Kamis, 18 Oktober 2012

Polemik KPK versus Pemerintah



Sebagai bagian dari suatu negara hukum merupakan salah satu elemen yang penting, tanpa adanya hukum manusia akan berbuat sesuai dengan kehendaknya masing - masing dan berpotensi untuk merugikan orang lain. Hukum sendiri merupakan sistem yang terpenting dalam pelaksanaan atas rangkaian kekuasaan dari bentuk penyalahgunaan dalam bidang politik, ekonomi, dan masyarakat dalam berbagai cara dan tindakan. Dari hukumlah semua kehidupan seseorang di atur, baik itu berasal dari hukum agama, maupun hukum yang berkaitan dengan negara. Di negara Indonesia mempunyai beberapa jenis hukum yang semuanya memiliki fungsi dan tujuan yang berbeda, ada hukum perdata, hukum pidana, hukum tata negara, hukum tata usaha negara, hukum acara perdata, hukum acara pidana, hukum adat, dan hukum islam.
Pada dewasa ini negara Indonesia disibukkan dengan para pejabat negara yang terkesan nakal dan bertingkah laku tidak sesuai dengan kode etik pejabat, banyak dari mereka yang melanggar hukum, baik melakukan korupsi, suap, pencucian uang dan sebagainya. Sebenarnya pejabat negara bisa disamakan dengan pegawai negeri atau penyelenggara negara, sedangkan pengertiannya menurut Hoge Raad yaitu barangsiapa yang oleh kekuasaan umum diangkat untuk menjabat pekerjaan umum untuk melakukan sebagian tugas dari tugas pemerintahan atau alat perlengkapannya.
Dari kesekian banyak kasus hukum utamanya kasus hukum pidana yang menjerat pejabat negara baik dari tingkat eksekutif, legislatif hingga yudikatif ke semuanya belum mendapatkan sanksi yang sepadan dengan apa yang telah mereka lakukan. Terakhir kita dihebohkan dengan kasus dugaan suap menyuap jama’ah yang melibatkan anggota DPR RI pada kasus cek pelawat pemilihan gubernur deputi Bank Indonesia Miranda Gultom, belum lagi kasus yang sedang panas saat ini yaitu kasus mantan Bendahara Umum Partai Demokrat Muhammad Nazarrudin yang kabur ke luar negeri dan diduga terjerat kasus korupsi pembuatan wisma atlet Sea Games di Jakabaring, Palembang. Dari kalangan pejabat eksekutif yang terjerat tindak pidana seperti M. Ma’ruf mantan Menteri Dalam Negeri yang terlibat kasus korupsi proyek pemadam kebakaran, atau Menteri Sosial Bachtiar Chamzah yang terlibat kasus korupsi pengadaan sapi impor dan mesin jahit. Kasus pejabat yang melakukan korupsi itu belum termasuk kasus - kasus korupsi yang melibatkan para pejabat negara di tingkat provinsi dan kabupaten atau kotamadya, seperti contoh kasus Korupsi yang melibatkan mantan gubernur Kalimantan Timur, kasus korupsi yang melibatkan mantan Bupati Bojonegoro M. Santoso, dan masih banyak lagi. Dari sekian banyak kasus yang terdeteksi oleh KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) semua proses pemeriksaan dan penyelidikan terkesan lamban. Ketika ada laporan pengaduan dari masyarakat mengenai adanya indikasi pelanggaran hukum penyidik terkesan lambat dalam menanggapinya, contoh kasus ketika Ketua MK Mahfud MD yang melaporkan M. Nazarrudin yang diduga mencoba melakukan penyuapan kepada Sekjen MK Djanedri M. Ghaffar pada bulan September 2010 lalu baru diproses laporan dan baru heboh - hebohnya saat ini. Bandingkan dengan kasus terbaru di Pamekasan seorang warga yang mencuri sehelai kain sarung dihukum 5 tahun penjara oleh hakim kejaksanaan negeri, atau kasus pencurian semangka yang menghebohkan Kediri yang dihukum 5 bulan penjara. Kedua kasus itu langsung secara cepat ditangani aparat hukum. Perbandingan hukuman yang amatlah mencolok dan belum bisa dikatakan adil.
Reformasi politik tahun 1998 membawa harapan baru terhadap bangsa ini termasuk pemberantasan korupsi. Untuk pemberantasan korupsi yang sudah berurat berakar, dibuatlah Undang - Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang berkali - kali disempurnakan. Untuk melaksanakan undang - undang tersebut dibuat lembaga baru bernama Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang bisa ditafsirkan sebagai upaya melengkapi lembaga - lembaga penegak hukum yang sudah ada (Kepolisian dan Kejaksaan), tetapi juga bisa diartikan sebagai ketidakpercayaan pada lembaga - lembaga yang sudah ada, karena justru pada lembaga - lembaga penegakan hukum yang sudah ada itulah korupsi tumbuh subur.
Keberadaan KPK yang sering disebut sebagai lembaga “super body” karena kewenangannya yang bisa melakukan apa saja telah membawa banyak “korban”. Dari mantan menteri, Gubernur, anggota DPR hingga DPRD, Bupati dan Walikota, dan para pengusaha besar berhasil dijebloskan ke dalam penjara karena kasus korupsi, sesuatu yang sebelumnya sangat - sangat tidak mungkin terjadi. Sebuah surprise bagi sejarah pemberantasan korupsi di Indonesia kalaulah bukan sejarah peradaban untuk pertama kalinya besan Presiden SBY, yaitu Aulia Pohan masuk penjara meskipun dengan hukuman yang termasuk sedikit “lebih ringan”. Itulah yang melengkapi sekitar 500 pejabat publik Indonesia yang masuk penjara pasca reformasi.
Walaupun banyak kritik yang ditujukan kepada KPK dengan mengatakan lembaga ini masih mempraktikan kebijakan tebang pilih dalam menangani kasus - kasus korupsi, tetapi tetaplah KPK merupakan insitusi yang paling ditakuti oleh para perampok dan pencolong uang negara serta uang publik. Meskipun dalam prakteknya ada beberapa serangan - serangan yang menyertai kinerja KPK, tentu kita masih ingat dengan kasus hukum yang menimpa mantan Ketua KPK Antasari Azhar, dimana kala itu Antasari begitu beraninya menebas para koruptor di Gedung DPR dan instansi eksekutif, namun entah karena scenario atau karena memang benar - benar bersalah harus mendekam di jeruji besi dengan tuduhan pembunuhan dimana bukti di lapangan dengan fakta di persidangan adanya ketidak cocokan, misalkan dalam hal peluru yang diduga digunakan pembunuhan yang berbeda dengan yang terjadi di TKP dengan yang dihadirkan di persidangan. Beralih lagi ketika pimpinan KPK lainnya Bibid Samad Rianto dan Chandra Hamzah yang terjerat kasus cicak buaya jilid I.
Namun akhir - akhir ini lembaga extra ordinary crime yakni KPK tengah menjadi sorotan karena diobok - obok oleh oknum - oknum yang tak bertanggungjawab. Setelah publik dibuat naik pitam dengan cicak versus buaya jilid 1, muncul kembali cicak versus buaya jilid II. Dimana diawali dari penarikan 20 penyidik Polri dari KPK hingga penangkapan secara paksa penyidik andalan KPK Kompol Novel Baswedan pada jum’at 12 Oktober lalu dikarenakan dugaan kasus pembunuhan pada tahun 2004. Kasus - kasus ini melengkapi kasus sebelumnya dimana ada tarik ulur penanganan kasus dugaan korupsi alat simulator SIM yang melibatkan Irjen Djoko Susilo seorang perwira menengah POLRI.
Tak hanya itu rencana revisi UU Keistimewaan KPK oleh DPR RI dengan menghilangkan beberapa wewenang KPK diantaranya penyadapan dan penuntutan kian membuat KPK terjepit dalam tekanan. Polemik antara KPK dan pemerintahan sendiri menjadi isu yang sensitif selama 2 bulan ini. Di mulai dari penolakan anggaran pembangunan gedung baru KPK hingga terakhir kasus cicak versus buaya jilid II. Memang kejahatan korupsi merupakan musuh bersama tetapi dalam penanganannya tentu ada pihak - pihak yang memang secara pencitraan dirugikan dan salah satunya dari pihak pemerintahan itu sendiri.
Memang membedah episentrum korupsi menurut Denny Indrayana sebelum menjadi Wakil Menkumham mengatakan ada empat episentrum korupsi pertama di istana (dimana meliputi eksekutif, legislatif, dan yudikatif), cendana (dimana keluarga Suharto dan lingkarannya tidak pernah tersentuh), senjata (yaitu korupsi di sekitar kekuasaan tentara dan polisi), dan pengusaha naga (para konglomerat dan pengusaha yang hingga sekarang pun masih tetap ada). Profesor Amien Rais sendiri menambahkan episentrum kelima pada perusahaan multi nasional corporation yang menguras sumber - sumber kekayaan alam Indonesia dengan menekuk tengkuk pemerintah sehingga selamanya Indonesia dibuat menjadi jongos.
Memang korupsi di lembaga eksekutif, legislatif,dan yudikatif tidak isapan jempol belaka, setidaknya ini dibuktikan dengan hasil survei kemitraan pada tahun 2010 di 27 provinsi di Indonesia pemerintah menempati urutan pertama sebesar 30%, disusul parlemen dengan 18%, dan pengusaha 13%. Sedangkan kesimpulan dari survei Kemitraan dalam hal tingkat korupsi di pada trias politica menunjukkan lembaga Yudikatif di pusat 70%, 52% di daerah, eksekutif 32% di pusat, 44% di daerah, dan legislatif 78% di pusat, serta 44% di daerah. Jadi bisa diambil kesimpulan bahwa aktor dari tindakan korupsi dari pejabat negara (baik eksekutif, legislatif,dan yudikatif), pegawai negeri (pusat dan daerah) serta pengusaha.
Inilah mungkin yang membuat pemerintah kelabakan karena KPK begitu leluasanya mempreteli oknum - oknum pejabat pemerintahan yang terlibat korupsi sehingga pemerintah seakan merasa perlu membuat pengawasan kepada KPK. Terlebih pemerintah dibawah kendala Partai Demokrat dimana kadernya banyak yang terjerat kasus korupsi pula. Hingga Juni 2010 berdasarkan penemuan ICW, terdapat 176 kasus korupsi di pusat dan daerah, dengan tersangka 411 orang, dan potensi kerugian negara mencapai Rp 2.102.910.349.050. Bahkan jumlah kasus korupsi itu meningkat menjadi 285 kasus hingga 2012 bulan Oktober ini.
Solusi dari polemic antara KPK dan pemerintahan kami berpikir bahwa pemerintah selaku penyelenggara negara harus berkomitmen untuk melaksanakan mandatnya dalam hal pemberantasan korupsi. Dengan cara memberikan dukungan penuh kepada KPK untuk melaksanakan tugasnya dan mengintervensi jika ada yang berniat menggembosi KPK di tengah jalan. Sedangkan pada lembaga legislatif dukungan dalam hal pembuatan peraturan yang mana memberikan keleluasaan bagi KPK untuk menjalankan tugasnya merupakan bentuk dukungan nyata selaku lembaga yang berwenang dalam pembuatan undang - undang. Sedangkan di yudikatif sinergisitas antar lembaga dengan KPK sangat amat diperlukan, karena pemberantasan korupsi tidak sepenuhnya menjadi tanggungjawab KPK, terutama dalam hal penyidik dan penuntutan.
Sedangkan bagi masyarakat sipil seperti telah tercantum di dalam UU Tindak Pidana Korupsi disebutkan bahwa korupsi adalah kejahatan extra ordinary, kejahatan luar biasa. Maka melawannya juga harus dengan komitmen, semangat, dan upaya - upaya yang luar biasa. Gerakan - gerakan sosial di jejaring sosial, aksi - aksi dukungan di berbagai daerah merupakan dukungan secara moril bagi pelaksanaan tugas KPK itu sendiri.
Diharapkan dari dukungan moril dari masyarakat sipil ini maka pemerintah selaku induk dari institusi - institusi juga lebih responsive dan memberikan win - win solution bagi kemaslahatan bersama. Hal ini dikarenakan KPK lahir dari semangat mereformasi birokrasi oleh rakyat yang sudah kecewa dalam kinerja lembaga - lembaga hukum yang ada.

DAFTAR PUSTAKA

Hartiningsih, Maria dkk, 2011. Korupsi yang Memiskinkan. Jakarta :  PT Kompas Gramedia
Supeno, Hadi, 2009. Korupsi di Daerah. Yogyakarta : Total Media
Tim KPK, 2011. Pahami Dulu Baru Lawan. Jakarta 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar