Dari sekian pemikirannya yang dituangkan dalam
buku, ada beberapa pemikiran beliau mengenai politik salah satu pada buku
berjudul Demokrasi La Raiba Fih. Dimana disana beliau mengutarakan bahwa
demokrasi merupakan suatu harga mati dan kebenaran sejati.
Demokrasi itu prinsip yang mutlak, pedoman
perikehidupan yang bersifat absolute, tidak boleh ditolak, tidak boleh
dipertanyakan, bahkan sedikit pun tidak boleh diragukan. Al Qur’an sebagai
kitab suci umat islam, boleh dikatakan bahwa dirinya La Raiba Fih, tak ada
keraguan padanya. Tetapi menurut undang - undang di negeriku orang boleh
meragukan Al Qur’an, tidak melanggar hukum jika meninggalkannya, bahkan
terdapat kecenderungan psikologis empiric untuk menganjurkan secara impisit sebaiknya
orang menolak dan membencinya.
Tetapi tidak boleh bersikap demikian kepada
demokrasi. Demokrasi - lah la raiba fih yang sejati. Di dalam praktik konstitusi negeriku
demokrasi lebih tinggi dari Tuhan. Tuhan berposisi dalam lingkup hak pribadi
setiap orang, sedangkan demokrasi terletak pada kewajiban bersama, dan itu
berarti juga kewajiban pribadi. Orang tidak ditangkap karena mengkhianati
Tuhan, tetapi berhadapan dengan aparat hukum kalau menolak demokrasi.
Minimal diabaikan. Kalau engkau diam - diam
tidak memilih demokrasi, engkau dianggap tak ada. Tetapi, kalau sampai engkau
mengajak orang di depan umum untuk menolak demokrasi, engkau melanggar hukum.
Parpol itu kebenaran tunggal.Parpol itu satu -
satunya yang berhak menyiapkan jalan kehidupan, jalan memilih wakil rakyat dan
pemimpin negara. Kalau engkau tidak mau berjalan di jalanan yang disediakan
parpol, suara abstainmu tidak dihitung. Kekecewaanmu tidak masuk ke dalam
lembaran konstitusi negara.
Engkau tidak bisa berperan apa - apa selain di jalan
demokrasi dan parpol. Peranmu harus mendukung dan wajib memilih satu di antara
parpol - parpol itu. Aturan negara sendiri hanya memakai bahasa “hak pilih”,
itu sebuah retorika budaya dan taktik politik. Sedangkan yang bertugas memakai
kata “wajib memilih” alias “haram golput” adalah kaum ulama. Sebab idiom
“wajib” itu berada di dalam otoritas kaum ulama, yakni wakil Allah di bumi,
yang bertugas menata kehidupan umat manusia berdasarkan matriks “wajib, sunnah,
mubah, makruh, dan haram”.
Begitulah sekelumit pandangan Cak Nun mengenai
demokrasi saat ini. Atas nama demokrasi moralitas, agama, dan etika
disampingkan, demokrasi seakan menjadi satu - satunya cara menuntaskan semua
permasalahan hidup di negara ini. Dan melalui parpol nantinya arah kehidupan negara
itu akan tahu jalannya kemana. Jika kita tidak mengikuti untuk menentukan arah
jalan tersebut, maka harus siap - siap menanggung kekecewaan.
Atas nama demokrasi, semuanya dinomor duakan.
Hal ini yang mengakibatkan keseimbangan yang bagus dalam penyelenggaraan
negara. Dimana masyarakat tidak mengkombinasikan demokrasi dengan budaya yang
sudah terbentuk sejak lama di Indonesia sendiri. Dan lagi - lagi masyarakat
yang menjadi aktor di dalamnya menjadi korban pula dari demokrasi yang
diagungkan ini. Jadi menurut Cak Nun, tak salah ketika demokrasi dikatakan
sebagai senjata mutlak “La Raiba Fih” dalam segala hal di Indonesia ini.
Bahkan karena demokrasi pun ulama mengatakan
golput itu haram, hal inilah yang terjadi pada Fatwa Ulama III MUI di Padang
Panjang, Sumatera Barat. Hal yang lucu Tuhan sendiri, tidak pernah mengatakan
bahwa tidak memilih itu sebuah keharaman, mungkin fatwa dari ulama ini didasari
atas ketakutan akan nasib bangsa. Karena pada intinya demokrasi itu dari
rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat.
Dan kalau rakyat mau melihat negara ini
mengalami perubahan ke arah positif maka “wajib” hukumnya untuk memilih. Suatu
hal yang lucu ketika melihat prinsip demokrasi yang mengedepankan kebebasan.
Itulah sekelumit pemikiran Emha Ainun Nadjid
mengenai negara, demokrasi dimana sebagai seorang budayawan dan cendekiawan.
Beliau mengedepankan bahasa - bahasa yang sederhana supaya masyarakat awam bisa
paham.
REFERENSI
Ainun Nadjib, Emha, 2009. Demokrasi La
Raiba Fih. Jakarta : Kompas Media Nusantara
Tidak ada komentar:
Posting Komentar