut sungai, dimana hal ini dapat menutup dan merusak segala terumbu karang. Eksploitasi yang berlebihan terhadap pohon - pohon bakau juga akan merusak lingkungan hidup pantai. Hal ini akan menyebabkan hilangnya lumpur - lumpur bakau yang merupakan tempat pemijahan dan pembesaran bagi ikan - ikan komersial penting. Belum lagi pencemaran lingkungan yang dilakukan oleh manusia.
Salah satu hewan yang dapat terpengaruh adalah benthos karena benthos merupakan hewan yang tinggal menetap. Hewan benthos erat kaitannya dengan tersedianya bahan organic yang terkandung dalam substrat, karena bahan organic merupakan sumber nutrient bagi biota laut yang pada umumnya terdapat apda substrat dasar sehingga ketergantungannya terhadap bahan organic sangat besar.
Hewan makrozoobentos atau benthos ini mempunyai peranan sangat penting dalam siklus nutrient di dasar perairan. Montagna menyatakan bahwa ekosistem perairan. Makrozoobentos berperan sebagai salah satu mata rantai penghubung dalam aliran energi dan sikslus dari alga planktonic sampai konsumen tingkat tinggi. Menurut Odum, benthos merupakan organisme yang hidup di permukaan atau di dalam substrat dasar perairan yang meliputi tumbuhan (fitobentos) dan hewan (zoobentos). Zoobentos memegang beberapa peran penting di suatu perairan seperti dalam proses dekomposisi dan mineralisasi material organic yang memasuki perairan, serta menduduki beberapa tingkat trofik dalam rantai makanan.
Makrozoobentos merupakan zoobenthos berukuran lebih dari 1 mm. Menurut Cummins makrozoobentos dapat mencapai ukuran tubuh sekurang - kurangnya 3 - 5 mm saat pertumbuhannya maksimum. Lebih lanjut disebutkan bahwa organisme yang termasuk makrozoobentos diantaranya adalah Crustacea, Isopoda, Decapoda, Oligochaeta, Moluska, Nematoda, dan Annelida.
Menurut Pennak, berbagai jenis zoobentos ada yang berperan sebagai konsumen primer da nada pula yang berperan sebagai konsumen sekunder atau konsumen yang menempati tempat yang lebih tinggi. Pada umumnya, zoobentos merupakan makanan alami bagi ikan - ikan di dasar perairan sungai dan pantai.
Zoobentos merupakan makanan alami dan merupakan produsen primer pula. Dimana zoobentos yang memiliki peran produsen primer ini terjadi pada daerah yang dangkal di perairan pantai di mana terdapat cukup sinar matahari bagi tumbuh - tumbuhan untuk melangsungkan proses fotosintesa. Seperti halnya yang terjadi pada fitoplankton di dalam lautan, produksi akan tinggi pada tempat - tempat yang kaya akan bahan - bahan organic. Sebagai contoh dalam hal ini ialah daerah estuarine. Daerah ini kaya akan bahan - bahan organic yang berasal dari sungai - sungai di sekitarnya yang selalu mengangkut bahan - bahan organic dari daratan dan mempunyai nilai produksi yang tinggi antara 2,7 dan 5,5 gC/m2 / hari.
Pada daerah dengan kedalaman 0 - 30 meter inilah dihuni oleh hewan - hewan herbivore yang secara langsung memakan tumbuh - tumbuhan hijau. Beberapa jenis keanekaragaman ikan karang telah beradaptasi dengan kebiasaan ini. Sebagai contoh, surgeon fish memotong algae (tumbuh - tumbuhan air) dari media yang keras dengan mempergunakan mulut yang berbentuk seperti paruh.
Namun celakanya justru pencemaran yang marak terjadi di Indonesia dimana sungai - sungai dan pantai sudah tercemar dengan beragam limbah dan sampah. Sungai yang bermuara ke pantai seakan menjadi tempat pembuangan sampah bagi masyarakat. Bagi pengusaha, sungai juga dijadikan tempat pembuangan limbah perusahaan rumah tangga sampai perusahaan industri yang besar.
Jika mengacu pada UU No. 32 tahun 2009 mengenai perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup sudah diatur bagaimana mekanisme pembuangan limbah dari hasil produksi melalui analisis amdal pada pasal 22 UU No. 32 tahun 2009 disebutkan dalam pasal 22 tersebut “ setiap usaha dan/atau kegiatan yang berdampak penting terhadap lingkungan wajib memiliki amdal. Amdal ditentukan dengan beberapa kriteria antara lain jumlah penduduk yang terkena dampak, luas wilayah yang terkena dampak, intensitas dan lamanya terkena dampak, serta komponen lingkungan yang terkena dampak.
Melihat peraturan perundangan-undangan dengan realita di lapangan seolah terputar 180o. Bagaimana tidak kita lihat saja sungai - sungai yang terletak di kawasan industri di kota - kota besar nyaris semuanya sudah berubah warna menjadi coklat kehitaman. Peraturan undang-undang yang seharusnya menjadi patokan pemerintah untuk mengontrol keberlangsungan lingkungan utamanya perairan di sungai yang bermuara di pantai hanya menjadi lembaran kertas dokumen negara saja. Di lapangan lemahnya pengawasan oleh pemerintah membuat mereka bebas melakukan pembuangan limbah industrinya ke sungai. Belum lagi ada oknum - oknum pemerintah yang mendapat salam temple untuk memuluskan pengeluaran izin amdal industri. Meskipun masyarakat mengeluh dan berteriak rasanya susah jika harus pemerintah bertindak, terlebih dengan rekanan sudah duduk nyaman dengan mendapatkan jatah hidangan yang ada.
Tak hanya soal pembuangan limbah ancaman pengrusakan sistem kehidupan dan mata rantai di perairan juga dilakukan oleh masyarakat sendiri. Pembuangan sampah pada sungai dan lautan sebagaimana yang terjadi kebanyakan di Indonesia juga dikategorikan pelanggaran, sebagaimana diatur dalam UU No. 32 tahun 2009 pasal 69.
Sampah - sampah yang mengandung kotoran minyak kadang - kadang dibuang begitu saja ke dalam laut melaui sistem daerah aliran sungai. Sampah - sampah ini kemungkinan mengandung logam berat dengan konsentrasi yang tinggi. Tetapi umumnya mereka kaya akan bahan - bahan organic, sehingga akan memperkaya kandungan zat - zat makanan pada suatu daerah yang tercemar yang membuat kondisi lingkungan menjadi lebih baik bagi pertumbuhan mikroorganisme.
Aktivitas pernapasan dari organisme ini sering membuat makin menipisnya kandungan oksigen khususnya pada daerah yang terletak di perairan semi tertutup seperti di daerah estuarine. Hal seperti ini kemungkinan mempunyai pengaruh besar terhadap kehidupan tumbuh - tumbuhan dan hewan yang hidup di tempat tersebut. Akibatnya dalam keadaan yang paling ekstrim jumlah spesies yang ada pada daerah ini akan berkurang secara drastic dan dapat mengakibatkan bagian dasar daerah estuarine kehabisan oksigen. Keadaan seperti ini akhirnya menyebabkan mikrofauna yang hidup disini hanya dari golongan cacing saja.
Padahal yang terjadi spesies seperti makrozoobentos tadi hidup di dasar sungai dan daerah estuarine dimana juga membutuhkan oksigen untuk bernafas. Logikanya begini makrozoobentos merupakan makanan alami bagi ikan - ikan di daerah aliran sungai, daerah estuarine, dan sekitar pantai dengan kedalaman 0 - 30 meter. Jika oksigen itu tidak terdapat di dasar maka makrozoobentos akan dengan sendiri matinya, jika sudah mati lalu bagaimana nasib spesies ikan - ikan yang menggantungkan hidupnya dari makrozoobentos? Pilihannya tentu bertransmigrasi atau akan mati karena ketiadaan stok makanan pokok.
Hal inilah yang menyebabkan ikan - ikan di sekitar pantai dan daerah estuarine berkurang. Dampaknya bagi nelayan saat ini harus mencari ikan hingga bermil - mil jauhnya dari daratan karena jauh berkurangnya spesies ikan di daerah pertemuan arus laut dan sungai.
