Kamis, 18 Oktober 2012

Pengertian Apresiasi Sastra


Hingga sekarang pengertian apresiasi sastra masih sering kacau dan rumpang (overlaping) dengan pengertian kritik sastra dan penelitian sastra. Malahan pengertian ketiga sosok tersebut kabur atau dikaburkan. Kekacauan, kerumpangan atau kekaburan itu antara lain terlihat pada adanya unsur rasionalisasi dan evaluasi pada ketiga sosok tersebut. Kenyataan seperti ini pada umumnya sudah disadari oleh para pakar dan ahli sastra. Meskipun demikian, para pakar dan ahli sastra belum juga memberikan batas-batas perbedaan pengertian antara apresiasi sastra, kritik sastra, dan penelitian sastra secara jelas dan tegas sehingga kekacauan, kerumpangan danatau kekaburan pengertian terus berlangsung hingga kini.
Di samping itu, pengertian apresiasi sastra yang ada hingga sekarang sangat beraneka ragam. Keanekaragaman ini disebabkan oleh beberapa hal. Pertama, apresiasi sastra memang merupakan fenomena yang unik dan rumit. Keunikan dan kerumitan ini setidak-tidaknya dapat disimak pada pasal di atas. Kedua, terjadinya perubahan dan perkembangan pemikiran tentang apresiasi sastra. Dari waktu ke waktu dan orang satu ke orang lain  pemikiran tentang apresiasi sastra selalu berubah dan berkembang sehingga tak pernah ada satu pengertian apresiasi sastra yang berwibawa dan diikuti oleh banyak kalangan. Ketiga, adanya perbedaan penyikapan dan pendekatan terhadap hakikat apresiasi sastra. Hal ini mengakibatkan munculnya beraneka ragam pengertian apresiasi sastra. Keempat, adanya perbedaan kepentingan di antara orang yang satu dan orang yang lain. Hal ini menyebabkan mereka merumuskan pengertian apresiasi sastra menurut kepentingan masing-masing tanpa menghiraukan dan mengindahkan hakikat apresiasi sastra secara utuh dan lengkap.
Pengertian-pengertian apresiasi sastra yang sudah dikemukakan oleh orang hingga sekarang setidak-tidaknya dapat digolongkan menjadi tiga, yaitu (i) pengertian umum-parsial, (ii) pengertian khusus-rumpang, dan (iii) pengertian operasional-utuh-holistis. Yang dimaksud dengan pengertian umum-parsial di sini ialah pengertian yang hanya memasukkan genusnya saja tanpa hirau pada hakikat apresiasi sastra yang utuh dan lengkap. Akibatnya, pengertian itu terkesan sebagai potongan saja. Pengertian seperti ini contohnya sebagai berikut.

Apresiasi sastra ialah penghargaan (terhadap karya sastra) yang didasarkan atas pemahaman. (Panuti Sudjiman, 1990:9)

Apresiasi sastra adalah penghargaan dan pemahaman atas suatu hasil seni atau budaya. (T. Suparman Natawidaja, 1981:1)

Sementara itu, yang dimaksud dengan pengertian khusus-rumpang di sini ialah pengertian yang sudah berusaha memasukkan berbagai spesies, namun masih kacau dengan pengertian kritik sastra. Pengertian seperti ini contohnya sebagai berikut.

Apresiasi sastra adalah penaksiran kualitas karya sastra serta pemberian nilai yang wajar kepadanya berdasarkan pengamatan dan pengalaman yang sadar dan kritis. (H.G. Tarigan, 1984:233)

Apresiasi adalah penimbangan, penilaian, pemahaman, dan pengenalan secara memadai. (A.S.Hornby, 1973:41).

Selanjutnya, yang dimaksud dengan pengertian operasional-utuh-holistis di sini ialah pengertian yang memasukkan berbagai unsur hakikat apresiasi sastra secara relatif memadai sehingga meskipun pengertian itu merupakan pemadatan atau penurunan saripati hakikat apresiasi sastra, tetapi tetap utuh, holistis, dan rinci. Contohnya yang relatif memadai sebagai berikut.

