Minggu, 21 Oktober 2012

Pembilahan Sosial dan Formasi Politik


Terdapat banyak penjelasan yang berupaya memahami eksistensi kepartaian di Indonesia. Masing - masing punya argumentasi dan daya penjelas tersendiri. Satu hal yang harus dicatat dari berbagai penjelasan itu adalah masing - masing penjelasan yang ada berangkat dari bacaan terhadap kepartaian dimana penjelasan tentang itu dibuat. Konsekuensinya, boleh jadi penjelasan itu tidak mampu memberi eksplansi yang baik untuk perkembangan kepartaian di masa berikutnya setelah penjelasan itu dibuat.
Sukarno menjadi orang yang pertama kali berusaha memahami pembilahan sosial Indonesia dihubungkan dengan kepartaian Sukarno (1927) menyebutkan tiga aliran politik penting di Indonesia, yaitu nasionalisme, islam, dan marxisme. Di bawah demokrasi terpimpin klasifikasi itu dikonsolidasikan dalam satu level, nasakom singkatan dari nasionalis, agama, dan komunis.
Namun, Feith mengkritik pembagian Sukarno tersebut sebagai pembagian yang tidak melihat kontras - kontras yang ada di dalam setiap kategori. Masing - masing kategori terlalu heterogen sifatnya. Dicontohkannya, antara pemikiran komunis dan sosialis jelas terdapat kontras - kontras yang mencolok. Disamping itu, aliran - aliran penting lainnya tidak dimasukkan.
Selanjutnya Herbeth Feith menggambarkan karakteristik pemikiran politik partai Indonesia periode 1945 - 1955 menjadi 5 yaitu : nasionalisme, radikal, tradisionalisme jawa, islam, sosialisme, demokratis, dan komunis. 
Pembagian tersebut menggambarkan aliran - aliran dalam kaitannya dengan ketegangan antara warisan - warisan tradisional khusus serta kaitannya dengan dunia modern, terutama dunia barat, dan ide - idenya. Warisan - warisan tradisional Indonesia hindu - budha terpisah jelas dengan islam. Sementara itu pengaruh - pengaruh ideologis yang diambil dari dunia barat tidak menunjukkan perbedaan tajam. Pengaruh yang paling kuat adalah marxisme, baik dalam bentuk leninisme maupun demokrasi sosialnya, sedangkan pengaruh demokrasi liberal jauh lebih lemah.
PKI merupakan partai yang memiliki kesan kuat memutuskan ikatan kuat dengan masa lampau, dan menambatkan dirinya dengan konsep - konsep pemikiran, langsung, maupun tidak langsung, dari barat sekalipun mereka menggunakan himbauan - himbauan abangan tradisional dan sebagainya. Ide - ide sosialisme demokrat berpengaruh dalam tubuh PSI. Meskipun demikian tidak sedikit pemimpin - pemimpin PNI dan Masyumi yang juga terpengaruh oleh gagasan sosialisme demokrat. Sementara itu NU dan Masyumi menjadi representasi politik dari alam pemikiran islam. Kedua partai tersebut berbeda dalam ekspresi keislamannya. NU adalah partai islam yang akomodatif dan relatif terpengaruh oleh pemikiran tradisionalisme jawa. Sementara itu Masyumi adalah partai islam yang memilih kecenderungan reformis dan fundamentalis.
Pemilihan berikutnya adalah terkait dengan tradisionalisme jawa. Organisasi yang paling dekat mencerminkan pembilhan sosial ini adalah PIR (Partai Indonesia Raya). Sebagai sebuah pemikiran tapak - tapak pengaruh tradisionalisme jawa kuat merasuk ke dalam PNI, NU, golongan ABRI dan pamongpraja.
Terkait dengan nasionalisme radikal, dalam struktur kepartaian terutama sekali direpresentasikan oleh PNI. Bagian itu merupakan perpaduan rumit antara tradisionalisme jawa, komunisme, dan sosialisme demokrat.
Sementara itu Dhakidae membagi partai ke dalam dua jalur utama : jalur kelas dan aliran. Disebutkannya bahwa partai yang mengambil jalur kelas membedakan dirinya dan yang lain berdasarakan masyarakat itu atas kelas pemilik modal dan kaum buruh dengan segala kompleksitasnya. Partai yang mengambil jalur aliran membedakan dirinya dengan yang lain berdasarkan pandangannya tehadap dunia dan persoalannya, dan bagaimana caa memecahkannya.
Pada jalur kelas dipilah menjadi dua kelompok partai, yaitu pembangunanisme (devolopmentalisme) dan sosialisme radikal. Menurut Dhakidae, beberapa partai buruh dan partai berideologi marhaenisme masuk dalam kelompok sosialisme radikal. Sementara itu, Golkar adalah representasi dari kelompok pembangunisme yang berpihak kepada pemodal, internasional, dan domestik.
Sementara itu, pada jalur aliran, partai - partai dipilah menjadi kelompok agama dan kelompok kebangsaan. Kelompok agama terbagi ke dalam aliran islam dan Kristen. Partai agama mudah muncul salah satunya karena faktor agama mempermudah menyatukan pendukung sebuah agama. PDIP menjadi kelompok partai berdasarkan kebangsaan.
Diluar popularitas jalur tersebut, terdapat kelompok tengah sebagai titik temu popularitas jalur kelas dan aliran. PAN, PKB berada dalam posisi ini. Menurut Dhakidae, kluster tengah ini boleh jadi sebuah “the golden middle, the radical middle”, atau “the intelegent middle”. Posisi tengah ini merupakan ramuan dari agama, kebangsaan, pembangunaisme dan sosialisme. Mereka tidak anti modal tetapi modal harus diolah sedemikian rupa untuk kepentingan sosial. Mereka juga tidak menganut statisme sehingga peran agama mendapat modifikasi yang berarti.
Sementara itu penjalasan paling kontemporer disampaikan oleh Ambardi. Ambardi melihat bahwa pembilahan sosial di Indonesia sampai dengan saat ini terbagi atara pembilahan keagamaan, regional, dan kelas. Dalam perjalannya, dari masa ke masa semua pembilahan sosial tersebut tidak bertransformasi menjadi partai, tetapi yang pasti adalah pembilahan sosial itu berusaha diaktivasi menjadi kekuasaan partai.

Tabel 2.1.
Pembilahan sosial dan ragam kepartaian dari masa ke masa


Periode
Kolonial
Era Soekarno
Orde Baru
Reformasi
Pembentukan cleavage
Keagamaan dan regional
-
kelas
-
Usaha memobilisasi pembilahan dalam struktur kepartaian
Mobilasi semua pembilahan
Mobilisasi pembilahan keagamaan dan regional
Mobilisasi pembilahan
Semua pembilahan sosial berusaha dimobilisasi


Menurut Ambardi, pembilahan regional terbentuk sebagai akibat konsentrasi produksi dan pembanguna yang terfokus di Jawa dan berlangsung semenjak zaman colonial. Hal itu berakibat pada ketimpangan ekonomi antara Jawa dan luar Jawa dan kemudian berakhir pada munculnya pembilahan Jawa - luar Jawa atau pusat - daerah. Pembilahan sosial ini tidak jarang melibatkan faktor etnis, seperti yang terjadi di Aceh. Sementara itu pembilahan keagamaan versus sekuler terbentuk pada awal abad 20 ketika semangat nasionalisme Indonesia menyeruak Budi Utomo menjadi simbol dari sebuah cita - cita sekuler. Sementara itu, SDI merepresentasikan cita - cita agama. Ketegangan di antara dua bahkan sampai pada masa reformasi, terutama menyangkut ideologi negara. Ketegangan di antara dua pembilahan tersebut, pusat - daerah dan keagamaan - sekuler, tidak serentak dimobilisasi. Pada tahun 1950 -an, pembilahan pusat - daerah (Jawa - luar Jawa) relatif ditekan sebelum pemilu 1955, namun menjadi menonjol setelah pemilu 1955. Di sisi lain, pembilahan keagamaan - sekuler, tepatnya islam vs sekuler sepenuhnya dimobilisasi oleh partai - partai islam dan nasionalis.
Pada era kolonial dan era demokrasi parlementer pembilahan berbasis kelas belum terbentuk. Meskipun PKI telah terbentuk tahun 1924, dan sejak itu memdapat para pengikut, partai ini tidak pernah memiliki basis kuat di antara buruh industri.  Industriliasasi yang terjadi pada masa colonial, pasca kemerdekaan sampai pada masa sebelum orde baru belum melahirkan pembilahan sosial berbasis kelas yang penuh.
Pembilahan sosial berbasis kelas baru mulai terbentuk secara baik pada masa orde baru, terutama sejak tahun 1970-an. Pembilahan sosial ini berbentuk sebagai akibat dari titik berat kebijakan orde baru yang berorientasi pada pertumbuhan ekonomi. Melalui strategi ISI (import subsition industrialization) berbagai jenis industri, terutama manufaktur, berkembang, dan modal masuk ke Indonesia. Ujungnya adalah pembilahan kelas, pengusaha - buruh terbentuk.

REFERENSI 

Pamungkas, Sigit, 2011. Partai Politik : Teori dan Praktik di Indonesia. Yogyakarta : Institute for Democracy and Welfarism

Tidak ada komentar:

Posting Komentar