Kamis, 02 Mei 2013

Terkoyaknya Kedaulatan Negara Akan Migas



Judul Buku                  : Dibawah Bendera Asing
Penulis                         : M. Kholid Syeirazi
Penerbit                       : LP3S
Tebal halaman             : 328 halaman
Edisi cetak                  : Juli 2009
Resensator                   : Avirista Midaada


“Untuk mereka yang menjadi korban”
Sebuah kalimat yang mengawali buku ini yang tentu membuat setiap orang yang membaca satu kalimat tersebut merinding. Bagiamana tidak dari buku ini pembaca akan diajak terbang untuk “di-brain wash” mengenai sumber daya alam “emas hitam” yang selama ini menjadi tumpuan energi di berbagai dunia, termasuk Indonesia.
Ketahanan energi merupakan komponen yang fundamental untuk setiap Negara. Minyak merupakan salah satu sumber bahan bakar serba guna yang pernah ditemukan manusia dan memacu jantung ekonomi industri modern. Bahkan pada saat perang Arab-Israel 1973, Negara-negara Arab menggunakan minyak sebagai sebagai senjata politik. Bangsa Arab dipimpin Arab Saudi bersatu menjatuhkan sanksi embargo minyak kepada pihak-pihak yang memihak Israel dalam perang Yon Kippur. Embargo tersebut membuat harga minyak dunia menjadi lima kali lipat dari US$ 2,5 menjadi US$ 12 per barel, dan memicu resesi ekonomi dunia.
Amerika Serikat adalah Negara yang paling kecanduan akan minyak (addicted to oil). Sebagai konsumen energi terbesar dunia, AS butuh jaminan pasokan (security of supply)  negara-negara pemilik cadangan minyak, karena cadangannya sendiri semakin menipis (tersisia 29,4 miliar barel). Produksi menurun (tinggal sekitar 5,1 juta bph) sementara konsumsi terus meningkat (mencapai 20,7 juta bph) menempatkan AS harus merancang skenario Liberalisasi industri minyak seluruh dunia, termasuk Indonesia.
Undang-undang Migas No 22/2001, berdasarkan kesimpulan analisis penulis, dengan berbagai teori sosial dan berbagai pengakuan terbuka lembaga-lembaga donor seperti USAID dan ADB dengan dukungan Bank Dunia dan IMF, merupakan salah satu koleksi undang-undang liberal yang mensibikan kedaulatan dan merelatifkan makna penguasaan Negara terhadap cabang-cabang produksi yang penting bagi Negara dan menguasai hajat hidup orang banyak. Dibaliknya terdapat kepentingan-kepentingan donor asing dan berdiri tegap kartel-kartel raksasa minyak dunia yang berkepentingan terhadap liberalisasi sektor migas Indonesia.
Arti penting liberalisasi industri migas Indonesia bagi Amerika Serikat adalah “penguasaan asing”. Perusahaan-perusahaan minyak berbendera Amerika Serikat mendominasi 85 persen di bisnis hulu minyak bumi (eksplorasi dan ekslpoitasi) dan 70 persen di bisnis hulu gas bumi. Kontrol tersebut makin paripurna jika bisnis di sketor hilir dibuka lebar. Pangsa pasar BBM domestik sangat besar, sehingga pemain-pemain asing dapat berpartisipasi menjual BBM eceran ke 220 juta penduduk Indonesia.
Pemerintah pun kala itu merupakan aktor besar yang mengajukan RUU migas dengan berbagai macam dalih dan alasan. Beberapa diantaranya adalah (1) Pertamina harus turut bersaing di industri minyak global sehingga harus “disamaratakan” dengan industri migas global lainnya dengan cara melepas monopoli kuasa terhadap sumber minyak dalam negeri dan (2) sudah terlalu merajalelanya korupsi di internal Pertamina sehingga harus segera digantikannya UU no 8/1971 dengan UU baru, yaitu UU migas. Padahal untuk dalih yang pertama dengan melepas menopoli pertamina (1) masih tidak ada jaminan akan kemanan pasokan minyak dalam negeri karena dengan masuknya perusahaan asing dalam negeri, mereka lebih memilih mengekspor olahan minyaknya ke luar negeri ketimbang Indonesia dikarenakan harga yang lebih mahal jika dijual ke luar negeri. Kemudian dalih kedua (2) fakta menyatakan korupsi Pertamina yang menggerogoti perusahaan minyak nasional telah berlangsung sejak Order baru berkuasa, bukan setelah terbitnya UU 8/1971. Jadi akar masalah bukan pada UU 8/1971, tetapi struktur dan mental birokrasi yang kedap akan reformasi.
Beberapa implikasi dari diterapkannya UU 22/2001 tentang migas adalah
1.     Implikasi paling mendasar adalah, Negara kehilangan alat untuk menjami keamanan pasok (security of supply) BBM atau BBG dalam negeri karena kontrol cadangan dan produksi migas sudah tidak berada di tangan BUMN migas. Akibatnya krisis bahan bakar migas selalu membayangi sektor energi nasional.