Belum lagi jika ditambah bahan berbahaya dan beracun lainnya macam minyak, pestisida, dan logam berat lainnya. Akibatnya ikan - ikan dan hewan laut yang kita konsumsi akan tercemar dengan bahan berbahaya tersebut. Dampaknya dikhawatirkan bisa seperti yang terjadi di Teluk Minamata Jepang pada tahun 1953 sampai 1960 dimana lebih kurang 100 orang telah menjadi korban. Dari korban - korban ini ada yang meninggal atau mengalami cacat untuk seumur hidup. Mereka kebanyakan keracunan karena memakan kerang yang telah tercemar oleh hasil buangan dari pabrik - pabrik yang membuat acetylene dari acetaldehyde.
Kasus di atas merupakan contoh bagaimana pemeliharaan lingkungan yang tidak diperhatikan. Bukan tidak mungkin kasus seperti itu juga terjadi di Indonesia. Kepekaan dan kesadaran masyarakat merupakan hal utama dari partisipasi untuk menjaga lingkungan. Disamping itu kebijakan politik yang disusun juga harus berpihak kepada lingkungan perairan. Karena jika melihat pembangunan yang terjadi di seluruh daerah di Indonesia, acap kali mengesampingkan itu.
Sebagai negara yang luas perairan lautnya mencapai 2/3 dari wilayah total pemerintah diharapkan serius untuk menjaga perairan dari pencemaran. Supaya rantai makanan yang sudah ada di alam dapat terjaga, yang pada akhirnya menjadi asset negara juga. Tindakan pemerintah dengan menuangkan peraturan untuk mengatur lingkungan hidup pada UU No .32 tahun 2009 dan No. 27 tahun 2007 mengenai pengelolaan pesisir dan pulau - pulau kecil patut kita apresiasi dan kita dukung mewujudkannya.
Namun disisi lain upaya di lapangan untuk pengaplikasian kedua aturan hukum tersebut masih menjadi pekerjaan rumah bersama. Harus ada upaya bersama antara pemerintah, masyarakat, dan swasta untuk sadar menjaga lingkungan hidup utamanya lingkungan perairan agar biota perairan dari sungai, lau, danau, dan sebagainya tidak cepat punah hanya karena pengelolaan yang kurang cermat.
Di akhir ini kami menyimpulkan makrozoobentos merupakan spesies yang merupakan rantai pertama dari rantai makanan di ekosistem perairan. Dimana makrozoobentos ini perlu juga oksigen untuk hidup, maka bila air sudah tercemar otomatis oksigen yang ada tidak dapat masuk hingga mencapai dasar perairan dimana makrozoobentos itu hidup. Jika ini sudah terjadi maka makrozoobentos akan hilang sehingga mengakibatkan ikan tidak memiliki makanan. Jika sudah begini ikan akan mati atau pergi yang berdampak pada nelayan yang susah untuk mencari ikan di sekitar pantai. Meskipun ada ikan, jika perairan laut tercemar dari aliran sungai secara otomatis ikan yang tersedia akan terkandung zat - zat berbahaya jika dikonsumsi manusia. Bukan tidak mungkin dari sanalah korban jiwa manusia akan terjadi seperti halnya di Teluk Minamata, Jepang. Dari sanalah peran negara seharusnya hadir untuk menjaga dan menyelamatkan rakyatnya, seperti dikatakan Immanuel Kant, dimana negara ibarat sebagai penjaga malam yang melindungi rakyatnya dari bahaya, termasuk dari bahaya zat - zat berbahaya dari ikan yang terkena dampak dari pencemaran perairan.
DAFTAR PUSTAKA

Amin, Bintal. Nurrachmi, Irvina dkk, 2012. Kandungan Bahan Organik Sedimen dan Kelimpahan Makrozoobenthos Sebagai Indikator Pencemaran Perairan Pantai Tanjung Uban Kepulauan Riau. Jurnal Perikanan, (1) : 1-2
Hutabara, Sahala. dan Evans M, Stewarts, 2012. Pengantar Oseanografi. Jakarta : UI Press
Pusat Sarana Pengendalian Dampak Lingkungan, 2011. Laporan Pemantauan Kualitas Air Laut di Indonesia. Jakarta : Kementerian Lingkungan Hidup

Suartini, Ni Made. Sudatri, Wayan, dkk, 2007. Identifikasi Makrozoobentos Di Tukan Bausan, Desa Pererenan, Kabupaten Badung, Bali. Jurnal Ilmiah Ecotropik 5, (1) : 41 - 42 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar