Minggu, 21 Oktober 2012

Perkembangan HAM di Indonesia


Ketika berbicara mengenai Hak Asasi Manusia di Indonesia, tak bisa dilepaskan dari perkembangannya yang memang pasang surut. Ada beberapa tahapan - tahapan dimana perkembangan proses perkembangan HAM ini menjadi beragam dari mulai ketika Indonesia masih mengalami masa demokrasi parlementer hingga sekarang menggunakan masa reformasi. Berikut kami akan menjelaskan perkembangan HAM dari waktu ke waktu hingga saat ini.

Ø  Masa Demokrasi Parlementer

Seperti di negara lain, HAM juga merupakan topic pembicaraan di Indonesia. Diskusi dilakukan menjelang dirumuskannya undang - undang Dasar 1945, 1949, 1950, pada sidang konstituante (1956 - 1959), pada awal penegakan orde baru menjelang sidang MPRS 1968, dan pada masa reformasi sejak 1998.
Hak asasi yang tercantum dalam Undang - Undang Dasar 1945 tidak termuat dalam suatu piagam terpisah, tetapi tersebar dalam beberapa pasal, terutama pasal 27 - 31, dan mencakup baik bidang politik maupun ekonomi, sosial dan budaya, dalma jumlah terbatas dan dirumuskan secara singkat. Hal ini tidak mengherankan karena naskah itu disusun pada akhir masa pendudukan Jepang dan dalam suasana yang mendesak. Perlu dicatat pula pada saat perumusan Undang - Undang Dasar 1945, Deklarasi Universal HAM belum ada, dan dengan demikian tidak dapat dijadikan rujukan.
Dalam rancangan naskah UUD ada banyak pendapat mengenai peran hak asasi dalam negara demokratis. Banyak kalangan berpendapat bahwa Declaration des Droits de I’Homme et du Citoyen (1789) berdasarkan individualism dan liberalisme, dan karena itu bertentangan dengan asas kekeluargaan dan gotong royong. Mengenai hal ini, Ir. Soekarno menyatakan sebagai berikut : “Jikalau kita betul - betul hendak mendasarkan negara kita kepada paham kekeluargaan, paham tolong - menolong, paham gotong royong, dan keadilan sosial, enyahlah tiap - tiap pikiran, tiap paham individualisme, dan liberalisme daripadanya”.
Sekalipun jumlahnya terbatas dan perumusannya pendek, kita boleh bangga bahwa di antara hak yang disebutkan dalam UUD 1945 terdapat hak yang bahkan belum disebut dalam Deklarasi Universal HAM pada tahun 1948, yaitu hak kolektif, seperti hak bangsa untuk menentukan nasibnya sendiri. Di samping itu, antara lain juga disebut hak ekonomi, seperti hak atas penghidupan yang layak pada pasal 27, hak sosial / budaya seperti hak atas pengajaran pasal 31. Akan tetapi hak untuk berpolitik seperti kemerdekaan untuk berserikat dan berkumpul, dan mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya, ditetapkan dengan undang - undang pada pasal 28. Jadi hak asasi itu dibatasi oleh undang - undang.

Ø  Masa Demokrasi Terpimpin

Keadaan masa demokrasi parlementer itu berakhir ketika Presiden Soekarno untuk kembali ke UUD 1945, maka dengan sendirinya hak asasi manusia kembali terbatas jumlahnya. Di bawah Soekarno, beberapa hak asasi seperti hak mengeluarkan pendapat, secara berangsur - angsur mulai dibatasi. Beberapa surat kabar dibredel, seperti Pedoman, Indonesia Raya, dan beberapa partai dibubarkan, seperti Masyumi dan PSI dan pimpinannya Moh. Natsir dan Syahrir ditahan. Sementara itu, pemenuhan hak asasi ekonomi sama sekali diabaikan, tidak ada garis yang jelas mengenai kebijakan ekonomi. Biro Perancang Negara yang telah menyusun Rencana Pembangunan Lima Tahun mulai tahun 1956 - 1961 dan melaksanakannya selama satu tahun, dibubarkan. Rencanaa itu diganti dengan Rencana Delapan Tahun, yang tidak pernah dilaksanakan. Perekonomian Indonesia mencapai titik rendah, akhirnya pada tahun 1966 Demokrasi Terpimpin diganti dengan Demokrasi Pancasila atau Orde Baru.