2.     Pertamina dirombak menjadi perusahaan skala usaha yang terpecah-pecah (unbundled), sementara perusahaan-perusahaan minyak dunia lainnya makin terintegrasi secara vertical. Mereka mencapai efisiensi dengan mengintegrasikan kegiatan sektor hulu (eksplorasi dan eksploitasi) hingga sektor hilir (disitribusi, niaga, pengolahan dsb)
3.     Terjadinya ketidakmenetukan iklim investasi sektor hulu migas karena kebijakan fiscal yang  mendukung. Bahasa simpelnya: investor harus membayar lebih untuk eksplorasi wilayah cadangan minyak baru, padahal belum pasti ada atau tidak minyaknya di wilayah tersebut. Indonesia satu-satunya Negara yang menerapkan pembayaran pra-produksi
4.     Dirombak Pertamina sebagai PT (persero) lewat PP no 31 tahun 2003 juga memungkinkan privatisasi Pertamina. Singkat kata Pertamina yang notanenenya merupakan perusahaan milik negara dapat diperjualbelikan sesuka pemerintah.
5.     Birokrasi baru semakin ribet dan tidak investor friendly. Awalnya ketika UU 8/1971 diterapkan investor hanya perlu melewati satu instansi yaitu pertamina sebelum eksplorasi, namun dengan adanya UU migas investor harus melewati minimal 5 instansi sebelum melakukan pengeboran.
Masih banyak implikasi-implikasi nyata yang ditimbulkan dengan diterapkannya UU No. 22 tahun 2001 tentang minyak dan gas bumi yang tertuang dalam buku ini. Namun sebaiknya pembaca segera membaca secara keseluruhan isi buku sehingga pengetahuan yang didapat bisa secara holistik dan lebih komprehensif. Peresensi juga kemungkinan akan menuliskannya dalam tulisan baru yang selengkapnya bisa dilihat di akhir dari tulisan ini.
Buku bersampul biru dengan gambar cover desain tetesan minyak dengan lambang perusahaan-perusahaan asing secara dominan dengan lambang pertamina yang dikecilkan sangat jelas menggambarkan pengkerdilan Pertamina sebagai BUMN migas dalam negeri yang posisinya semakin dilangkahi asing dalam menguasai sumber-sumber “emas hitam” dalam negeri. Pemerintah sendiri yang seakan membiarkan Pertamina sebagai perusahaan migas negara sendiri dilangkahi oleh asing. Bahkan negara seakan tak mempunyai kedaulatan di negera sendiri pada sektor migas dengan lobi - lobi politik yang dilakukan oleh perusahaan asing atas nama “demokrasi”.
Buku setebal 328 halaman ini memang terkesan begitu berat ketika membacanya terlebih menjelaskan dari beberapa perspektif ilmu seperti politik, ekonomi, kimia, administrasi, maupun hukum. Beberapa perspektif keilmuan itu dijadikan oleh penulis menjadi satu buku yang berawal dari sebuah tesis program pasca sarjana Ilmu Politik Universitas Indonesia. Meski terkesan berisi ilmu - ilmu yang berat dan terkesan membosankan, namun ketika dibaca bahasa penulis begitu sederhana dan terkesan santai sehingga tidak membuat “ketegangan pada otak”. Hal ini tentu berimbas buku ini mudah untuk dipahami oleh pembaca yang ingin belajar mengenai perminyakan nasional.
Alur yang digunakan cukup komprehensif dan secara sistematis gampang dicerna oleh para pembaca terutama pelajar dan pemuda yang haus akan pengetahuan kondisi Ibu Pertiwi kita saat ini. Kata-kata yang digunakan juga tidak menjemukan dan data-fakta yang disajikan juga berasal dari berbagai sumber terpercaya sehingga pembaca bisa memahami materi dari berbagai sudut pandang. 
Menurut resensator buku ini sangat direkomendasikan bagi khususnya mahasiswa maupun masyarakat pada umumnya yang tertarik membedah persoalan - persoalan tentang sumber daya alam minyak bumi dan gas, pertambangan, politik, kebijakan publik, dan hukum terkait migas di Indonesia ini. Alasannya, buku ini dapat dijadikan referensi untuk menumbuhkan semangat belajar mengenai “kekayaan alam” Indonesia yang terkibiri di negeri sendiri oleh kartel - kartel asing berkolaborasi dengan pemerintah mengatasnamakan demokrasi untuk “kepentingan rakyat”. Berawal dari sinilah semangat nasionalisme akan tumbuh yang nantinya akan menjadi modal kita untuk bersaing dengan negara lain di tengah globalisasi ini, syukur - syukur mampu merebut kembali kedaulatan negara yang terkoyak di sektor energi, pertambangan, khususnya migas.
Berbicara mengenai kemerdekaan pasti tak dapat dilepaskan dari yang namanya kedaulatan baik secara de jure maupun de facto, termasuk dalam hal kedaulatan atas sumber daya alam di negara sendiri. Dan itu sudah saatnya dimulai saat ini dengan menyebarkan pesan - pesan dari buku ini setelah kit abaca. Supaya kemerdekaan kita akan berjalan “sepenuhnya” tanpa harus terjajah oleh kapitalisme dan globalisme dengan dalih “demokrasi”.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar