Dari waktu
ke waktu partai berbasis agama senantiasa muncul. Mengapa demikian, setidaknya
ada empat alasan utama. Pertama, secara teologis ada klaim bahwa agama adalah
entitas integral dan holistic yang mengatur segala dimensi sehingga agama dan politik bukan
sesuatu yang terpisah (sekuler). Kedua, secara historis ada pendapat bahwa kaum
agamawan memiliki andil yang tidak sedikit dalam membentuk, mempertahankan
keberadaan dan kedaulatan Indonesia. Karena memiliki andil maka menjadi wajar
apabila mereka tetap berkiprah dalam mengisi kemerdekaan. Ketiga,label agama
dipandang memiliki nilai jual di hadapan pemilih dan telah memiliki pangsa
pasar pemilih yang tetap. Terakhir, partai - partai sekuler dipandang tidak
mampu menjadi articulator yang baik kepentingan - kepentingan kaum agamawan.
Tabel. 2.2.
Partai Berbasis Agama dari Pemilu ke Pemilu
Berbasis Islam
|
Pemilu 1955
|
Masyumi, PNU, PSII, Perti,
PPTI, AKUI
|
6
|
|
Pemilu 1971
|
PNU, Parmusi, PSII, Perti
|
4 partai
|
||
Pemilu 1971 - 1997
|
PPP
|
1 Partai
|
||
Pemilu 1999
|
PPP, PBB, PK, PNU, PP,
PPI, Masyumi, PSII, PKU, KAMI, PUI, PAY, PIB, SUNI, PSII 1905, PMB, PID, PUMI
|
19 Partai
|
||
2004
|
PPP, PKS, PBR, PBB, PPNUI
|
5 Partai
|
||
Pemilu 2009
|
PPP, PKS, PMB, PBB, PBR,
PKNU, PPNUI, PSI
|
8 Partai
|
||
Berbasis Agama Non- Islam
|
Pemilu 1955
|
Parkindo, Partai Katolik
|
2 Partai
|
|
Pemilu 1971
|
Parkindo, Partai Katolik
|
2 Partai
|
||
Pemilu 1971
|
-
|
-
|
||
Pemilu 1999
|
PDKB, Krisna, PKD
|
3 Partai
|
||
Pemilu 2004
|
PDS
|
1 Partai
|
||
Pemilu 2009
|
PDS, PKDI
|
2 Partai
|
Dalam sejarah
kepartaian, perolehan suara partai - partai berbasis agama, yaitu gabungan
antara partai berbasis islam dan Nasrani, mencapai puncaknya dalam pemilu 1955
mencapai sekitar 48%. Dalam era reformasi, sampai pada saat ini, akumulasi
perolehan suara partai berbasis agama menurun drastis. Pada pemilu 1999,
akumulasi perolehan suara partai politik islam hanya mencapai 17,71%, partai
kaum nasrani hanya 1%. Sedangkan pemilu 2004 akumulasi partai islam hanya
mencapai 21,14% dan akumulasi suara partai nasrani hanya 2,3%. Seandainya PAN
(7%) dan PKB (10%) kita klasifikasikan sebagai partai agama, akumulasi
perolehan suara partai agama tetap terbatas, tidak mencapai 40%. Dengan kata
lain, sebagian besar partai agama hanya menjadi partai decimal, yaitu partai
yang perolehan suaranya nol koma sekian.
Mengapa
partai - partai agama mengalami kekalahan? Pertama, kekeliruan dalam membaca
realitas sosiologis umat. Segmen pasar pemilih yang dibidik partai agama,
mereka mayoritas adalah beragama secara nominal (abangan). Jadi ada islam
abangan, ada Kristen abangan, dan seterusnya, dimana jumlah mereka adalah
mayoritas. Mereka itu tidak begitu tertarik dengan partai dengan label agama.
Kedua, terjadi pergeseran orientasi umar beragama sebagai hasil dari
transformasi sosial ekonomi. Pergeseran orientasi ini dapat dibaca dari jargon
“islam yes. partai islam no, Kristen yes, partai Kristen no” dan sebagainya.
Ketiga, adanya akomodasi politik dari kekuatan politik diluar partai agama
terhadap aspirasi kaum agamawan. Pemerintah dan partai - partai sekuler
dipandang telah mengakomodasikan aspirasi dari kelompok agamawan. Keempat, oleh
para politisi dari partai agama, agama sekedar dipolitisasi dan dijadikan
komoditas politik tanpa niat yang tulus untuk memperjuangkan politik agama. Kelima,
absennya tokoh yang cukup berbobot yang memiliki pengaruh yang luas di
masyarakat. Para pemimpin umat memiliki pengaruh besar di masyarakat lebih suka
membangun partai tersendiri yang sifatnya inklusif, seperti Amien Rais dengan PAN dan Gus Dur
dengan PKB. Terakhir, partai agama lebih menampakkan ekslusivitas atau
dipandang memiliki kecenderungan ekslusif yang itu dianggap sebagai ancaman
dari segmen pemilih lain.
Pada kancah
politik Indonesia, panggung politik lebih banyak didominasi kehadiran partai politik
berbasis islam dibandingkan yang lainnya. Perolehan suara partai berbasis agama
non - islam tidak cukup signifikan dibandingkan partai - partai islam. Dua
partai yang merepresentasikan partai berbasis agama non-islam adalah Parkindo
dan Partai Katolik.
Parkindo
merepresentasikan kepentingan politik umat Kristen. Parkindo berdiri pada 18
November 1945, yang pada awalnya bernama Partai Kristen Nasional (PKN) dan
berubah nama menjadi Parkindo pada kongres I di Solo. Pada April 1947 Partai
Kristen Indonesia (Parki) melebur ke dalam Parkindo sehingga Parkindo kemudian
menjadi satu - satunya representasi politik umat Kristen. Pada pemilu 1955,
perolehan suaranya pada posisi ke - 6 dengan suara 2,66 persen, dan pada pemilu
1971 perolehan suaranya mencapai 1,34 persen.
Sementara
itu Partai Katolik Republik Indonesia (PRKI) merupakan representasi politik
umat Katolik, berdiri 8 Desember 1945. Partai katolik berasal dari sebuah
evolusi panjang keterlibatan kaum katolik dalam pergaulan politik di Indonesia.
PKRI merupakan kelanjutan atau nama baru dari Persatuan Partai Katolik
Indonesia (PPKI), dimana PPKI sendiri adalah metamorfosa dari Perhimpunan
Politik Katolik Djawa (PPKD) yang berdiri tahun 1923 dan federasi perkumpulan
politik katolik yang disebut Indische Katholike Partij (IKP). Pada pemilu 1955
PKRI berada pada posisi ke -7 dengan perolehan suara 2 persen, dan pada 1971
adalah 1 persen, sebuah jumlah yang tidak signifikan.
Berhubung
kekuatan politik agama non-islam tidak cukup signifikan berikut ini pembahasan
difokuskan pada partai - partai islam yang perolehan suaranya signifikan dalam
mempengaruhi konstelasi politik Indonesia.
REFERENSI
Pamungkas, Sigit, 2011. Partai Politik : Teori dan Praktik di
Indonesia. Yogyakarta : Institute for Democracy and Welfarism
Tidak ada komentar:
Posting Komentar