Ø  Masa Demokrasi Pancasila

Pada masa orde baru harapan besar bahwa akan dimulai suatu proses demokratisasi. Banyak kaum cendekiawan menggelar berbagai seminar untuk mendiskusikan masa depan Indonesia dan hak asasi. Akan tetapi euphoria demokrasi tidak berlangsung lama, karena sesudah beberapa tahun golongan militer berangsur - angsur mengambil alih pimpinan.
Pada awalnya diupayakan untuk menambah jumlah hak asasi yang termuat dalam UUD melalui suatu panitia Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) yang kemudian menyusun “Rancangan Piagam Hak - Hak Asasi Manusia dan Hak - Hak serta kewajiban Warga Negara” untuk diperbincangkan dalam MPRS V tahun 1968. Panitia diketuai oleh Jenderal Nasution dan sebagai bahan acuan ditentukan antara lain hasil Konstituante yang telah selesai merumuskan hak asasi manusia secara terperinci, tetapi dibubarkan pada tahun 1959.
Seiring berjalannya waktu hak - hak itu mulai diabaikan salah satunya hak untuk berpolitik, meskipun di sisi lain hak ekonomi atas kehidupan yang lebih layak terealisasikan namun tetap saja masyarakat merasa seakan dicurangi oleh pemerintahan kala itu. Dimulai dari pengekangan terhadap pers, kebebasan berpendapat yang dibatasi, pembredelan pers seperti yang dialami oleh Sinar Harapan (1984) dan Majalah Tempo, Detik, dan Editor (1994). Konflik di Aceh dihadapkan dengan kekerasan militer melalui Daerah Operasional Militer (DOM). Banyak kasus kekerasan terjadi,  antara lain Peristiwa Tanjung Priuk (1984), dan Peristiwa Trisakti. Hingga pada akhirnya Presiden Soeharto dijatuhkan oleh para mahasiswa pada bulan Mei 1998, dan mulai saat itulah reformasi dimulai.
Namun jika berbicara hak untuk kehidupan yang layak sebagaimana terumuskan dalam Kovenan Internasional Hak Ekonomi sebagian besar telah terpenuhi. Hak atas pangan (hak yang paling mendasar) sebagian telah berhasil dilaksanakan melalui swasembada beras pada tahun 1983, padahal sepuluh tahun sebelumnya Indonesia merupakan importer beras terbesar di dunia. Pendapatan per kapita (GNP) yang pada 1967 hanya $50, pada tahun 1990-an telah naik menjadi hampir $600. Jumlah orang miskin yang pada 1970 berjumlah 70 juta atau 60% pada 1990 turun menjadi 27 juta atau sekitar 15,1%.
Namun dibalik berkat suksesnya pembangunan ekonomi, ditambah keberhasilan pendidikan, telah timbul kelas menengah terdidik terutama di daerah perkotaan, dengan sejumlah besar professional seperti insinyur, manager, dan pakar di berbagai bidang. Selain itu dari sana telah berkembang kelompok mahasiswa dan civil society yang vokal. Dengan demikian tuntutan untuk melaksanakan hak asasi politik secara serius, meningkatkan usaha pemberantasan kemiskinan, dan mengatasi kesenjangan sosial, mengeras. Juga tuntutan akan berkurangnya dominasi eksekutif, peningkatan transparansi, akuntabilitas, dan demokratisasi sukar dibendung. Berkat tuntutan - tuntutan itu pada akhir tahun 1993 dibentuk Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) dengan dua puluh lima anggota tokoh masyarakat yang dianggap tinggi kredibilitasnya, yang diharapkan dapat meningkatkan penanganan pelanggaran hak asasi manusia di Indonesia.

Ø  Masa Reformasi

Memasuki era reformasi pelaksaan hak mengutarakan pendapat sangatlah berhasil. Berbagai kalangan mengadakan seminar - seminar di mana pemerintah bebas dikritik, begitu juga media massa dalam talk show- nya dan berbagai LSM. Demonstrasi - demonstrasi melanda masyarkat, di antaranya ada yang berakhir dengan kekerasan.
Pada masa - masa awal pertama tahun reformasi inilah juga ditandai dengan beberapa konflik horizontal di antara lain di Ambon, Poso, dan Kalimantan, dimana pelanggaran hak asasi manusia dilakukan oleh kelompok - kelompok masyarakat sendiri. Di sisi lain masa reformasi juga berdampak pemenuhan hak asasi ekonomi telah mengalami kemunduran tajam. Tak hanya itu kemajuan yang telah dicapai di bidang pertumbuhan ekonomi, pemberantasan pengangguran, pendapatan per kapita, dan pemberantasan korupsi juga masih stagnan dan cenderung mengalami kemunduran.

DAFTAR PUSTAKA

Budiarjo, Miriam, 2008. Dasar - Dasar Ilmu Politik. Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama

Tidak ada komentar:

Posting Komentar