Apresiasi sastra adalah kegiatan menggauli cipta sastra dengan sungguh-sungguh hingga timbul pengertian, penghargaan, kepekaan pikiran kritis dan kepekaan perasaan yang baik terhadap cipta sastra. (S. Effendi, 1982:7)

Apresiasi sastra ialah kegiatan memahami cipta sastra dengan sungguh-sungguh hingga menimbulkan pengertian dan penghargaan yang baik terhadapnya.(Sofyan Zakaria, 1981:6) 

Meskipun sudah relatif ideal, contoh pengertian operasional-utuh-holistis atau rumusan contoh pengertian tersebut di atas tidak dipergunakan di sini karena (i) pengertian tersebut di atas belum mewadahi pokok-pokok pikiran hakikat apresiasi sastra yang telah dikemukakan pada pasal di atas, dan (ii) rumusan pengertian tersebut di atas belum menampung unsur-unsur utama hakikat apresiasi sastra yang dikembangkan dalam buku ini. Yang dipergunakan dalam buku ini ialah pengertian apresiasi sastra yang diturunkan dari hakikat apresiasi sastra yang sudah dikemukakan pada pasal 2.2 di atas. Berdasarkan hakikat apresiasi sastra yang dikembangkan dalam buku ini, dapatlah pengertian apresiasi sastra (yang operasional-utuh-holistis) dirumuskan sebagai berikut. Apresiasi sastra ialah proses (kegiatan) pengindahan, penikmatan, penjiwaan, dan penghayatan karya sastra secara individual dan momentan, subjektif dan eksistensial, rohaniah dan budiah, khusuk dan kafah, dan intensif dan total supaya memperoleh sesuatu daripadanya sehingga tumbuh, berkembang, dan terpiara kepedulian, kepekaan, ketajaman, kecintaan, dan keterlibatan terhadap karya sastra. Pengertian ini selanjutnya digunakan dalam buku ini.
Pengertian tersebut di atas setidak-tidaknya mengandung lima pokok pikiran yang perlu dijelaskan lebih lanjut. Pertama, proses (kegiatan) pengindahan, penikmatan, penjiwaan, dan penghayatan karya sastra. Kedua, secara individual dan momentan, subjektif dan eksistensial, khusuk dan kafah, intensif dan total. Ketiga, supaya memperoleh sesuatu daripadanya. Keempat, sehingga tumbuh, berkembang, dan terpiara. Kelima, kepedulian, kepekaan, ketajaman, kecintaan, dan keterlibatan terhadap karya sastra. Walaupun perlu dijelaskan lebih lanjut secara terpisah, perlu disadari bahwa kelima pokok pikiran tersebut sebenarnya merupakan satu ke-bulatan dan kesatuan makna.
Pokok pikiran pertama mengandaikan bahwa karya sastra meru-pakan sebuah dunia-kewacanaan, bukan dunia empirik tempat kita hidup sehari-hari, yang kita perlu mengindahkannya sebagaimana adanya, menikmatinya dengan penuh kesantunan dan kehormatan, menjiwakannya ke dalam diri kita (rohani, kalbu, dan budi kita) sebagaimana harusnya ia ada, dan menghayatkannya ke dalam diri kita sebagaimana harusnya ia hayat. Di sini yang terjadi adalah hubungan dialektis, simbiosis mutualistis, dan tidak semena-mena atau tidak sembarangan. Jika kita “membaca” novel Belenggu karya Armijn Pane, maka kita harus memandang Belenggu sebagai sebuah dunia mandiri, kemudian mengindahkannya, menikmatinya, menjiwakannya, dan menghayatkannya ke dalam diri kita sehingga di dalam diri kita benar-benar “terbangun dan berdiri” sebuah dunia Belenggu dan kita bisa mengenali dan menceritakannya kepada orang lain dunia Belenggu itu.    
Pokok pikiran kedua mengisyaratkan bahwa dunia-kewacanaan karya sastra yang mandiri “terbangun dan berdiri” dalam diri tiap-tiap orang dan dari waktu ke waktu mungkin berbeda dan memang ada dalam kehidupan kita. Dunia Belenggu, misalnya, yang “terbangun dan berdiri” dalam diri Baiq Sri Azemi Yuliani dan D. Sar Yono antara kemarin dan hari ini berbeda dan mungkin ada dalam kehidupan sehari-hari Baiq Sri Azemi Yuliani dan D. Sar Yono. Kita pun perlu khusuk dan kafah memperhatikannya, menyelidikinya, dan mengenalinya sehingga kita bisa menggambarkannya dan mnceritakannya kepada orang lain. Keintensifan dan ketotalan perhatian, penyelidikan,  dan pengenalan makin memudahkan kita untuk menggambarkan dan menceritakannya.
Pokok pikiran ketiga berarti bahwa jika melaksanakan pokok pikiran pertama dan kedua, maka kita pasti memperoleh sesuatu betapapun kita sebenarnya tidak mengharapkan sesuatu itu. Sesuatu yang kita peroleh itu bisa bermacam-macam; bisa pengalaman, penge-tahuan, penyadaran, dan penghiburan. Jika kita membaca Belenggu sesuai dengan pokok pikiran pertama dan kedua sehingga benar-benar “terbangun dan berdiri” dunia Belenggu, maka selanjutnya kita akan memperoleh sesuatu dari dunia Belenggu itu. Kita bisa memperoleh pengalaman-pengalaman kemanusian yang dilakonkan oleh Tini, Tono, dan Yach (Sukartini, Sukartono, dan Rochayah). Kita pun bisa memperoleh pengetahuan betapa sulitnya membangun hubungan harmonis antara orang yang memiliki tingkat pendidikan, kehidupan budaya, dan pandangan hidup berbeda sebagaimana dilakonkan oleh Tini, Tono, dan Yach. Bahkan kita bisa memperoleh penyadaran bahwa hidup berumah tangga dengan orang yang memiliki perbedaan tidaklah mudah dan bisa menimbulkan malapetaka dan kemelut hidup berkepanjangan.
Pokok pikiran keempat mengisyaratkan bahwa jika kita mengerjakan atau melaksanakan pokok pikiran pertama, kedua, dan ketiga dengan sebaik-baiknya, maka dalam diri kita akan terus tumbuh-meninggi, berkembang-merebak-meluas, dan terpiara-terawat-teperhatikan apa yang terdapat dalam pokok pikiran kelima. Jika kita tidak hanya membaca Belenggu, tetapi juga Layar Terkembang, Sri Sumarah, Burung-burung Manyar, Bumi Manusia, Olenka, Balada Orang-orang Tercinta, dan sebagainya dengan proses sebagaimana terdapat dalam pokok pikiran pertama dan kedua, maka makin subur-merimba-bersih-elok apa yang terkandung dalam pokok pikiran kelima. Mengapa demikian?
Hal itu karena pokok pikiran kelima mengandung pengertian bahwa jika kita mengerjakan atau melaksanakan apa yang terkandung dalam pokok pikiran pertama dan kedua, maka kita memperoleh apa yang terkandung pada pokok pikiran ketiga sehingga terwujud dan terjelmalah pokok pikiran keempat mengenai kepedulian, kepekaan, ketajaman, kecintaan, dan keterlibatan terhadap karya sastra. Hal ini berarti bahwa kita (i) tak pernah meninggalkan karya sastra dari pikiran, perasaan, dan hidup kita, (ii) bisa cepat menangkap dan sigap mengenali isyarat-isyarat karya sastra, (iii) bisa jernih dan dalam melihat isyarat-isyarat karya sastra, (iv) mau terus-menerus setiap waktu menempatkan karya sastra ke dalam sisi hidupnya, dan (v) senantiasa membela-melindungi-menjaga karya sastra agar tetap dalam keadaan baik. Pendeknya, radar-radar yang terdapat dalam diri kita senantiasa terarah, menjaga, dan meman-tau keberadaan karya sastra. Jika kita rajin membaca Godlob (Danarto), Royan Revolusi (Ramadhan K.H.), Nenek Moyangku Air Mata (D. Zawawi Imron), Daerah Perbatasan (Subagio Sastrowardoyo), dan Perahu Kertas (Sapardi Djoko Damono) serta Dan Perangpun Usai (Ismail Marahimin) dengan proses sebagaimana terdapat dalam pokok pikiran pertama dan kedua, maka dalam diri kita senantiasa tumbuh, berkembang, dan terpiara kepedulian, kepekaan, ketajaman, kecintaan, dan keterlibatan terhadap Meditasi (Abdul Hadi W.M.), Malu Aku Jadi Orang Indonesia (Taufik Ismail), Kotbah di Atas Bukit (Kuntowijoyo), Pengakuan Pariyem (Linus Suryadi AG), Para Priyayi (Umar Kayam), Anak Tanah Air (Ajip Rosidi), Ronggeng Dukuh Paruk (Ahmad Tohari), Bako (Darman Munir), Upacara (Korrie Layun Rampan), Keok (Putu Wijaya), Lautan Jilbab (Emha Ainun Najib), dan sebagainya. Pendeknya, radar-radar dalam diri kita (radar budi, nurani, rasa, dan lain-lain) senantiasa terarah dan tertuju pada sastra.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar