Terdapat
banyak penjelasan yang berupaya memahami eksistensi kepartaian di Indonesia.
Masing - masing punya argumentasi dan daya penjelas tersendiri. Satu hal yang
harus dicatat dari berbagai penjelasan itu adalah masing - masing penjelasan
yang ada berangkat dari bacaan terhadap kepartaian dimana penjelasan tentang
itu dibuat. Konsekuensinya, boleh jadi penjelasan itu tidak mampu memberi
eksplansi yang baik untuk perkembangan kepartaian di masa berikutnya setelah
penjelasan itu dibuat.
Sukarno
menjadi orang yang pertama kali berusaha memahami pembilahan sosial Indonesia
dihubungkan dengan kepartaian Sukarno (1927) menyebutkan tiga aliran politik
penting di Indonesia, yaitu nasionalisme, islam, dan marxisme. Di bawah
demokrasi terpimpin klasifikasi itu dikonsolidasikan dalam satu level, nasakom
singkatan dari nasionalis, agama, dan komunis.
Namun,
Feith mengkritik pembagian Sukarno tersebut sebagai pembagian yang tidak
melihat kontras - kontras yang ada di dalam setiap kategori. Masing - masing
kategori terlalu heterogen sifatnya. Dicontohkannya, antara pemikiran komunis
dan sosialis jelas terdapat kontras - kontras yang mencolok. Disamping itu,
aliran - aliran penting lainnya tidak dimasukkan.
Selanjutnya
Herbeth Feith menggambarkan karakteristik pemikiran politik partai Indonesia
periode 1945 - 1955 menjadi 5 yaitu : nasionalisme, radikal, tradisionalisme
jawa, islam, sosialisme, demokratis, dan komunis.
Pembagian
tersebut menggambarkan aliran - aliran dalam kaitannya dengan ketegangan antara
warisan - warisan tradisional khusus serta kaitannya dengan dunia modern,
terutama dunia barat, dan ide - idenya. Warisan - warisan tradisional Indonesia
hindu - budha terpisah jelas dengan islam. Sementara itu pengaruh - pengaruh
ideologis yang diambil dari dunia barat tidak menunjukkan perbedaan tajam. Pengaruh
yang paling kuat adalah marxisme, baik dalam bentuk leninisme maupun demokrasi
sosialnya, sedangkan pengaruh demokrasi liberal jauh lebih lemah.
PKI
merupakan partai yang memiliki kesan kuat memutuskan ikatan kuat dengan masa
lampau, dan menambatkan dirinya dengan konsep - konsep pemikiran, langsung,
maupun tidak langsung, dari barat sekalipun mereka menggunakan himbauan -
himbauan abangan tradisional dan sebagainya. Ide - ide sosialisme demokrat
berpengaruh dalam tubuh PSI. Meskipun demikian tidak sedikit pemimpin -
pemimpin PNI dan Masyumi yang juga terpengaruh oleh gagasan sosialisme
demokrat. Sementara itu NU dan Masyumi menjadi representasi politik dari alam
pemikiran islam. Kedua partai tersebut berbeda dalam ekspresi keislamannya. NU
adalah partai islam yang akomodatif dan relatif terpengaruh oleh pemikiran
tradisionalisme jawa. Sementara itu Masyumi adalah partai islam yang memilih
kecenderungan reformis dan fundamentalis.
Pemilihan
berikutnya adalah terkait dengan tradisionalisme jawa. Organisasi yang paling
dekat mencerminkan pembilhan sosial ini adalah PIR (Partai Indonesia Raya).
Sebagai sebuah pemikiran tapak - tapak pengaruh tradisionalisme jawa kuat
merasuk ke dalam PNI, NU, golongan ABRI dan pamongpraja.
Terkait
dengan nasionalisme radikal, dalam struktur kepartaian terutama sekali
direpresentasikan oleh PNI. Bagian itu merupakan perpaduan rumit antara
tradisionalisme jawa, komunisme, dan sosialisme demokrat.
Sementara
itu Dhakidae membagi partai ke dalam dua jalur utama : jalur kelas dan aliran.
Disebutkannya bahwa partai yang mengambil jalur kelas membedakan dirinya dan
yang lain berdasarakan masyarakat itu atas kelas pemilik modal dan kaum buruh
dengan segala kompleksitasnya. Partai yang mengambil jalur aliran membedakan
dirinya dengan yang lain berdasarkan pandangannya tehadap dunia dan
persoalannya, dan bagaimana caa memecahkannya.
Pada jalur
kelas dipilah menjadi dua kelompok partai, yaitu pembangunanisme (devolopmentalisme)
dan sosialisme radikal. Menurut Dhakidae, beberapa partai buruh dan partai
berideologi marhaenisme masuk dalam kelompok sosialisme radikal. Sementara itu,
Golkar adalah representasi dari kelompok pembangunisme yang berpihak kepada
pemodal, internasional, dan domestik.
Sementara
itu, pada jalur aliran, partai - partai dipilah menjadi kelompok agama dan
kelompok kebangsaan. Kelompok agama terbagi ke dalam aliran islam dan Kristen. Partai
agama mudah muncul salah satunya karena faktor agama mempermudah menyatukan
pendukung sebuah agama. PDIP menjadi kelompok partai berdasarkan kebangsaan.
Diluar
popularitas jalur tersebut, terdapat kelompok tengah sebagai titik temu
popularitas jalur kelas dan aliran. PAN, PKB berada dalam posisi ini. Menurut Dhakidae,
kluster tengah ini boleh jadi sebuah “the golden middle, the radical middle”,
atau “the intelegent middle”. Posisi tengah ini merupakan ramuan dari agama,
kebangsaan, pembangunaisme dan sosialisme. Mereka tidak anti modal tetapi modal
harus diolah sedemikian rupa untuk kepentingan sosial. Mereka juga tidak
menganut statisme sehingga peran agama mendapat modifikasi yang berarti.
Sementara
itu penjalasan paling kontemporer disampaikan oleh Ambardi. Ambardi melihat
bahwa pembilahan sosial di Indonesia sampai dengan saat ini terbagi atara
pembilahan keagamaan, regional, dan kelas. Dalam perjalannya, dari masa ke masa
semua pembilahan sosial tersebut tidak bertransformasi menjadi partai, tetapi
yang pasti adalah pembilahan sosial itu berusaha diaktivasi menjadi kekuasaan
partai.
Tabel 2.1.
Pembilahan
sosial dan ragam kepartaian dari masa ke masa
Periode
|
||||
Kolonial
|
Era Soekarno
|
Orde Baru
|
Reformasi
|
|
Pembentukan cleavage
|
Keagamaan dan regional
|
-
|
kelas
|
-
|
Usaha memobilisasi
pembilahan dalam struktur kepartaian
|
Mobilasi semua pembilahan
|
Mobilisasi pembilahan
keagamaan dan regional
|
Mobilisasi pembilahan
|
Semua pembilahan sosial
berusaha dimobilisasi
|
Menurut
Ambardi, pembilahan regional terbentuk sebagai akibat konsentrasi produksi dan
pembanguna yang terfokus di Jawa dan berlangsung semenjak zaman colonial. Hal
itu berakibat pada ketimpangan ekonomi antara Jawa dan luar Jawa dan kemudian
berakhir pada munculnya pembilahan Jawa - luar Jawa atau pusat - daerah.
Pembilahan sosial ini tidak jarang melibatkan faktor etnis, seperti yang
terjadi di Aceh. Sementara itu pembilahan keagamaan versus sekuler terbentuk
pada awal abad 20 ketika semangat nasionalisme Indonesia menyeruak Budi Utomo
menjadi simbol dari sebuah cita - cita sekuler. Sementara itu, SDI merepresentasikan
cita - cita agama. Ketegangan di antara dua bahkan sampai pada masa reformasi,
terutama menyangkut ideologi negara. Ketegangan di antara dua pembilahan
tersebut, pusat - daerah dan keagamaan - sekuler, tidak serentak dimobilisasi.
Pada tahun 1950 -an, pembilahan pusat - daerah (Jawa - luar Jawa) relatif
ditekan sebelum pemilu 1955, namun menjadi menonjol setelah pemilu 1955. Di
sisi lain, pembilahan keagamaan - sekuler, tepatnya islam vs sekuler sepenuhnya
dimobilisasi oleh partai - partai islam dan nasionalis.
Pada era kolonial
dan era demokrasi parlementer pembilahan berbasis kelas belum terbentuk.
Meskipun PKI telah terbentuk tahun 1924, dan sejak itu memdapat para pengikut,
partai ini tidak pernah memiliki basis kuat di antara buruh industri. Industriliasasi yang terjadi pada masa
colonial, pasca kemerdekaan sampai pada masa sebelum orde baru belum melahirkan
pembilahan sosial berbasis kelas yang penuh.
Pembilahan
sosial berbasis kelas baru mulai terbentuk secara baik pada masa orde baru,
terutama sejak tahun 1970-an. Pembilahan sosial ini berbentuk sebagai akibat
dari titik berat kebijakan orde baru yang berorientasi pada pertumbuhan
ekonomi. Melalui strategi ISI (import subsition industrialization) berbagai
jenis industri, terutama manufaktur, berkembang, dan modal masuk ke Indonesia.
Ujungnya adalah pembilahan kelas, pengusaha - buruh terbentuk.
REFERENSI
Pamungkas, Sigit, 2011. Partai Politik : Teori dan Praktik di
Indonesia. Yogyakarta : Institute for Democracy and Welfarism
Tidak ada komentar:
Posting Komentar