Sebagai
bagian dari suatu negara hukum merupakan salah satu elemen yang penting, tanpa
adanya hukum manusia akan berbuat sesuai dengan kehendaknya masing - masing dan
berpotensi untuk merugikan orang lain. Hukum sendiri merupakan sistem yang
terpenting dalam pelaksanaan atas rangkaian kekuasaan dari bentuk
penyalahgunaan dalam bidang politik, ekonomi, dan masyarakat dalam berbagai
cara dan tindakan. Dari hukumlah semua kehidupan seseorang di atur, baik itu
berasal dari hukum agama, maupun hukum yang berkaitan dengan negara. Di negara
Indonesia mempunyai beberapa jenis hukum yang semuanya memiliki fungsi dan
tujuan yang berbeda, ada hukum perdata, hukum pidana, hukum tata negara, hukum
tata usaha negara, hukum acara perdata, hukum acara pidana, hukum adat, dan
hukum islam.
Pada
dewasa ini negara Indonesia disibukkan dengan para pejabat negara yang terkesan
nakal dan bertingkah laku tidak sesuai dengan kode etik pejabat, banyak dari
mereka yang melanggar hukum, baik melakukan korupsi, suap, pencucian uang dan
sebagainya. Sebenarnya pejabat negara bisa disamakan dengan pegawai negeri atau
penyelenggara negara, sedangkan pengertiannya menurut Hoge Raad yaitu barangsiapa yang oleh kekuasaan
umum diangkat untuk menjabat pekerjaan umum untuk melakukan sebagian tugas dari
tugas pemerintahan atau alat perlengkapannya.
Dari
kesekian banyak kasus hukum utamanya kasus hukum pidana yang menjerat pejabat
negara baik dari tingkat eksekutif, legislatif hingga yudikatif ke semuanya
belum mendapatkan sanksi yang sepadan dengan apa yang telah mereka lakukan.
Terakhir kita dihebohkan dengan kasus dugaan suap menyuap jama’ah yang
melibatkan anggota DPR RI pada kasus cek pelawat pemilihan gubernur deputi Bank
Indonesia Miranda Gultom, belum lagi kasus yang sedang panas saat ini yaitu
kasus mantan Bendahara Umum Partai Demokrat Muhammad Nazarrudin yang kabur ke
luar negeri dan diduga terjerat kasus korupsi pembuatan wisma atlet Sea Games
di Jakabaring, Palembang. Dari kalangan pejabat eksekutif yang terjerat tindak
pidana seperti M. Ma’ruf mantan Menteri Dalam Negeri yang terlibat kasus
korupsi proyek pemadam kebakaran, atau Menteri Sosial Bachtiar Chamzah yang
terlibat kasus korupsi pengadaan sapi impor dan mesin jahit. Kasus pejabat yang
melakukan korupsi itu belum termasuk kasus - kasus korupsi yang melibatkan para
pejabat negara di tingkat provinsi dan kabupaten atau kotamadya, seperti contoh
kasus Korupsi yang melibatkan mantan gubernur Kalimantan Timur, kasus korupsi
yang melibatkan mantan Bupati Bojonegoro M. Santoso, dan masih banyak lagi.
Dari sekian banyak kasus yang terdeteksi oleh KPK (Komisi Pemberantasan
Korupsi) semua proses pemeriksaan dan penyelidikan terkesan lamban. Ketika ada
laporan pengaduan dari masyarakat mengenai adanya indikasi pelanggaran hukum
penyidik terkesan lambat dalam menanggapinya, contoh kasus ketika Ketua MK
Mahfud MD yang melaporkan M. Nazarrudin yang diduga mencoba melakukan penyuapan
kepada Sekjen MK Djanedri M. Ghaffar pada bulan September 2010 lalu baru
diproses laporan dan baru heboh - hebohnya saat ini. Bandingkan dengan kasus
terbaru di Pamekasan seorang warga yang mencuri sehelai kain sarung dihukum 5
tahun penjara oleh hakim kejaksanaan negeri, atau kasus pencurian semangka yang
menghebohkan Kediri yang dihukum 5 bulan penjara. Kedua kasus itu langsung
secara cepat ditangani aparat hukum. Perbandingan hukuman yang amatlah mencolok
dan belum bisa dikatakan adil.
