Minggu, 16 Juni 2013

Menegakkan Pancasila Dalam Sistem Perekonomian Indonesia

Di dunia ini ada beberapa ideologi yaitu ideologi liberalisme, kapitalisme, sosialisme, marxisme dan lain - lain. Negara Indonesia sendiri menganut ideologi tersendiri dan berbeda dibandingkan negara - negara lain. Ideologi pancasila merupakan reaksi terhadap ideologi yang ada di barat maupun timur pada waktu itu, yang menurut pengamatan para pembentuk Undang - Undang Dasar 1945 tidak sesuai dengan bagi bangsa Indonesia, melihat pengalaman nyata dari praktik ideologi tersebut di tempat asalnya masing - masing. Ideologi pancasila bersumber pada cara pandang integralistik (Indonesia) yang mengutamakan gagasan tentang negara (staatsidee) yang bersifat persatuan. Pancasila merupakan salah satu ideologi yang berasal dari cerminan budaya bangsa.
Sila - sila yang ada di pancasila merupakan cerminan budaya bangsa yang sudah ada sejak ratusan tahun lalu. Dari lima sila yang ada sila terakhir yang berbunyi keadilan sosial bagi seluruh Indonesia, memang begitu terkait akan permasalahan pada bidang perekonomian termasuk kaitannya dengan memasuki era perdagangan bebas ASEAN - China melalui penandatangan CAFTA. 
Disinilah pentingnya relavansi pembangunan berasaskan ideologi pancasila. Mengedepankan ekonomi pancasila sebagai media untuk mengenali bekerjanya paham dan moral ekonomi yang akhir - akhir ini cenderung bercirikan neoliberal kapitalistik. Profesor Mubiyanto merumuskan ekonomi pancasila sebagai sistem ekonomi yang bermoral pancasila, dengan lima platform sebagai manifestasi sila - sila pancasila yaitu moral agama, moral kemerataan sosial, moral nasionalisme ekonomi, moral kerakyatan, dan moral keadilan sosial. Ekonomi pancasila merupakan prinsip - prinsip moral (ideologi) ekonomi yang berasal dari etika dan falsafah pancasila. Oleh karena itu, selain berisi cita - cita visioner terwujudnya keadilan sosial, beliau juga mengangkat realitas sosio- kultur ekonomi rakyat Indonesia, sekaligus rambu - rambu yang bernilai sejarah untuk tidak terjerumus pada paham liberalism dan kapitalisme.
Lalu, apa bukti platform Ekonomi Pancasila relevan dengan kondisi sosial-ekonomi kita saat ini?  Di tengah pesatnya perkembangan ilmu (ideologi) ekonomi global yang sudah semakin mengarah pada ‘keyakinan’ layaknya agama (Nelson, 2001), rasanya tidak sulit mengamati ekses dari kecenderungan global tersebut di Indonesia. Relevansi Ekonomi Pancasila dapat  ‘dideteksi’ dari tiga kontek yang berkaitan yaitu cita-cita ideal pendiri bangsa, praktik ekonomi rakyat, dan praktek ekonomi aktual yang ‘menyimpang’ karena berwatak liberal, individualis, dan kapitalistik. Semua itu terangkum dalam kajian lima platform Ekonomi Pancasila yang bersifat holistik dan visio-revolusioner (Mubyarto,Ekonomi Pancasila, 2003).
Platform pertama Ekonomi Pancasila yaitu moral agama, yang mengandung prinsip “roda kegiatan ekonomi bangsa digerakkan oleh rangsangan ekonomi, sosial, dan moral”. Pada awalnya founding fathers kita merumuskan ‘politik kemakmuran’, ‘keadilan sosial’, dan  ‘pembangunan karakter’ (character building) bangsa yang dilandasi semangat penerapan ajaran moral dan agama. Itu berarti pembangunan ekonomi harus beriringan dengan pembangunan moral atau karakter bangsa, dan ditujukan untuk menjamin keadilan antar sesama makhluk ciptaan Allah, tidak sekedar pembangunan materiil semata. Inilah moral ekonomi rakyat yang tidak sekedar mencari untung, melainkan memperkuat silaturahmi, menegakkan hukum-hukum Allah (syari’ah), dan memperhatikan kepentingan sosial.
Platform kedua adalah “kemerataan sosial, yaitu ada kehendak kuat warga masyarakat untuk mewujudkan kemerataan sosial, tidak membiarkan terjadi dan berkembangnya ketimpangan ekonomi dan kesenjangan sosial”. Gagasan ini sudah lama tertuang dalam bagian penjelasan Pasal 33 UUD 45 yang sudah diamandemen dalam konsep ‘kemakmuran masyarakatlah yang diutamakan, bukan kemakmuran orang-seorang’. Sampai saat ini masih sulit meyakini realisasi semangat tersebut karena setiap upaya ‘memakmurkan ekonomi’ ternyata yang lebih merasakan dampaknya tetap saja ‘orang besar’ baik pengusaha ataupun pejabat pemerintahan. Masih saja ketimpangan sosial-ekonomi susah untuk diperkecil.
Platform ketiga adalah “nasionalisme ekonomi; bahwa dalam era globalisasi makin jelas adanya urgensi terwujudnya perekonomian nasional yang kuat, tangguh, dan mandiri”. Platform ini sejalan dengan konsep founding fathers kita, khususnya Bung Karno dan Bung Hatta, perihal  ‘politik-ekonomi berdikari’ yang bersendikan usaha mandiri (self-help), percaya diri (self reliance), dan pilihan kebijakan luar negeri bebas-aktif. Kemandirian bukan saja menjadi cita-cita akhir pembangunan nasional, melainkan juga prinsip yang menjiwai setiap proses pembangunan itu sendiri. Ini mensyaratkan bahwa pembangunan ekonomi haruslah didasarkan pada kekuatan lokal dan nasional untuk tidak hanya mencapai ‘nilai tambah ekonomi’ melainkan juga ‘nilai tambah sosial-kultural’, yaitu peningkatan martabat dan kemandirian bangsa (Swasono, 2003). Oleh karena itu pokok perhatian seharusnya diberikan pada upaya pemberdayaan ekonomi rakyat sebagai tulang punggung ekonomi nasional. Ekonomi rakyatlah yang bersifat mandiri, tidak ‘menyusahkan’ atau ‘membebani’ ekonomi nasional di saat krisis, sehingga ‘daya tahan’ekonomi mereka tidak perlu diragukan lagi.
Platform keempat adalah “demokrasi ekonomi berdasar kerakyatan dan kekeluargaan; koperasi dan usaha-usaha kooperatif menjiwai perilaku ekonomi perorangan dan masyarakat”. Prinsip ini dijiwai oleh semangat Pasal 33 UUD 1945 yang kini sudah berganti menjadi UUD 2002  (amandemen keempat). Perubahan ini telah menghilangkan seluruh penjelasan UUD 1945 termasuk penjelasan Pasal 33 yang berisikan prinsip-prinsip demokrasi ekonomi dan landasan konstitusional koperasi. Oleh karena itu, upaya penegakan demokrasi ekonomi nampaknya berhadapan dengan upaya-upaya untuk memperjuangkan pasar bebas, yang menjadi senjata penganut paham liberalisme dan kapitalisme. Isu-isu yang kemudian dicuatkan diantaranya adalah privatisasi BUMN dan liberalisasi impor.
 Platform kelima (terakhir) adalah “keseimbangan yang harmonis, efisien, dan adil antara perencanaan nasional dengan desentralisasi ekonomi dan otonomi yang luas, bebas, dan bertanggungjawab, menuju pewujudan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”. Tujuan keadilan sosial juga mencakup keadilan antar wilayah (daerah), yang memungkinkan seluruh wilayah di Indonesia berkembang sesuai potensi masing-masing. Oleh karena itu pengalaman pahit sentralisasi politik-ekonomi era Orde Baru dapat kita jadikan pelajaran untuk menyusun strategi pembangunan nasional. Inilah substansi Negara Kesatuan yang tidak membiarkan terjadinya ketimpangan sosial-ekonomi antardaerah melalui pemusatan aktivias ekonomi oleh pemerintah pusat, dan di pusat pemerintahan. Paradigma yang kemudian dibangun adalah pembangunan Indonesia, bukannya pembangunan di Indonesia seperti yang dilakukan Orde Baru dengan pahamdevelopmentalism yang netral visi dan misi (Swasono, 2003).
Gagasan para pendiri bangsa kita yang sejalan dengan praktek ekonomi rakyat dan menentang keras praktek ekonomi yang neo-liberal-kapitalistik kiranya menyadarkan kita akan perlunya perombakan sistem ekonomi tersebut. Inilah relevansi lima platform ekonomi pancasila yang dapat menjadi panduan (guidance) bagi pergantian sistem dan ideologi ekonomi menjadi ekonomi yang lebih bermoral, berkerakyatan, dan berciri ‘ke- Indonesia-an’, sehingga lebih menjamin upaya pewujudan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.



Sentosa, Awan, 2004. Relevansi Platform Ekonomi Pancasila Menuju Penguatan Peran Ekonomi Rakyat. Jurnal Ekonomi Rakyat
Wahjono, Padmo, 2008. Pengantar ilmu Politik. Jakarta : PT Raja Grafindo  Persada

2 komentar:

  1. bu maaf saya achlis aulia ingin mengkoi artikel ibu, apakahibu mengijinkan? sebelumnya terima kasih ibu, artikelnya bagus.

    BalasHapus