Kamis, 02 Mei 2013

Analisis Kompas 19 April 2013 Melalui Perspektif Pemerintahan dan Komunikasi Politik



Di tengah isu - isu nasional yang meruncing dan semakin hangat seperti kenaikan harga BBM dan carut marut pelaksanaan UN Presiden SBY membuat gempar bukan karena kebijakan untuk mengatasi keduanya, namun isu politik yang terkait parpolnya. Jabatan sebagai Ketua Umum, Ketua Majelis Tinggi, Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat sekaligus Presiden tampaknya benar - benar menguras tenaga dan menjadi “alat” untuk beralasan tak dapat focus di dalamnya. Keterangan SBY di Istana Kepresidenan di tengah isu kenaikan harga BBM dan permasalahan UN akan sangat dinantikan, mengapa demikian karena beliau selaku kepala negara sekaligus kepala pemerintahan secara penuh harus bertanggungjawab di dalamnya. Namun yang terjadi justru sebaliknya, di tengah isu tersebut hal yang disampaikan Presiden justru permasalahan mengenai Parpol dimana isu tentang Yenny Wahid, putri Almarhum Gus Dur, dimana desas desusnya Yenny bergabung ke Demokrat dan ingin menjabat sebagai Wakil Ketua Umum.
Presiden sebagai Kepala Pemerintahan mempunyai tugas untuk menjalankan pemerintahan sebagaimana yang telah tercantum dalam konstitusi. Sebagai pemimpin tentu merupakan milik semua golongan yang ada, tidak etis tentunya ketika Presiden berbicara mengenai permasalahan kelompok atau golongannya di tempat atau fasilitas milik negara seperti Istana Kepresidenan. Dalam kasus tersebut dapat dianalisis dari dua disiplin ilmu, ilmu politik dan ilmu pemerintahan.
Namun sebelum melangkah jauh mengenai analisis dua ilmu tersebut, kami akan menjelaskan terkait pemerintahan, karena ini berkaitan dengan tugas dan wewenang seorang Presiden sebagai Kepala Pemerintahan. Pemerintahan berasal dari kata “perintah” yang setelah ditambah awalan “pe” menjadi pemerintah, dan ketika ditambah akhiran “an” menjadi pemerintahan, dalam hal ini beda antara “pemerintah” dengan “pemerintahan” adalah karena pemerintah merupakan badan atau organisasi yang bersangkutan, sedangka pemerintahan berarti perihal ataupun hal ikhwal pemerintahan itu sendiri.
Menurut Soemendar pemerintahan sebagai badan yang penting dalam rangka pemerintahannya, pemerintah harus memperhatikan pula ketentraman dan ketertiban umum, tuntutan, dan harapan serta pendapat rakyat, kebutuhan dan kepentingan masyarakat, pengaruh - pengaruh lingkungan, pengaturan - pengaturan, komunikasi peran serta seluruh lapisan masyarakat dan organisasi.
Jadi dari sini disimpulkan makna Presiden sebagai Kepala Pemerintahan dimana Presiden menjadi pemimpin untuk melayani masyarakat dengan aturan - aturan hukum yang ada serta partisipasi dari masyarakat itu sendiri.
Ilmu politik mengkaji input sistem politik karena para aparat eksekutif dan legislatif merupakan para actor partai politik. Presiden SBY termasuk di dalamnya merupakan actor politik dikarenakan beliau berasal dari sebuah parpol untuk menuju jabatannya sebagai Presiden. Namun di sisi lain sebagai Presiden tentu beliau merupakan Kepala Pemerintah. Sebagaimana kita ketahui menurut Ponsioen, pemerintah memegang peranan penting dalam pembangunan nasionalnya, yaitu dalam menentukan kebijaksanaan tersebut. Pada proses penetapan kebijaksanaan umum itulah yang disebut pemerintah.  Dengan demikian telah terlihat bahwa penetapan kebijaksanaan adlah fungsi politik yang dijalankan pemerintah, pelaksanaannya adalah fungsi adminstrasi yang dijalankan oleh pemerintah.
Dari sini proses keterangan SBY yang menyangkut berita Yenny Wahid bergabung Demokrat merupakan suatu proses politik dimana ini hanya terkait beberapa golongan saja. Namun menyampaikannya di fasilitas negara seperti Istana Kepresidenan merupakan konflik status antara Presiden dengan jabatan di Parpol. Sebagai seorang Presiden yang menyampaikan keterangan di Istana Kepresidenannya, sebaiknya tidak menyinggung parpolnya. Sangat bertolak belakang tentunya ketika keterangan yang disampaikan SBY yang terkait Parpol, kekuasaan sebagaimana objek forma dari ilmu politik disampaikan pada Istana Kepresidenan dengan status “masih” Kepala Pemerintahan yang seharusnya mengedepankan objek forma hubungan pemerintahan, gejala - gejala pemerintahan, peristiwa pemerintahan, termasuk di dalamnya peristiwa isu kenaikan harga BBM dan carut marut UN.
Dr. Inu Kencana Syafiie M.Si mengatakan bahwa pemerintahan tidak hanya memiliki disiplin ilmu, tetapi juga harus memiliki disiplin akan moral, etika, dan seni kepemimpinan. Apa jadinya pemerintah kalau pada pemimpin pemerintahannya melakukan kesewenangan, penyalahgunaan kekuasaan karena pada setiap kepemimpinan pasti akan dipertanggungjawabkan di hadapan Tuhan Yang Maha Esa kelak.
Analisis kedua tentu membedahnya dari pendekatan institusionalisme dalam ilmu politik. Seperti kita ketahui pemerintah merupakan sebuah insititusi yang hadir karena adanya sistem politik dimana di dalamnya. Nah dalam pendekatan institusionalisme baru menurut Peters 1999 salah satunya institusionalis normative dimana ini mempelajari norma dan nilai yang dikandung dalam suatu insititusi politik maupun institusi yang terbentuk akibat perilaku politik (pemerintah, negara). Di dalamnya terdapat suatu etika, dimana etika tersebut berbicara mengenai pantas atau tidak pantasnya seseorang actor politik terlebih merupakan seorang Kepala Pemeritahan atau pemimpin negara yang “lupa” akan etikanya.
Disini tentu pendekatan institusionalisme ala Peters ini dapat dijadikan analisis untuk membedahnya. Jika kembali pada dua disiplin yang disampaikan sebelumnya dimana disiplin ilmu politik dan ilmu pemerintahan yang mana di dalamnya mengatur objek forma dan sebagainya, tentu dapat dikatakan apa yang dilakukan SBY salah tempat. Mengingat saat itu beliau masih merupakan “Presiden” selaku Pimpinan pemerintahan bukan sebagai politisi.
Berkaitan dengan etika seorang politisi Alfan Alfian mengatakan politisi bukanlah profesi seperti halnya dokter, akuntan, pengacara, atau pengebor sumur pompa. Politisi merupakan pejuang yang memperjuangkan visi dan misi politik yang diyakininya. Dimana politisi berjuang meraih dan mempertahankan kekuasaan, dimana menurut filsuf Yunani Plato, kekuasaan itu yang ideal adalah alat untuk menyejahterakan masyarakat.
Kaitanya dengan dari analisis keterangan SBY tadi disini sebagai seorang politisi juga tentu jika memiliki visi misi yang cakap dimana saat itu rakyat dibingungkan dengan berbagai isu terkait kenaikan harga BBM dan carut marut UN sudah seharusnya beliau tampil untuk mengedepankan kepentingan masyarakat daripada kepentingan golongannya untuk meraih kekuasaan.
Analisis ketiga dari kasus SBY ini bisa jadi merupakan pengalihan isu yang ada. Mungkin tidak benar 100% jika SBY tidak dapat membedakan posisinya sebagai Presiden atau jabatannya di parpol saat itu. Mengapa demikian? Jika kita telaah di saat ada persoalan yang tengah hangat dibicarakan bukan kali pertama hal itu terjadi, alih isu dari sebelumnya membahas mengenai kenaikan harga BBM dan carut marut UN menjadi isu Parpol Demokrat sangat lumrah terjadi di bidang politik.
Peristiwa pidato menyampaikan keterangan kepada pers dalam hal yang wajar dan terkesan lumrah. Namun hal ini baru dikatakan istimewa ketika yang menyampaikannya adalah orang - orang yang memiliki kekuasaan dan wewenang di negara termasuk Presiden SBY sendiri. Terlebih itu disampaikan melalui beberapa media dan diulang - ulang. Menurut Dan Nimmo pengalihan isu dalam komunikasi politik sangatlah lumrah terjadi, bagaimanapun media juga harus dituntut objektif tak hanya “menjual” berita baru yang dirasa lebih diminati orang, dibandingkan memproposisikan berita yang sebelum ada isu tersebut. Karena selama ini di Indonesia ketika ada isu - isu yang belum terselesaikan dan belum ada jalan keluarnya selalu ada isu publik lain yang menjadi konsumsi dan seakan melupakan isu yang lama.
Di akhir analisis ini kami selaku penulis ingin menarik kesimpulan dari beberapa pandang sudut analisis di atas. SBY merupakan pemimpin pemerintahan Indonesia sudah seharusnya tidak terjebak dalam konflik status dimana selain menjadi Presiden di sisi lain menjadi Ketua Umum, Ketua Majelis Tinggi dan Ketua Dewan Penasehat Partai Demokrat. Terlebih ketika masih berada di ranah negara menggunakan fasilitas negara seperti Istana Kepresidenan alangkah beretikanya seorang pemimpin memberi contoh menggunakannya untuk kepentingan negara bukan kepentingan parpolnya. Supaya apa yang beliau lakukan tidak dicontoh oleh para pejabat eksekutif dan legislatif lainnya.
Pada akhirnya memang ketika “pelanggaran” etika yang dilakukan Presiden ini memang tak cukup kuat untuk diteruskan ke jalur hukum, bahkan tak kan bisa untuk dijerat hukum. Tapi ketika etika telah dilanggar maka sanksi sosial-lah yang akan berbicara, bahkan terkadang sanksi sosial itu lebih kejam dan lebih jera daripadi sanksi hukum biasa.

DAFTAR PUSTAKA

Alfian, Alfan, 2012. Kekuatan Pemimpin. Jakarta : Kubah Ilmu
Marsh, David, Stoke, Gerry, 2010. Teori dan Metode Dalam Ilmu Politik. Bandung : Nusa Media
Mondry,2010. Diktat Pengantar Sosiologi. Malang
Nimmo, Dan, 1993. Komunikasi Politik : Komunikator, Pesan, dan Media. Bandung : PT Remaja Rosdakarya
Poerwadarminta, W.J.S, 1976. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta : Balai Pustaka
Syafiie, Inu Kencana, 2011. Etika Pemerintahan. Jakarta : PT Rineka Cipta

Teori New Public Service



Janet V. Denhardt dan Robert B. Denhardt memberikan model alternatif yang disebut dengan new public service, dimana model new public service ini menurut Janet dan Robert Dendhardt menekankan pada empat pemikiran post - positivism, yaitu teori democratic citizenship, model of community and civil society atau model komunitas dan masyarakat sipil (masyarakat madani), organizational humanism and new public administration atau humanisme organisasi dan new public administration, dan terakhir post modern public administration.
Model kewarganegaraan demokratik memandang warga negara bukan sebagai entitas dan objek sistem hukum yang diatur dan dikendalikan oleh hak dan kewajiban legal. Teori ini menempatkan warga negara sebagai aktor politik aktif yang berpotensi mempengaruhi sistem politik. Negara ada, menurut pandangan ini untuk menjamin hak warga negara membuat pilihan sesuai dengan kepentingannya dengan aturan tertentu.
Sementara model community and civil society beragumen bahwa komunitas - komunitas yang plural harus dijaga dari dominasi kelompok atau sistem, agar identitasnya tetap terlindungi. Namun pluralism etnis misalnya, jangan pula menimbulkan konflik sehingga untuk mengatasinya, diperlukan pembentukan koalisi besar, mediasi dan negosiasi. Karena itu, menurut Gardner komunitas harus dicirikan dengan “caring, trust, and teamwork” (Denhardt dan Denhardt, 2007 : 33). Dari sudut politik, mereka merasa tak berdaya karena negara telah tersandera oleh kepentingan asing, pengusaha, dan politik atau kepentingan partai, kelompok, dan birokrasi.
Pada organizational humanism and new public administration, merupakan gerakan intelektual yang tidak puas dengan asumsi dasar OPA dan NPM. Gerakan administrasi publik baru, sangat dipengaruhi oleh paradigm kritis, konstruktivis, dan interpretif dalam yang bermuara pada paradigma humanistic atau post-positivism. Mereka berasumsi, ilmu - ilmu sosial berbeda dengan ilmu alam. Dari sudut aksiologis, ilmu tidak bisa dilepaskan dari nilai. Realitas, secara epistimologis adalah hasil konstruksi bersama antara peneliti dengan yang diteliti. Tujuan ilmu bukan menjelaskan, mengontrol dan meramalkan melainkan pemahaman dan dengan tujuan untuk melakukan transformasi sosial yang lebih adil dan demokratis. Karena itu, administrasi publik baru ini disebut sebagai “dialectial organization” atau “consociated model” dimana dijelaskan Denhardt dalam bukunya in shadow of organization.
Pemikiran berikutnya dari paradigm NPS adalah “postmodernism” yang mengubah pandangan dari kajian organisasi yang bebas nilai menjadi value-bound. Studi tentang administrasi publik didekati dengan pendekatan yang kini lebih sensitif terhadap nilai, bukan hanya fakta, sensitif terhadap makna subjektif manusia, bukan hanya perilaku objektif dalam setting interaksi sosial yang dinamis. Cara pandangan pendekatan ini adalah “government must increasing be based on sincere and open discourse among all parties, including citizens and administrators”, para pendukung teori posmo punya perhatian yang menekankan pada wacana (discourse) yang membuka proses inter-subjektivitas manusia dalam konteksi dinamika organisasi.
Paradigma NPS mengandung karakteristik berikut, (1), helping citizens articulate and meet their shared interests. (2), building a collective, shared notion of the public interest. (3), acting democratically through collective efforts and collaborative processes. (4), serving citizens, not customers. (5), paying attention to statutory and constitutional law, community values, political norms, professional standars and citizen interest. (6) Valuing people, not just productivity. (7) valuing citizenship and public service above entrepreneurship.
Sementara itu Denhardt dan Denhardt mengajukan karakteristik NPS ke dalam tujuh prinsip. Pertama, serve citizen, not customers. Kepentingan publik merupakan hasil dialog atas nilai yang dimiliki bersama daripada agregasi kepentingan diri perseorangan. Karenanya, pelayanan publik tidak hanya lagi berfokus pada hubungan kepercayaan merespons tuntutan “pelanggan”, tetapi yang lebih penting dan kerja sama dengan dan di antara warga negara.
Kedua, seek the public interest. Dimana administrator publik harus mampu membangun ikatan kolektif dan pandangan bersama tentang apa yang disebut kepentingan publik. Salah satu prinsip inti dari Layanan Publik Baru adalah penegasan kembali sentralitas kepentingan publik dalam pelayanan pemerintah. The New Public Layanan menuntut bahwa proses pembentukan "visi" bagi masyarakat adalah bukan sesuatu yang hanya untuk diserahkan kepada para pemimpin politik yang terpilih atau ditunjuk administrator publik. Sebaliknya, aktivitas membangun visi atau arah, mendefinisikan nilai-nilai bersama, adalah sesuatu yang luas dialog publik dan musyawarah adalah pusat. Bahkan lebih penting, kepentingan umum tidak sesuatu yang hanya "terjadi" sebagai hasil dari interaksi antara individu warga pilihan, prosedur organisasi, dan politik pemilu.  Sebaliknya, mengartikulasikan dan mewujudkan kepentingan umum adalah salah satu utamaalasan pemerintah ada.
Ketiga, value citizenship over entrepreneurship. Kepentingan publik lebih baik dikedepankan oleh pelayan publik dan warga neagra yang berkomitmen memberi kontribusi yang berarti bagi masyarakat ketimbang manajer entrepreneurial (wirausaha) yang bertingkah seolah - olah uang publik adalah miliknya.
Keempat, think strategically, act democratically. Kebijakan dan program memenuhi kebutuhan publik yang dicapai paling efektif dan bertanggungjawab melaui proses dan usaha kerjasama kolektif.
Dalam layanan publik yang baru, ide ini tidak hanya untuk membangun visi dan kemudian meninggalkan pelaksanaannya kepada mereka dalam pemerintahan, melainkan untuk bergabung bersama-sama semua pihak dalam proses baik merancang dan melaksanakan program-program yang akan bergerak ke arah yang diinginkan. Melalui keterlibatan dalam program sipil pendidikan dan dengan membantu untuk mengembangkan berbagai pemimpin sipil, pemerintah dapat merangsang rasa baru kebanggaan warga dan tanggung jawab sipil.
Kelima, recognize that accountability isn’t simple. Pelayan publik harus lebih menarik daripada pasar. Mereka juga harus taat pada undang - undang dan hukum, nilai yang dianut komunitas, norma politik, standar etika professional dan kepentingan warga negara.
Keenam, serve rather than steer. Penting bagi pelayan publik untuk berbagi, kepemimpinan berdasar nilai dalam membantu warga negara untuk mengungkapkan dan memenuhi kepentingan mereka ketimbang mengontrol mereka atau mengendalikan mereka menuju arah baru yang belum tentu menjadi bagian dari kepentingan mereka.
Serta terakhir yang ketujuh, value people, not just productivity. Organisasi publik dan jaringannya yang partisipatif akan lebih berhasil dalam jangka panjang bila mereka bekerja lewat proses kerjasama dan mengacu pada kepemimpinan bersama berdasarkan saling menghormati tanpa deskriminasi.

DAFTAR PUSTAKA

Denhardt, Janet V. and Denhardt, Robert B. 2007. The New Public Service. London : M.E. Sharpe Inc
Siswadi, Edi, 2012. Birokrasi Masa Depan : Menuju Tata Kelola Pemerintahan yang Efektif dan Prima. Bandung : Mutiara Press

Ironi Pengelolaan Migas di Bawah BP Migas



Indonesia dianugerahi oleh Tuhan sebagai negara yang kaya akan sumber alam baik yang terdapat di dalam perut bumi maupun yang di luar bumi, baik di darat maupun di laut. Tengoklah seberapa kekayaan Indonesia bahkan ada istilah di negara ini gemah rimah loh jinawe dengan segala kekayaannya “harusnya” rakyat Indonesia berada di kecukupan. Di darat kita punya kekayaan luar biasa hasil pertanian, perkebunan, hutan dengan kayunya, belum lagi sumber daya alam  lain yang bernilai mahal seperti batu bara, minyak bumi, gas bumi, timah, emas, bahkan uranium yang digunakan sebagai bahan pembuat nuklir merupakan beberapa di antaranya dari kekayaan Indonesia di darat. Di laut kita punya hasil perikanan yang begitu melimpah, beberapa spesies ikan langka ada di perairan nusantara ini.  Belum lagi keindahan pesona bawah laut Indonesia dengan terumbu karangnya konon merupakan salah satu yang terbaik di dunia, tak hanya itu di laut pun sumber minyak bumi juga di dapat. Pendek kata Indonesia ini surga kecil di dunia.
Berbicara mengenai kekayaan alam di Indonesia, ada salah satu komoditi utama penyumbang devisa dan pendapat negara bernama minyak dan gas bumi. Tercatat Indonesia merupakan salah satu negara penghasil minyak bumi di dunia dimana minyak bumi yang dihasilkan dari eksplorasi dari tahun ke tahun tampak fluktuatif. Pada tahun 2010 berdasarkan data dari Kementerian ESDM, Indonesia memroduksi minyak bumi sebesar 344.836 ribu barel per harinya, tahun 2011 mencapai 329.249 ribu barel per hari, dan tahun 2012 di semester pertama mencapai 163.633 ribu barel per hari. Dengan perkiraan cadangan minyak bumi mencapai 7,73 milyar barel di tahun 2011.
Bersama dengan itu lembaga legislatif membuat suatu aturan hukum berbentuk undang – undang sebagaimana tertuang dalam UU No. 22 tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi. Dimana disebutkan pada Pasal 3 UU No. 22 tahun 2001 tersebut penyelenggaraan usaha minyak dan gas bumi antara lain bertujuan untuk:
1.      Menjamin efisiensi dan efektivitas bahan minyak dan gas bumi sebagai sumber energi dan bahan baku untuk kebutuhan dalam negeri
2.      mendukung dan menumbuhkembangkan kemampuan nasional untuk lebih mampu bersaing di tingkat nasional, regional, dan internasional
3.      meningkatkan pendapatan negara untuk memberikan kontribusi yang sebesar-besarnya bagi perekonomian nasional dan mengembangkan serta memperkuat posisi industri dan perdagangan Indonesia
4.      menciptakan lapangan kerja, meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat yang adil dan merata, serta tetap menjaga kelestarian lingkungan hidup

Dimana dalam pengaplikasiannya menurut undang – undang tersebut, pemerintah membentuk suatu badan pelaksana sebagai pengendalian kegiatan hulu minyak dan gas bumi, sebagaimana tercantum pada Pasal 1 ayat 23. Adapun kegiatan usaha hulu berdasarkan UU No. 22 tahun 2001 pasal 6 ayat 1 meliputi kontrak kerjasama. Kontrak kerjasama ini memuat persyaratan sebagaimana berikut
a.       kepemilikan sumber daya alam tetap di tangan Pemerintah sampai pada titik penyerahan
b.      pengendalian manajemen operasi berada pada Badan Pelaksana
c.       modal dan risiko seluruhnya ditanggung Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap

Sebagai implementasi dari UU No. 22 tahun 2001 Pasal 1 ayat 23 ini maka pemerintah membuat badan pelaksana hulu usaha minyak dan gas bumi yang dinamakan BP Migas melalui Peraturan Pemerintah No 42 tahun 2002. Adapun tugas dari BP Migas sebagaimana dalam PP No. 42 tahun 2002 pasal 11 antara lain
a.       memberikan pertimbangan kepada Menteri atas kebijaksanaannya dalam hal penyiapan dan penawaran Wilayah Kerja serta Kontrak Kerja Sama;
b.      melaksanakan penandatanganan Kontrak Kerja Sama
c.       mengkaji dan menyampaikan rencana pengembangan lapangan yang pertama kali akan diproduksikan dalam suatu Wilayah Kerja kepada Menteri untuk mendapatkan persetujuan
d.      memberikan persetujuan rencana pengembangan lapangan selain sebagaimana dimaksud dalam huruf c
e.       memberikan persetujuan rencana kerja dan anggaran
f.       melaksanakan monitoring dan melaporkan kepada Menteri mengenai pelaksanaan Kontrak Kerja Sama
g.      menunjuk penjual Minyak Bumi dan/atau Gas Bumi bagian negara yang dapat memberikan keuntungan sebesar-besarnya bagi negara

Dari tugas tersebut BP Migas memiliki wewenang antara lain :
  1. membina kerja sama dalam rangka terwujudnya integrasi dan sinkronisasi kegiatan operasional KKKS
  2. merumuskan kebijakan atas anggaran dan program kerja KKKS
  3. mengawasi kegiatan utama operasional kontraktor KKKS
  4. membina seluruh aset KKKS yang menjadi milik negara
  5. melakukan koordinasi dengan pihak dan/atau instansi terkait yang diperlukan dalam pelaksanaan Kegiatan Usaha Hulu
Adapun KKKS merupakan Kontraktor Kontrak Kerja Sama terdiri dari perusahaan luar dan dalam negeri, serta joint-venture antara perusahaan luar dan dalam negeri. Daftar ini selalu berkembang, mengikuti dari tender konsesi yang dilakukan oleh BP Migas setiap tahunnya.
Berdasarkan UU No. 22 tahun 2001 dari pasal Pasal 1 angka 23, Pasal 4 ayat (3), Pasal 41 ayat (2), Pasal 44, Pasal 45, Pasal 48 ayat (1), Pasal 59 huruf a, Pasal 61, dan Pasal 63 UU Migas bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Pada pasal 44 UU Migas dan dijabarkan kembali pada PP No. 42 tahun 2002 pasal 11 disebutkan salah satu tugas dari BP Migas yaitu menandatangani kontrak kerjasama dan menunjuk penjual minyak dan gas bumi bagian negara yang dapat memberikan keuntungan sebesar-besarnya bagi negara. Jelas hal itu bertentangan dengan UUD 1945 Pasal 33 ayat dimana disebutkan “cabang – cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dan dikuasai oleh negara”. Serta ayat 3 disebutkan bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan digunakan untuk sebesar – sebesar kemakmuran rakyat.
Maka dari itu dilakukan pengajuan Judicial Review oleh 30 tokoh dan 12 organisasi kemasyarakatan (ormas), di antaranya Ketua Umum PP Muhammadiyah Din Syamsuddin, Lajnah Siyasiyah Hizbut Tahrir Indonesia, PP Persatuan Umat Islam, PP Syarikat Islam Indonesia, PP Lajnah Tanfidziyah Syarikat Islam, PP Al-Irsyad Al-Islamiyah, PP Persaudaraan Muslim Indonesia, Pimpinan Besar Pemuda Muslimin Indonesia, Al Jamiyatul Washliyah, Solidaritas Juru Parkir, Pedagang Kaki Lima, Pengusaha dan Karyawan (SOJUPEK), Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia, dan IKADI. Mereka menilai UU Migas membuka liberalisasi pengelolan migas karena sangat dipengaruhi pihak asing. Para tokoh itu dibantu oleh kuasa hukum Dr Syaiful Bakhri, Umar Husin, dengan saksi ahli Dr Rizal Ramli, Dr Kurtubi dan lain-lain.
Sebagai langkah keluarnya putusan MK Nomor 36/PUU-X/2012 tanggal 13 November 2012, maka pemerintah membuat suatu Keputusan Presiden No. 9 tahun 2013 untuk membentuk Satuan Kerja Sementara Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SK Migas).

Wewenang dan Peran MK

Memang pembubaran lembaga negara bernama BP Migas ini menuai pro kontra di kalangan masyarakat khususnya bagi para pengusaha migas. Konon keberadaan BP Migas itu menguntungkan mereka khususnya investor perusahaan migas asing. Jika ditelisik memang keputusan pembubaran BP Migas oleh MK sendiri tak asal ngawur, sebagai lembaga yudikatif yang diberikan wewenang untuk menegakkan konstitusi.
Sebagaimana tercantum pada Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 memberikan empat wewenang kepada Mahkamah Konstitusi, yaitu: a. Memutus pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar; b. Memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar; c. Memutus pembubaran partai politik; dan d. Memutus perselisihan hasil Pemilu. 
Sesuai dengan wewenang MK maka dapat dijabarkan bahwa peranan MK antara lain
1) pengawal konstitusi (the guardian of the constitution); 
2) penafsir final konstitusi (the final interpreter of the constitution);
3) pengawal demokrasi (the guardian of the democracy);
4) pelindung hak konstitusional warga negara (the protector of the citizen’s constitutional rights) dan hak asasi manusia (the protector of human rights). 
Wewenang Mahkamah Konstitusi menguji undang-undang dapat dilihat sebagai upaya melindungi hak asasi manusia dan hak konstitusional warga negara yang dijamin UUD 1945 agar tidak dilanggar oleh ketentuan undang-undang. Jika ketentuan suatu undang-undang telah melanggar hak konstitusional warga negara, maka dapat dipastikan tindakan penyelenggara negara atau pemerintahan yang dilakukan berdasarkan ketentuan tersebut juga akan melanggar hak konstitusional warga negara. Oleh karena itu, kewenangan pengujian tersebut sekaligus mencegah agar tidak ada tindakan penyelenggara negara dan pemerintahan yang melanggar hak konstitusional warga negara.

DAFTAR PUSTAKA

Akil Mochtar. 2011. Peran Mahkamah Konstitusi Dalam Negara yang Demokratis. Jurnal Konstitusi, 13 (1) : 5-7
http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/

Terkoyaknya Kedaulatan Negara Akan Migas



Judul Buku                  : Dibawah Bendera Asing
Penulis                         : M. Kholid Syeirazi
Penerbit                       : LP3S
Tebal halaman             : 328 halaman
Edisi cetak                  : Juli 2009
Resensator                   : Avirista Midaada


“Untuk mereka yang menjadi korban”
Sebuah kalimat yang mengawali buku ini yang tentu membuat setiap orang yang membaca satu kalimat tersebut merinding. Bagiamana tidak dari buku ini pembaca akan diajak terbang untuk “di-brain wash” mengenai sumber daya alam “emas hitam” yang selama ini menjadi tumpuan energi di berbagai dunia, termasuk Indonesia.
Ketahanan energi merupakan komponen yang fundamental untuk setiap Negara. Minyak merupakan salah satu sumber bahan bakar serba guna yang pernah ditemukan manusia dan memacu jantung ekonomi industri modern. Bahkan pada saat perang Arab-Israel 1973, Negara-negara Arab menggunakan minyak sebagai sebagai senjata politik. Bangsa Arab dipimpin Arab Saudi bersatu menjatuhkan sanksi embargo minyak kepada pihak-pihak yang memihak Israel dalam perang Yon Kippur. Embargo tersebut membuat harga minyak dunia menjadi lima kali lipat dari US$ 2,5 menjadi US$ 12 per barel, dan memicu resesi ekonomi dunia.
Amerika Serikat adalah Negara yang paling kecanduan akan minyak (addicted to oil). Sebagai konsumen energi terbesar dunia, AS butuh jaminan pasokan (security of supply)  negara-negara pemilik cadangan minyak, karena cadangannya sendiri semakin menipis (tersisia 29,4 miliar barel). Produksi menurun (tinggal sekitar 5,1 juta bph) sementara konsumsi terus meningkat (mencapai 20,7 juta bph) menempatkan AS harus merancang skenario Liberalisasi industri minyak seluruh dunia, termasuk Indonesia.
Undang-undang Migas No 22/2001, berdasarkan kesimpulan analisis penulis, dengan berbagai teori sosial dan berbagai pengakuan terbuka lembaga-lembaga donor seperti USAID dan ADB dengan dukungan Bank Dunia dan IMF, merupakan salah satu koleksi undang-undang liberal yang mensibikan kedaulatan dan merelatifkan makna penguasaan Negara terhadap cabang-cabang produksi yang penting bagi Negara dan menguasai hajat hidup orang banyak. Dibaliknya terdapat kepentingan-kepentingan donor asing dan berdiri tegap kartel-kartel raksasa minyak dunia yang berkepentingan terhadap liberalisasi sektor migas Indonesia.
Arti penting liberalisasi industri migas Indonesia bagi Amerika Serikat adalah “penguasaan asing”. Perusahaan-perusahaan minyak berbendera Amerika Serikat mendominasi 85 persen di bisnis hulu minyak bumi (eksplorasi dan ekslpoitasi) dan 70 persen di bisnis hulu gas bumi. Kontrol tersebut makin paripurna jika bisnis di sketor hilir dibuka lebar. Pangsa pasar BBM domestik sangat besar, sehingga pemain-pemain asing dapat berpartisipasi menjual BBM eceran ke 220 juta penduduk Indonesia.
Pemerintah pun kala itu merupakan aktor besar yang mengajukan RUU migas dengan berbagai macam dalih dan alasan. Beberapa diantaranya adalah (1) Pertamina harus turut bersaing di industri minyak global sehingga harus “disamaratakan” dengan industri migas global lainnya dengan cara melepas monopoli kuasa terhadap sumber minyak dalam negeri dan (2) sudah terlalu merajalelanya korupsi di internal Pertamina sehingga harus segera digantikannya UU no 8/1971 dengan UU baru, yaitu UU migas. Padahal untuk dalih yang pertama dengan melepas menopoli pertamina (1) masih tidak ada jaminan akan kemanan pasokan minyak dalam negeri karena dengan masuknya perusahaan asing dalam negeri, mereka lebih memilih mengekspor olahan minyaknya ke luar negeri ketimbang Indonesia dikarenakan harga yang lebih mahal jika dijual ke luar negeri. Kemudian dalih kedua (2) fakta menyatakan korupsi Pertamina yang menggerogoti perusahaan minyak nasional telah berlangsung sejak Order baru berkuasa, bukan setelah terbitnya UU 8/1971. Jadi akar masalah bukan pada UU 8/1971, tetapi struktur dan mental birokrasi yang kedap akan reformasi.
Beberapa implikasi dari diterapkannya UU 22/2001 tentang migas adalah
1.     Implikasi paling mendasar adalah, Negara kehilangan alat untuk menjami keamanan pasok (security of supply) BBM atau BBG dalam negeri karena kontrol cadangan dan produksi migas sudah tidak berada di tangan BUMN migas. Akibatnya krisis bahan bakar migas selalu membayangi sektor energi nasional.
2.     Pertamina dirombak menjadi perusahaan skala usaha yang terpecah-pecah (unbundled), sementara perusahaan-perusahaan minyak dunia lainnya makin terintegrasi secara vertical. Mereka mencapai efisiensi dengan mengintegrasikan kegiatan sektor hulu (eksplorasi dan eksploitasi) hingga sektor hilir (disitribusi, niaga, pengolahan dsb)
3.     Terjadinya ketidakmenetukan iklim investasi sektor hulu migas karena kebijakan fiscal yang  mendukung. Bahasa simpelnya: investor harus membayar lebih untuk eksplorasi wilayah cadangan minyak baru, padahal belum pasti ada atau tidak minyaknya di wilayah tersebut. Indonesia satu-satunya Negara yang menerapkan pembayaran pra-produksi
4.     Dirombak Pertamina sebagai PT (persero) lewat PP no 31 tahun 2003 juga memungkinkan privatisasi Pertamina. Singkat kata Pertamina yang notanenenya merupakan perusahaan milik negara dapat diperjualbelikan sesuka pemerintah.
5.     Birokrasi baru semakin ribet dan tidak investor friendly. Awalnya ketika UU 8/1971 diterapkan investor hanya perlu melewati satu instansi yaitu pertamina sebelum eksplorasi, namun dengan adanya UU migas investor harus melewati minimal 5 instansi sebelum melakukan pengeboran.
Masih banyak implikasi-implikasi nyata yang ditimbulkan dengan diterapkannya UU No. 22 tahun 2001 tentang minyak dan gas bumi yang tertuang dalam buku ini. Namun sebaiknya pembaca segera membaca secara keseluruhan isi buku sehingga pengetahuan yang didapat bisa secara holistik dan lebih komprehensif. Peresensi juga kemungkinan akan menuliskannya dalam tulisan baru yang selengkapnya bisa dilihat di akhir dari tulisan ini.
Buku bersampul biru dengan gambar cover desain tetesan minyak dengan lambang perusahaan-perusahaan asing secara dominan dengan lambang pertamina yang dikecilkan sangat jelas menggambarkan pengkerdilan Pertamina sebagai BUMN migas dalam negeri yang posisinya semakin dilangkahi asing dalam menguasai sumber-sumber “emas hitam” dalam negeri. Pemerintah sendiri yang seakan membiarkan Pertamina sebagai perusahaan migas negara sendiri dilangkahi oleh asing. Bahkan negara seakan tak mempunyai kedaulatan di negera sendiri pada sektor migas dengan lobi - lobi politik yang dilakukan oleh perusahaan asing atas nama “demokrasi”.
Buku setebal 328 halaman ini memang terkesan begitu berat ketika membacanya terlebih menjelaskan dari beberapa perspektif ilmu seperti politik, ekonomi, kimia, administrasi, maupun hukum. Beberapa perspektif keilmuan itu dijadikan oleh penulis menjadi satu buku yang berawal dari sebuah tesis program pasca sarjana Ilmu Politik Universitas Indonesia. Meski terkesan berisi ilmu - ilmu yang berat dan terkesan membosankan, namun ketika dibaca bahasa penulis begitu sederhana dan terkesan santai sehingga tidak membuat “ketegangan pada otak”. Hal ini tentu berimbas buku ini mudah untuk dipahami oleh pembaca yang ingin belajar mengenai perminyakan nasional.
Alur yang digunakan cukup komprehensif dan secara sistematis gampang dicerna oleh para pembaca terutama pelajar dan pemuda yang haus akan pengetahuan kondisi Ibu Pertiwi kita saat ini. Kata-kata yang digunakan juga tidak menjemukan dan data-fakta yang disajikan juga berasal dari berbagai sumber terpercaya sehingga pembaca bisa memahami materi dari berbagai sudut pandang. 
Menurut resensator buku ini sangat direkomendasikan bagi khususnya mahasiswa maupun masyarakat pada umumnya yang tertarik membedah persoalan - persoalan tentang sumber daya alam minyak bumi dan gas, pertambangan, politik, kebijakan publik, dan hukum terkait migas di Indonesia ini. Alasannya, buku ini dapat dijadikan referensi untuk menumbuhkan semangat belajar mengenai “kekayaan alam” Indonesia yang terkibiri di negeri sendiri oleh kartel - kartel asing berkolaborasi dengan pemerintah mengatasnamakan demokrasi untuk “kepentingan rakyat”. Berawal dari sinilah semangat nasionalisme akan tumbuh yang nantinya akan menjadi modal kita untuk bersaing dengan negara lain di tengah globalisasi ini, syukur - syukur mampu merebut kembali kedaulatan negara yang terkoyak di sektor energi, pertambangan, khususnya migas.
Berbicara mengenai kemerdekaan pasti tak dapat dilepaskan dari yang namanya kedaulatan baik secara de jure maupun de facto, termasuk dalam hal kedaulatan atas sumber daya alam di negara sendiri. Dan itu sudah saatnya dimulai saat ini dengan menyebarkan pesan - pesan dari buku ini setelah kit abaca. Supaya kemerdekaan kita akan berjalan “sepenuhnya” tanpa harus terjajah oleh kapitalisme dan globalisme dengan dalih “demokrasi”.

Selasa, 01 Januari 2013

Menguji Keseriusan Keterwakilan Perempuan di Politik



Gerakan perempuan dan dinamika perpolitikan saat ini tak bisa dilepaskan begitu saja. Politik merupakan salah satu alat menyejahterakan masyarakat, sedangkan melihat realitas di lapangan jumlah populasi perempuan lebih banyak daripada laki - laki. Hal ini belum diimbangi dengan kesempatan perempuan memasuki dunia politik, Tak Cuma di politik, perempuan acap kali hanya dijadikan “nomor dua” di berbagai bidang lain. Hal ini yang memunculkan kerentatan sosial lebih tinggi dibandingkan dengan kaum laki - laki.
Usaha untuk melakukan itu bukan tidak ada, gerakan - gerakan perempuan untuk memberikan porsi yang lebih adil untuk perempuan masih terus dilakukan. Namun proses ini tak bisa dibayangkan mudah, menerobos norma agama, adat, dan sosial yang sudah turun temurun dimana perempuan adalah makhluk “nomor dua”. Belum lagi kesadaran para perempuan sendiri yang belum menyadari makna dari gerakan perempuan itu sendiri.
Di era reformasi ini, dimana kebebasan melaksanakan hak sudah mulai diusung salah satunya melalui gerakan perempuan tersebut. Para perempuan sudah mulai perlahan muncul, meskipun jumlahnya tak banyak dan terus masih mendapat cap “nomor dua”. Situasi ini kian runyam ketika keterwakilan perempuan di legislatif belum sesuai dengan yang diharapkan. Hal ini dibuktikan bahwa masih setengah hatinya para elite politik di eksekutif dan legislatif untuk menyusun suatu draf undang - undang tentang hak perpolitikan perempuan. Dari teori affermatif action dimana perempuan mewakili 30% suaranya di legislatif hal itu masih berjalan setengah hati. Dinamika perpolitikan kian runyam dikarenakan banyak parpol yang belum siap untuk kaderisasi perempuan, sehingga penempatan perempuan sebagai legislatif tampak asal - asalan dan terkesan “memaksa”. Perlu adanya perbaikan kualitas secara bertahap pada kader - kader perempuan dimana nantinya itu akan mewakili suara perempuan ketika duduk di legislatif.
Namun dibalik itu semua di eksekusinya undang - undang tentang keterwakilan perempuan sudah menjadi sesuatu yang dikatakan maju satu langkah untuk menyeterakan kesamaan hak perempuan dalam memperoleh kehidupan yang layak melalui kebijakan - kebijakan di tingkat elite politik. Dari kehadiran wakil - wakil perempuan di jajaran legislatif dan eksekutif inilah diharapkan dapat meningkatkan derajat dan menyuarakan keseteraan gender di tengah isu demokrasi saat ini.

Sebab Akibat Munculnya Gerakan Perempuan

Gender sebagai alat analisis umumnya dipakai oleh penganut aliran ilmu sosial konflik yang justru memusatkan perhatian kepada ketidakadilan struktural dan sistem yang disebabkan oleh gender. Gender, sebagaimana dituturkan oleh Oakley, gender and society berarti perbedaan yang bukan biologis dan bukan kodrat Tuhan. Perbedaan biologis yakni perbedaan jenis kelamin adalah kodrat Tuhan dan oleh karenanya secara permanen berbeda. Sedangkan gender adalah perbedaan antara laki - laki dan perempuan yang dikonstruksikan secara sosial, yakni perbedaan yang bukan kodrat atau bukan ketentuan Tuhan melainkan diciptakan oleh manusia melalui proses sosial dan kultural yang panjang. Caplan mengurai bahwa perbedaan perilaku antara laki - laki dan perempuan tidaklah sekedar biologi, namun melalui proses sosial dan kultural. Oleh karena itu gender berubah dari waktu ke waktu, dari tempat ke tempat bahkan dari kelas ke kelas, sedangkan jenis kelamin biologis akan tetap tidak berubah.
Perbedaan gender pada proses berikutnya melahirkan peran gender dan dianggap tidak menimbulkan masalah. maka tak pernah digugat. Jadi kalau secara biologis kaum perempuan dengan organ reproduksinya bisa hamil, melahirkan dan menyusui dan kemudian mempunyai peran gender sebagai perawat, pengasuh dan pendidik anak, sesungguhnya tidak ada masalah dan tidak perlu digugat. Dari studi yang menggunakan analisis gender ini ternyata banyak ditemukan perbagai manifestasi ketidakadilan gender.
Pertama, terjadi marginalisasi (pemiskinan ekonomi) terhadap kaum perempuan. Meskipun tidak setiap marginalisasi perempuan disebabkan oleh ketidakdilan gender, namum yang dipersoalkan dalam analisis gender adalah marginalisasi yang disebabkan oleh perbedaan gender. Misalkan banyak perempuan desa tersingkirkan dan menjadi miskin akibat program pertanian revolusi hijau yang hanya memfokuskan diri pada petani laki - laki. Di luar dunia perempuan seperti “guru taman kanak - kanak” atau “sekretaris” yang dinilai lebih rendah dibandingkan pekerjaan laki - laki dn seringkali berpengaruh terhadap perbedaan gaji antara kedua jenis pekerjaan tersebut.
Kedua, terjadinya subordinasi pada salah satu jenis kelamin, umumnya kepada kaum perempuan. Dalam rumah tangga, masyarakat maupun negara, banyak kebijakan dibuat tanpa ‘menganggap penting’ kaum perempuan. Misalnya anggapan perempuan hanya boleh mengurusi uruan dapur, mengapa harus sekolah tinggi - tinggi, adalah bentuk subordinasi yang dimaksudkan. Bentuk dari mekanisme proses subordinasi tersebut dari waktu ke waktu dari tempat ke tempat berbeda. Misalnya karena anggapan bahwa perempuan memiliki pembawaan emosional sehingga dianggap tidak tepat tampil sebagai pemimpin partai atau menjadi manager. Proses tersebut merupakan subordinasi dan diskriminasi berdasarkan gender.
Ketiga, pelabelan negatif (streotipe) terhadap jenis kelamin tertentu, dan akibat dari streotipe itu terjadi diskriminasi serta berbagai ketidakadilan lainnya. Dalam masyarakat, banyak sekali streotipe yang dilekatkan kepada kaum perempuan yang berakibat membatasi, menyulitkan, memiskinkan dan merugikan kaum perempuan. Karena adanya keyakinan masyarakat bahwa kaum laki - laki adalah pencari nafkah misalnya, maka setiap pekerjaan yang dilakukan oleh perempuan dinilai hanya sebagao “tambahan” dan oleh karenanya boleh saja dibayar lebih rendah.
Keempat, kekerasan terhadap jenis kelamin tertentu, umumnya perempuan, karena perbedaan gender. Kekerasan ini mencakup kekerasan fisik seperti pemerkosaan dan pemukulan, sampai kekerasan dalam bentuk yang lebih halus lagi seperti pelecehan seksual dan penciptaan ketergantungan. Banyak sekali kekerasan terhadap perempuan yang terjadi karena adanya streotipe gender. Bahwa karena perbedaan gender dan sosialisasi gender yang amat lama, sehingga mengakibatkan kaum perempuan secara fisik lemah dan laki- laki umumnya lebih kuat maka hal itu tidak menimbulkan masalah sepanjang anggapan lemahnya perempuan tersebut mendorong laki - laki boleh dan bisa seenaknya memukul dan memperkosa perempuan. Banyak unsur kecantikan, namun karena kekuasaan dan streotipe gender yang dilekatkan pada kaum perempuan.
Kelima, karena peran gender perempuan adalah mengelola rumah tangga. Maka banyak perempuan menanggung beban kerja domestik lebih banyak dan lebih lama. Dengan kata lain, peran gender perempuan mengelola, menjaga, dan memelihara kerapian tersebut, telah mengakibatkan tumbuhnya tradisi dan keyakinan masyarakat bahwa mereka harus bertanggungjawab atas terlaksananya keseluruhan pekerjaan domestik. Sosialisasi peran gender tersebut menimbulkan rasa bersalah dalam diri perempuan jika tidak menjalankan tugas - tugas domestik tersebut. Sedangkan bagi kaum laki - laki, tidak ada merasa bukan tanggungjawabnya, bahkan dibanyak tradisi secara adat laki - laki dilarang terlibat dalam pekerjaan domestik. Beban kerja tersebut menjadi dua kali lipat bagi kaum perempuan yang juga bekerja di luar rumah.
Semua manifestasi ketidakadilan gender tersebut saling terkait dan secara dialektika saling mempengaruhi. Manifestasi itu tersosialisasi kepada kaum laki - laki dan perempuan secara mantap, yang lambat laun akhirnya baik laki - laki maupun perempuan menjadi terbiasa dan akhirnya dipercaya bahwa peran gender itu seolah - olah merupakan kodrat. Hal demikianlah yang melatarbelakangi gerakan perempuan yang ada di beberapa belahan dunia, termasuk di Indonesia.



Memahami Arti Gerakan Perempuan

Pada umumnya orang berprasangka bahwa feminism adalah gerakan pemberontakan terhadap kaum laki - laki, upaya melawan pranata sosial yang ada, misalnya institusi rumah tangga. Gerakan perempuan dapat dilihat sebagai spektrum menyeluruh dari perbuatan individu atau kolektif secara sadar dan tidak sadar, kegiatan, kelompok atau organisasi yang berperhatian terhadap berkurangnya berbagai aspek subordinasi gender yang dipandang sebagai berjalinan dengan penindasan lainnya, seperti misalnya yang didasarkan atas kelas, ras, etnik, umur dan seks.
Menurut Melluci, gerakan perempuan bisa berupa jaringan kerja yang tak nampak dari kelompok kecil yang timbul ditengah kehidupan sehari-hari, di dalam ”laboratoriumnya” yang tak menampak itu, gerakan akan mempertanyakan atau menentang aturan hidup sehari-hari. Gerakan perempuan seperti gerakan feminisme memandang perempuan sampai saat ini selalu dalam posisi tertindas, subordinat secara sistem dan terpenjara secara ideologis.
Ayu Ratih dalam bukunya mengemukakan definisi gerakan perempuan sebagai usaha untuk  menerobos batasan yang memisahkan persoalan ketertindasan perempuan dan ketertindasan manusia secara keseluruhan. Ini berarti gerakan perempuan harus menyusun strategi tentang bagaimana memberi warna perempuan pada setiap gerakan pembebasan yang bertujuan untuk menghapuskan segala bentuk diskriminasi dan ketidaksetaraan dalam tata hubungan antar manusia yang beradab.
Basis teori dari gerakan pembebasan perempuan sesungguhnya adalah feminisme. Gerakan feminisme melihat terjadi penindasan terhadap kaum perempuan. Penindasan bersifat tidak adil. Dan pembebasan, mewujudkan pembatasan atas penindasan. 
Kelahiran gerakan pembebasan perempuan merefleksikan perubahan struktural dalam kehidupan sebagian besar perempuan. Gerakan feminis berhasil membangun karakter sosial atas situasi kaum perempuan dan mendapatkan pengakuan gender perempuan. Gerakan pembebasan perempuan merupakan gerakan yang heterogen dengan berbagai teori dan pandangan politik yang berbeda.
Kalau gerakan perempuan yang terjadi pada akhir abad ke-18 sampai awal abad ke-20 banyak memusatkan perhatiannya pada upaya memperoleh ruang publik yang lebih luas dengan keterlibatan perempuan di dalam wilayah politik dan ekonomi, maka belakangan ini tuntutan yang memuncak dan meluas adalah penghilangan batasan wilayah publik dan pribadi dalam masalah perempuan. Gerakan perempuan yang terjadi saat ini lebih kritis memandang asal-usul munculnya penindasan terhadap mereka.

Gerakan Perempuan dan Dinamika Politik

Berawal dari adanya diskriminasi gender dimana peran perempuan dipandang sebelah mata terutama dalam hal kepemimpinan. Maka kaum marxis menyumbangkan gagasan yang sangat besar kepada gerakan perempuan. Dimana kaum marxis memberikan sumbangan paham personal is political yang memberi peluang politik bagi kaum perempuan.
Feminisme marxis beranggapan penindasan perempuan adalah bagian dari penindasan kelas dalam hubungan produksi, sehingga persoalan perempuan selalu diletakkan dalam kerangka kritik atas kapitalisme. Fredick Engels menganggap bahwa terpuruknya status perempuan bukan karena perubahan teknologi, melainkan karena perubahan organisasi kekayaan.
Bagi Perempuan, Konsep ‘Demokrasi‘ dapat dikatakan sesuatu hal yang menjadi idaman yang juga merupakan mimpi buruk. Sejak Demokrasi yang diwariskan dari tradisi Yunani, dimana Perempuan dan budak tidak dilibatkan dalam demokrasi. Bahkan tidak ada dilibatkan sebagai pemilih dalam pemilu.
Di Indonesia, Keterwakilan perempuan dalam politik  membawa dua persoalan yaitu: pertama, masalah keterwakilan Perempuan yang sangat rendah di ruang publik dan kedua, masalah belum adanya platform partai yang secara konkrit membela kepentingan perempuan. Hal ini menjadi momen bagi aktivis wanita Indonesia untuk memperjuangkan hak publik perempuan terutama di politik.
Penetapan terhadap kuota 30 persen bagi perempuan Indonesia dalam politik merupakan satu bentuk akses politik. Menurut Galnoor (Nimmo, 2005) akses politik diartikan kepada seberapa besar kesempatan yang didapat dan dimiliki oleh seseorang terhadap politik.  Lebih lanjut Galnoor mengatakan bahwa  yang dimaksud akses  adalah kesempatan seseorang untuk mengirimkan pesan politik dari bawah ke atas, dari “pinggiran “ ke pusat, dan dari individu– individu kepada para pemimpin. 
Secara de jure pengakuan akan pentingnya perempuan dalam pembangunan telah tersurat secara jelas dalam GBHN 1993,2000. Namun pada kenyataannya perempuan berkecenderungan dijadikan objek dalam program pembangunan. Perempuan belum dapat berperan secara maksimal baik sebagai pelaku maupun sebagai penikmat pembangunan. Hal ini disebabkan pemahaman perempuan hanya sebatas peran domestik (private) sehingga kurang diperhatikan dalam pengambilan kebijakan. Di samping itu juga diperjelas dengan berkembangnya budaya patriarkhi yang menempatkan peran laki-laki sebagai makhluk yang berkuasa dengan berangkat pada pelabelan terhadap dirinya. Kondisi ini secara tidak langsung akan mempengaruhi kesenjangan perempuan sebagai warga bangsa  untuk ikut akses dalam politik dan program pembangunan.
Untuk memenuhi pasal 65 ayat (1) UU no.12 tahun 2003 tersebut ada pasal 65 ayat ( 2 ) yang berbunyi: Setiap Partai Peserta Pemilu dapat mengajukan calon sebanyak-banyaknya 120 persen (seratus dua puluh persen) jumlah kursi yang ditetapkan pada setiap Daerah Pemilihan. Dalam pasal 65 ayat (2) ini terkandung makna bahwa partai boleh melakukan spekulatif terhadap harapan untuk mendapatkan kursi di parlemen tersebut. Untuk pemenuhan kuota 30 persen, setiap partai juga diharapkan mempunyai perhitungan spekulatif untuk pemenuhan kursi kuota 30 persen keterwakilan perempuan tersebut.
Dalam pasal 65 ayat (2) ini lebih membuka peluang kepada perempuan untuk berpartisipasi dalam politik. Menurut sensus yang dilaksanakan Badan Pusat Statistik(BPS 2002) jumlah perempuan di Indonesia adalah 101.625.816 jiwa atau 51% dari seluruh Populasi atau lebih banyak dari total jumlah penduduk di ketiga Negara Malaysia, Singapura dan Filipina. Namun Jumlah yang besar tersebut tidak tampak dalam jumlah keterwakilan perempuan di lembaga lembaga pembuat keputusan/pengambilan keputusan politik di Indonesia.
Mengapa perempuan perlu partisipasi dan ikut menjadi pembuat keputusan politik adalah karena; perempuan memiliki kebutuhan–kebutuhan khusus yang hanya dapat dipahami paling baik oleh perempuan sendiri. Kebutuhan–kebutuhan ini meliputi: a) Isu-isu kesehatan reproduksi, seperti cara KB yang aman. b) Isu-isu kesejahteraan keluarga, seperti harga sembilan bahan pokok yang terjangkau, masalah kesehatan dan pendidikan anak. c) Isu-isu kepedulian terhadap anak, kelompok usia lanjut dan tuna daksa, d) Isu-isu kekearasan seksual.
Keikutsertaan perempuan sebagai pembuat keputusan politik dapat mencegah diskriminasi terhadap perempuan yang selama ini terjadi dalam masyarakat, seperti : a) Diskriminasi di tempat kerja yang menganggap pekerja laki-laki lebih tinggi nilainya daripada perempuan. Misalnya penetapan upah yang berbeda antara laki-laki dan perempuan untuk beban kerja yang sama. Diskriminasi dihadapan hukum yang merugikan posisi perempuan misalnya : kasus perceraian. b) Hanya dalam jumlah yang signifikan, perempuan dapat menghasilkan perubahan berarti, seperti: 1) Perubahan cara pandang dalam menyelesaikan masalah-masalah politik dengan mengutamakan perdamaian dan cara–cara ahli kekerasan. 2) perubahan kebijakan dan peraturan undang-undang yang ikut memasukkan kebutuhan–kebutuhan khusus perempuan sebagai bagian dari agenda nasional.
Langkah yang harus dilakukan untuk meningkatkan jumlah perempuan sebagai pembuat keputusan politik adalah memahami pentingnya keterwakilan perempuan dalam lembaga politik dan mendukung upaya meningkatkan jumlah perempuan yang duduk dalam lembaga–lembaga politik hingga  mencapai jumlah yang signifikan agar dapat mempengaruhi proses pembuatan keputusan keputusan politik. Mendukung penerapan pemilu dengan sistem campuran sebab sistem ini membuka kesempatan yang lebih besar bagi perempuan untuk mencalonkan diri.
Ada 3 sistem pemilu yang dapat dilakukan yaitu: a) Sistem Distrik;-Dalam sistem ini pemilih memilih sendiri nama calon anggota legislatif (caleg) di unit pemilihannya. Sistem ini memungkinkan pemilih mengenal baik caleg pilihannya sehingga caleg bertanggungjawab langsung kepada pemilih. Hal yang didapat dalam sistem ini: caleg perempuan akan lebih sulit terpilih karena ia harus bersaing dengan caleg lain yang umumnya lebih unggul dalam hal dana, dukungan masyarakat, media massa, keluarga serta norma budaya yang telah sekian lama mengistimewakan peran laki-laki dalam bidang politik. Dengan alasan itu, partai politik jarang mencalonkan caleg perempuan secara terbuka karena dianggap tidak dapat memenangkan persaingan suara dengan partai lain. b) Proporsional;- Dalam sistem ini pemilih memilih partai politik. Partai politik menentukan daftar nama caleg di setiap unit pemilihan. Sistem ini juga memungkinkan terpilihnya caleg dari luar daerah pemilihan karena penentuan daftar nama dilakukan sepenuhnya oleh parpol. Hal yang didapat dalam sistem ini: sistem ini membuka kesempatan lebih luas bagi perempuan karena caleg tidak perlu menghadapi pemilih secara langsung. Dengan demikian caleg juga tidak harus bersaing secara tajam dengan caleg lain, yang seringkali membutuhkan pengalaman berpolitik yang belum banyak dimiliki perempuan karena sosialisasi yang dialaminya sejak kecil. c) Sistem campuran;-Dalam sistem ini pemilih memilih sebagian caleg dengan cara distrik dan sebagian lagi dengan cara proporsional. Sistem ini membuka kesempatan yang luas bagi caleg perempuan sekaligus mengharuskan caleg untuk bertanggungjawab langsung kepada pemilihnya.





Penutup : Arah Gerakan Perempuan

Sebagai penutup tulisan ini, maka kami mencoba menyimpulkan beberapa hal dan memberikan sedikit solusi bagi gerakan perempuan di dinamika politik.Dari Undnag - Undang tentang pemilu nomor 10 tahun 2008 dalam hal penyertaan kuota 30% bagi perempuan di kepengurusan tingkat pusat ini memang masih belum sesuai dengan jumlah perempuan. Seharusnya jika memang berniat untuk memberikan affermatif action tak hanya di tingkat pusat tetapi juga hingga ke tingkat daerah dan cabang sekalipun. Memang kendala dari ini yaitu minimnya sumber daya manusia yang berkualitas yang memang dapat diandalkan oleh masing - masing parpol hingga tingkat daerah.
Namun jika kaderisasi di internal, melalui rekrutmen politik yang bagus, sosialisasi atau pendidikan politik yang berjenjang dan berkualitas sebagaimana merupakan bagian dari fungsi parpol itu sendiri. Akan tetapi hal yang lebih penting bagaimana caranya gerakan perempuan dapat berdampak secara kualitas bagi perempuan di Indonesia sendiri. Jika menilik partisipasi perempuan dalam pengambilan keputusan di tingkat lokal seperti desa masih terbilang minim, bahkan program - program yang secara khusus didesain untuk mengakomodasi kepentingan perempuan masih tampak begitu bias.
Pemerintah sebagai pelaksana kebijakan tampaknya harus berpikir berulang kali mengenai kebijakan, karena tak memadainya sumber daya manusia di daerah dapat berakibat kebutuhan dari masyarakat itu sendiri yang tidak tertangkap. Inilah yang memunculkan program mercu suar yang tidak disertai studi kelayakan sehingga mubazir karena sebenarnya tidak dibutuhkan baik untuk jangka pendek maupun jangka panjang bagi kaum perempuan sendiri.









DAFTAR PUSTAKA

Buku

Aristiani, Agnes. 2011. Korupsi Yang Memiskinkan,. Jakarta : PT Kompas Media Nusantara
Ayu Ratih,2004. Mata Rantai Yang Hilang Dalam Pemberadaban Manusia. Yogyakarta : Pustaka Pelajar
Fakih, Mansour. 1987. Analisis Gender dan Transformasi Sosial. Yogyakarta : Pustaka Pelajar,

Jurnal Ilmiah

Sari, Afrina.. Perempuan dan Politik di Kota Bekasi. Jakarta, 2009
Subono, Nur Iman.. ilmu Politik, Bias Gender, dan Penelitian Feminis. Jakarta, 2006