Reformasi
politik tahun 1998 membawa harapan baru terhadap bangsa ini termasuk
pemberantasan korupsi. Untuk pemberantasan korupsi yang sudah berurat berakar,
dibuatlah Undang - Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang berkali -
kali disempurnakan. Untuk melaksanakan undang - undang tersebut dibuat lembaga
baru bernama Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang bisa ditafsirkan sebagai
upaya melengkapi lembaga - lembaga penegak hukum yang sudah ada (Kepolisian dan
Kejaksaan), tetapi juga bisa diartikan sebagai ketidakpercayaan pada lembaga -
lembaga yang sudah ada, karena justru pada lembaga - lembaga penegakan hukum
yang sudah ada itulah korupsi tumbuh subur.
Keberadaan
KPK yang sering disebut sebagai lembaga “super body” karena kewenangannya yang
bisa melakukan apa saja telah membawa banyak “korban”. Dari mantan menteri,
Gubernur, anggota DPR hingga DPRD, Bupati dan Walikota, dan para pengusaha
besar berhasil dijebloskan ke dalam penjara karena kasus korupsi, sesuatu yang
sebelumnya sangat - sangat tidak mungkin terjadi. Sebuah surprise bagi sejarah
pemberantasan korupsi di Indonesia kalaulah bukan sejarah peradaban untuk
pertama kalinya besan Presiden SBY, yaitu Aulia Pohan masuk penjara meskipun
dengan hukuman yang termasuk sedikit “lebih ringan”. Itulah yang melengkapi
sekitar 500 pejabat publik Indonesia yang masuk penjara pasca reformasi.
Walaupun
banyak kritik yang ditujukan kepada KPK dengan mengatakan lembaga ini masih
mempraktikan kebijakan tebang pilih dalam menangani kasus - kasus korupsi,
tetapi tetaplah KPK merupakan insitusi yang paling ditakuti oleh para perampok
dan pencolong uang negara serta uang publik. Meskipun dalam prakteknya ada
beberapa serangan - serangan yang menyertai kinerja KPK, tentu kita masih ingat
dengan kasus hukum yang menimpa mantan Ketua KPK Antasari Azhar, dimana kala itu
Antasari begitu beraninya menebas para koruptor di Gedung DPR dan instansi
eksekutif, namun entah karena scenario atau karena memang benar - benar
bersalah harus mendekam di jeruji besi dengan tuduhan pembunuhan dimana bukti
di lapangan dengan fakta di persidangan adanya ketidak cocokan, misalkan dalam
hal peluru yang diduga digunakan pembunuhan yang berbeda dengan yang terjadi di
TKP dengan yang dihadirkan di persidangan. Beralih lagi ketika pimpinan KPK
lainnya Bibid Samad Rianto dan Chandra Hamzah yang terjerat kasus cicak buaya
jilid I.
Namun
akhir - akhir ini lembaga extra ordinary
crime yakni KPK tengah menjadi sorotan karena diobok - obok oleh oknum -
oknum yang tak bertanggungjawab. Setelah publik dibuat naik pitam dengan cicak
versus buaya jilid 1, muncul kembali cicak versus buaya jilid II. Dimana
diawali dari penarikan 20 penyidik Polri dari KPK hingga penangkapan secara
paksa penyidik andalan KPK Kompol Novel Baswedan pada jum’at 12 Oktober lalu
dikarenakan dugaan kasus pembunuhan pada tahun 2004. Kasus - kasus ini
melengkapi kasus sebelumnya dimana ada tarik ulur penanganan kasus dugaan
korupsi alat simulator SIM yang melibatkan Irjen Djoko Susilo seorang perwira
menengah POLRI.
Tak
hanya itu rencana revisi UU Keistimewaan KPK oleh DPR RI dengan menghilangkan
beberapa wewenang KPK diantaranya penyadapan dan penuntutan kian membuat KPK
terjepit dalam tekanan. Polemik antara KPK dan pemerintahan sendiri menjadi isu
yang sensitif selama 2 bulan ini. Di mulai dari penolakan anggaran pembangunan
gedung baru KPK hingga terakhir kasus cicak versus buaya jilid II. Memang
kejahatan korupsi merupakan musuh bersama tetapi dalam penanganannya tentu ada
pihak - pihak yang memang secara pencitraan dirugikan dan salah satunya dari
pihak pemerintahan itu sendiri.
Memang
membedah episentrum korupsi menurut Denny Indrayana sebelum menjadi Wakil
Menkumham mengatakan ada empat episentrum korupsi pertama di istana (dimana
meliputi eksekutif, legislatif, dan yudikatif), cendana (dimana keluarga
Suharto dan lingkarannya tidak pernah tersentuh), senjata (yaitu korupsi di
sekitar kekuasaan tentara dan polisi), dan pengusaha naga (para konglomerat dan
pengusaha yang hingga sekarang pun masih tetap ada). Profesor Amien Rais
sendiri menambahkan episentrum kelima pada perusahaan multi nasional
corporation yang menguras sumber - sumber kekayaan alam Indonesia dengan
menekuk tengkuk pemerintah sehingga selamanya Indonesia dibuat menjadi jongos.
Memang
korupsi di lembaga eksekutif, legislatif,dan yudikatif tidak isapan jempol
belaka, setidaknya ini dibuktikan dengan hasil survei kemitraan pada tahun 2010
di 27 provinsi di Indonesia pemerintah menempati urutan pertama sebesar 30%,
disusul parlemen dengan 18%, dan pengusaha 13%. Sedangkan kesimpulan dari
survei Kemitraan dalam hal tingkat korupsi di pada trias politica menunjukkan
lembaga Yudikatif di pusat 70%, 52% di daerah, eksekutif 32% di pusat, 44% di
daerah, dan legislatif 78% di pusat, serta 44% di daerah. Jadi bisa diambil
kesimpulan bahwa aktor dari tindakan korupsi dari pejabat negara (baik
eksekutif, legislatif,dan yudikatif), pegawai negeri (pusat dan daerah) serta
pengusaha.
Inilah
mungkin yang membuat pemerintah kelabakan karena KPK begitu leluasanya
mempreteli oknum - oknum pejabat pemerintahan yang terlibat korupsi sehingga
pemerintah seakan merasa perlu membuat pengawasan kepada KPK. Terlebih
pemerintah dibawah kendala Partai Demokrat dimana kadernya banyak yang terjerat
kasus korupsi pula. Hingga Juni 2010 berdasarkan penemuan ICW, terdapat 176
kasus korupsi di pusat dan daerah, dengan tersangka 411 orang, dan potensi
kerugian negara mencapai Rp 2.102.910.349.050. Bahkan jumlah kasus korupsi itu
meningkat menjadi 285 kasus hingga 2012 bulan Oktober ini.
Solusi
dari polemic antara KPK dan pemerintahan kami berpikir bahwa pemerintah selaku
penyelenggara negara harus berkomitmen untuk melaksanakan mandatnya dalam hal
pemberantasan korupsi. Dengan cara memberikan dukungan penuh kepada KPK untuk
melaksanakan tugasnya dan mengintervensi jika ada yang berniat menggembosi KPK
di tengah jalan. Sedangkan pada lembaga legislatif dukungan dalam hal pembuatan
peraturan yang mana memberikan keleluasaan bagi KPK untuk menjalankan tugasnya
merupakan bentuk dukungan nyata selaku lembaga yang berwenang dalam pembuatan
undang - undang. Sedangkan di yudikatif sinergisitas antar lembaga dengan KPK
sangat amat diperlukan, karena pemberantasan korupsi tidak sepenuhnya menjadi
tanggungjawab KPK, terutama dalam hal penyidik dan penuntutan.
Sedangkan
bagi masyarakat sipil seperti telah tercantum di dalam UU Tindak Pidana Korupsi
disebutkan bahwa korupsi adalah kejahatan extra ordinary, kejahatan luar biasa.
Maka melawannya juga harus dengan komitmen, semangat, dan upaya - upaya yang
luar biasa. Gerakan - gerakan sosial di jejaring sosial, aksi - aksi dukungan
di berbagai daerah merupakan dukungan secara moril bagi pelaksanaan tugas KPK
itu sendiri.
Diharapkan
dari dukungan moril dari masyarakat sipil ini maka pemerintah selaku induk dari
institusi - institusi juga lebih responsive dan memberikan win - win solution
bagi kemaslahatan bersama. Hal ini dikarenakan KPK lahir dari semangat
mereformasi birokrasi oleh rakyat yang sudah kecewa dalam kinerja lembaga -
lembaga hukum yang ada.
DAFTAR PUSTAKA
Hartiningsih,
Maria dkk, 2011. Korupsi yang Memiskinkan.
Jakarta : PT Kompas Gramedia
Supeno, Hadi, 2009. Korupsi
di Daerah. Yogyakarta : Total Media
Tim
KPK, 2011. Pahami Dulu Baru Lawan. Jakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar