Hingga sekarang
pengertian apresiasi sastra masih sering kacau dan rumpang (overlaping) dengan
pengertian kritik sastra dan penelitian sastra. Malahan pengertian ketiga sosok
tersebut kabur atau dikaburkan. Kekacauan, kerumpangan atau kekaburan itu
antara lain terlihat pada adanya unsur rasionalisasi dan evaluasi pada ketiga
sosok tersebut. Kenyataan seperti ini pada umumnya sudah disadari oleh para
pakar dan ahli sastra. Meskipun demikian, para pakar dan ahli sastra belum juga
memberikan batas-batas perbedaan pengertian antara apresiasi sastra, kritik
sastra, dan penelitian sastra secara jelas dan tegas sehingga kekacauan,
kerumpangan danatau kekaburan pengertian terus berlangsung hingga kini.
Di samping itu,
pengertian apresiasi sastra yang ada hingga sekarang sangat beraneka ragam.
Keanekaragaman ini disebabkan oleh beberapa hal. Pertama, apresiasi
sastra memang merupakan fenomena yang unik dan rumit. Keunikan dan kerumitan
ini setidak-tidaknya dapat disimak pada pasal di atas. Kedua, terjadinya
perubahan dan perkembangan pemikiran tentang apresiasi sastra. Dari waktu ke
waktu dan orang satu ke orang lain
pemikiran tentang apresiasi sastra selalu berubah dan berkembang
sehingga tak pernah ada satu pengertian apresiasi sastra yang berwibawa dan diikuti
oleh banyak kalangan. Ketiga, adanya perbedaan penyikapan dan
pendekatan terhadap hakikat apresiasi sastra. Hal ini mengakibatkan munculnya
beraneka ragam pengertian apresiasi sastra. Keempat, adanya perbedaan
kepentingan di antara orang yang satu dan orang yang lain. Hal ini menyebabkan
mereka merumuskan pengertian apresiasi sastra menurut kepentingan masing-masing
tanpa menghiraukan dan mengindahkan hakikat apresiasi sastra secara utuh dan
lengkap.
Pengertian-pengertian
apresiasi sastra yang sudah dikemukakan oleh orang hingga sekarang
setidak-tidaknya dapat digolongkan menjadi tiga, yaitu (i) pengertian
umum-parsial, (ii) pengertian khusus-rumpang, dan (iii) pengertian
operasional-utuh-holistis. Yang dimaksud dengan pengertian umum-parsial di sini
ialah pengertian yang hanya memasukkan genusnya saja tanpa hirau pada hakikat
apresiasi sastra yang utuh dan lengkap. Akibatnya, pengertian itu terkesan
sebagai potongan saja. Pengertian seperti ini contohnya sebagai berikut.
Apresiasi sastra
ialah penghargaan (terhadap karya sastra) yang didasarkan atas pemahaman.
(Panuti Sudjiman, 1990:9)
Apresiasi sastra
adalah penghargaan dan pemahaman atas suatu hasil seni atau budaya. (T.
Suparman Natawidaja, 1981:1)
Sementara itu, yang
dimaksud dengan pengertian khusus-rumpang di sini ialah pengertian yang sudah
berusaha memasukkan berbagai spesies, namun masih kacau dengan pengertian
kritik sastra. Pengertian seperti ini contohnya sebagai berikut.
Apresiasi sastra
adalah penaksiran kualitas karya sastra serta pemberian nilai yang wajar
kepadanya berdasarkan pengamatan dan pengalaman yang sadar dan kritis. (H.G.
Tarigan, 1984:233)
Apresiasi adalah
penimbangan, penilaian, pemahaman, dan pengenalan secara memadai. (A.S.Hornby,
1973:41).
Selanjutnya, yang
dimaksud dengan pengertian operasional-utuh-holistis di sini ialah pengertian
yang memasukkan berbagai unsur hakikat apresiasi sastra secara relatif memadai
sehingga meskipun pengertian itu merupakan pemadatan atau penurunan saripati
hakikat apresiasi sastra, tetapi tetap utuh, holistis, dan rinci. Contohnya
yang relatif memadai sebagai berikut.
Apresiasi sastra
adalah kegiatan menggauli cipta sastra dengan sungguh-sungguh hingga timbul
pengertian, penghargaan, kepekaan pikiran kritis dan kepekaan perasaan yang
baik terhadap cipta sastra. (S. Effendi, 1982:7)
Apresiasi sastra
ialah kegiatan memahami cipta sastra dengan sungguh-sungguh hingga menimbulkan
pengertian dan penghargaan yang baik terhadapnya.(Sofyan Zakaria, 1981:6)
Meskipun sudah relatif
ideal, contoh pengertian operasional-utuh-holistis atau rumusan contoh
pengertian tersebut di atas tidak dipergunakan di sini karena (i) pengertian
tersebut di atas belum mewadahi pokok-pokok pikiran hakikat apresiasi sastra
yang telah dikemukakan pada pasal di atas, dan (ii) rumusan pengertian tersebut
di atas belum menampung unsur-unsur utama hakikat apresiasi sastra yang
dikembangkan dalam buku ini. Yang dipergunakan dalam buku ini ialah pengertian
apresiasi sastra yang diturunkan dari hakikat apresiasi sastra yang sudah
dikemukakan pada pasal 2.2 di atas. Berdasarkan hakikat apresiasi sastra yang
dikembangkan dalam buku ini, dapatlah pengertian apresiasi sastra (yang operasional-utuh-holistis)
dirumuskan sebagai berikut. Apresiasi sastra ialah proses (kegiatan)
pengindahan, penikmatan, penjiwaan, dan penghayatan karya sastra secara
individual dan momentan, subjektif dan eksistensial, rohaniah dan budiah,
khusuk dan kafah, dan intensif dan total supaya memperoleh sesuatu daripadanya
sehingga tumbuh, berkembang, dan terpiara kepedulian, kepekaan, ketajaman,
kecintaan, dan keterlibatan terhadap karya sastra. Pengertian ini
selanjutnya digunakan dalam buku ini.
Pengertian tersebut di
atas setidak-tidaknya mengandung lima
pokok pikiran yang perlu dijelaskan lebih lanjut. Pertama, proses
(kegiatan) pengindahan, penikmatan, penjiwaan, dan penghayatan karya sastra. Kedua,
secara individual dan momentan, subjektif dan eksistensial, khusuk dan kafah,
intensif dan total. Ketiga, supaya memperoleh sesuatu daripadanya. Keempat,
sehingga tumbuh, berkembang, dan terpiara. Kelima, kepedulian,
kepekaan, ketajaman, kecintaan, dan keterlibatan terhadap karya sastra.
Walaupun perlu dijelaskan lebih lanjut secara terpisah, perlu disadari bahwa
kelima pokok pikiran tersebut sebenarnya merupakan satu ke-bulatan dan kesatuan
makna.
Pokok pikiran pertama mengandaikan bahwa karya sastra meru-pakan
sebuah dunia-kewacanaan, bukan dunia empirik tempat kita hidup sehari-hari,
yang kita perlu mengindahkannya sebagaimana adanya, menikmatinya dengan penuh
kesantunan dan kehormatan, menjiwakannya ke dalam diri kita (rohani, kalbu, dan
budi kita) sebagaimana harusnya ia ada, dan menghayatkannya ke dalam diri kita
sebagaimana harusnya ia hayat. Di sini yang terjadi adalah hubungan dialektis,
simbiosis mutualistis, dan tidak semena-mena atau tidak sembarangan. Jika kita
“membaca” novel Belenggu karya Armijn Pane, maka kita harus memandang Belenggu
sebagai sebuah dunia mandiri, kemudian mengindahkannya, menikmatinya,
menjiwakannya, dan menghayatkannya ke dalam diri kita sehingga di dalam diri
kita benar-benar “terbangun dan berdiri” sebuah dunia Belenggu dan kita
bisa mengenali dan menceritakannya kepada orang lain dunia Belenggu itu.
Pokok pikiran kedua mengisyaratkan bahwa dunia-kewacanaan karya sastra yang
mandiri “terbangun dan berdiri” dalam diri tiap-tiap orang dan dari waktu ke
waktu mungkin berbeda dan memang ada dalam kehidupan kita. Dunia Belenggu,
misalnya, yang “terbangun dan berdiri” dalam diri Baiq Sri Azemi Yuliani dan D.
Sar Yono antara kemarin dan hari ini berbeda dan mungkin ada dalam kehidupan sehari-hari
Baiq Sri Azemi Yuliani dan D. Sar Yono. Kita pun perlu khusuk dan kafah
memperhatikannya, menyelidikinya, dan mengenalinya sehingga kita bisa
menggambarkannya dan mnceritakannya kepada orang lain. Keintensifan dan
ketotalan perhatian, penyelidikan, dan
pengenalan makin memudahkan kita untuk menggambarkan dan menceritakannya.
Pokok pikiran ketiga berarti bahwa jika melaksanakan pokok
pikiran pertama dan kedua, maka kita pasti memperoleh sesuatu betapapun
kita sebenarnya tidak mengharapkan sesuatu itu. Sesuatu yang kita peroleh itu
bisa bermacam-macam; bisa pengalaman, penge-tahuan, penyadaran, dan
penghiburan. Jika kita membaca Belenggu sesuai dengan pokok pikiran
pertama dan kedua sehingga benar-benar “terbangun dan berdiri” dunia
Belenggu, maka selanjutnya kita akan memperoleh sesuatu dari dunia Belenggu
itu. Kita bisa memperoleh pengalaman-pengalaman kemanusian yang
dilakonkan oleh Tini, Tono, dan Yach (Sukartini, Sukartono, dan Rochayah). Kita
pun bisa memperoleh pengetahuan betapa sulitnya membangun hubungan harmonis
antara orang yang memiliki tingkat pendidikan, kehidupan budaya, dan pandangan
hidup berbeda sebagaimana dilakonkan oleh Tini, Tono, dan Yach. Bahkan kita
bisa memperoleh penyadaran bahwa hidup berumah tangga dengan orang yang
memiliki perbedaan tidaklah mudah dan bisa menimbulkan malapetaka dan kemelut
hidup berkepanjangan.
Pokok pikiran keempat mengisyaratkan bahwa jika kita mengerjakan atau melaksanakan pokok
pikiran pertama, kedua, dan ketiga dengan sebaik-baiknya, maka dalam
diri kita akan terus tumbuh-meninggi, berkembang-merebak-meluas, dan
terpiara-terawat-teperhatikan apa yang terdapat dalam pokok pikiran kelima.
Jika kita tidak hanya membaca Belenggu, tetapi juga Layar
Terkembang, Sri Sumarah, Burung-burung Manyar, Bumi Manusia, Olenka, Balada
Orang-orang Tercinta, dan sebagainya dengan proses sebagaimana terdapat
dalam pokok pikiran pertama dan kedua, maka makin
subur-merimba-bersih-elok apa yang terkandung dalam pokok pikiran kelima.
Mengapa demikian?
Hal itu karena pokok
pikiran kelima mengandung pengertian bahwa jika kita mengerjakan
atau melaksanakan apa yang terkandung dalam pokok pikiran pertama dan kedua,
maka kita memperoleh apa yang terkandung pada pokok pikiran ketiga sehingga
terwujud dan terjelmalah pokok pikiran keempat mengenai kepedulian,
kepekaan, ketajaman, kecintaan, dan keterlibatan terhadap karya sastra. Hal ini
berarti bahwa kita (i) tak pernah meninggalkan karya sastra dari pikiran,
perasaan, dan hidup kita, (ii) bisa cepat menangkap dan sigap mengenali
isyarat-isyarat karya sastra, (iii) bisa jernih dan dalam melihat
isyarat-isyarat karya sastra, (iv) mau terus-menerus setiap waktu menempatkan
karya sastra ke dalam sisi hidupnya, dan (v) senantiasa
membela-melindungi-menjaga karya sastra agar tetap dalam keadaan baik.
Pendeknya, radar-radar yang terdapat dalam diri kita senantiasa terarah,
menjaga, dan meman-tau keberadaan karya sastra. Jika kita rajin membaca Godlob
(Danarto), Royan Revolusi (Ramadhan K.H.), Nenek Moyangku Air
Mata (D. Zawawi Imron), Daerah Perbatasan (Subagio
Sastrowardoyo), dan Perahu Kertas (Sapardi Djoko Damono) serta Dan
Perangpun Usai (Ismail Marahimin) dengan proses sebagaimana terdapat dalam pokok
pikiran pertama dan kedua, maka dalam diri kita senantiasa tumbuh,
berkembang, dan terpiara kepedulian, kepekaan, ketajaman, kecintaan, dan keterlibatan
terhadap Meditasi (Abdul Hadi W.M.), Malu Aku Jadi Orang
Indonesia (Taufik Ismail), Kotbah di Atas Bukit (Kuntowijoyo),
Pengakuan Pariyem (Linus Suryadi AG), Para Priyayi (Umar
Kayam), Anak Tanah Air (Ajip Rosidi), Ronggeng Dukuh Paruk
(Ahmad Tohari), Bako (Darman Munir), Upacara (Korrie
Layun Rampan), Keok (Putu Wijaya), Lautan Jilbab (Emha
Ainun Najib), dan sebagainya. Pendeknya, radar-radar dalam diri kita (radar budi,
nurani, rasa, dan lain-lain) senantiasa terarah dan tertuju pada sastra.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar